5.1.4 Informan IV
Informan keempat dalam penelitian ini bernama Pirto Gurning, usianya saat ini sudah 26 tahun, ia hanya menamatkan Sekolah Dasar dan sempat duduk di bangku
kelas 1 SMP. Ketika sekolah dasar ia sering tidak masuk sekolah karena malas datang ke sekolah yang disebabkan jarak antara rumah ke sekolah sangat jauh kira-kira 2 km.
Mereka dulu tinggal di ladang saat ia bersekolah, sepulang dari sekolah ia langsung bekerja di ladangnya. Sedikit kerapianpun tidak ada dalam dirinya karena tidak ada
listrik dan setrikaan di rumahnya, sehingga penampilannya ke sekolah selalu kumal dan terkesan jorok sekali.
Kondisi keluarga Pirto Gurning dilihat dari segi ekonomi sangatlah memprihatikan karena serba kekurangan, pekerjaan orang tuanya hanyalah keladang
dan dengan modal yang sedikit sehingga usahanya tidak terlihat banyak. Ditambah lagi dengan musim panen yang selalu tidak membawa keberuntungan, terkadang
untung sedikit dan terkadang hanya pas-pasan untuk kebutuhan dasar rumah tangga. Mereka empat bersaudara, dia anak kedua, memiliki satu abang dan dua adik.
Kebutuhan dasar rumah tangga tidaklah sedikit untuk sebuah keluarga yang berjumlah demikian, memang jika untuk kebutuhan beras, rata-rata yang tinggal di
kampung setiap tahunnya menanam padi dan cukup untuk konsumsi selama setahun juga. Namun demikian untuk memenuhi kebutuhan tidaklah cukup hanya beras,
melainkan banyak lagi kebutuhan seperti lauk pauk, kebutuhan sekolah, pakaian, adat istiadat karena di kampung walaupun tidak memiliki banyak uang jika yang namanya
adat istiadat itu selalu dijinjung tinggi dan tidak sedikit juga uang habis untuk memenuhi itu semua.
Universitas Sumatera Utara
Pirto sewaktu anak-anak masih rajin pergi ke gereja kebaktian anak-anak, saat natal tiba ia tidak dibelikkan baju baru, sementara teman-temannya dibelikkan baju
baru. Pirto merasa beda dari teman-temannya hingga dia mulai malas pergi ke gereja mengikuti kebaktian. Uang jajan di hari minggu hanya sedikit diberikan orang tua,
hingga persembahannya kadang tidak diberikan tetapi dijajankan. Sampai saat ini Pirto mengaku jarang mengikuti ibadah ke Gereja, ia mengaku lebih senang duduk di
warung dan bermain judi. Kehidupan duniawi lebih dinikmatinya di dalam hidupnya. Pengakuan Pirto Gurning, sejak ia sudah mulai malas bersekolah, karena pada
masa itu ia sudah mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan keluarga mereka, jajan jarang diberikan hanyalah sesekali, uang sekolah yang tidak seberapa selalu
terlambat, uang membeli buku juga sama halnya. Tidak tahu karena apa, ia merasa terasing dari teman-teman sekolahnya, mungkin disebabkan kondisinya yang seperti
itu. Walaupun pada saat itu ia tidak tahu bagaimana sebenarnya arti kehidupan, akan tetapi ia bisa merasakannya dan tidak bisa berbuat apa, ibaratnya apalah daya seorang
anak-anak untuk mengubah kehidupan keluarganya, sangatlah tidak mungkin. Setelah berhenti bersekolah, Pirto mulai mengikuti truk barang yang ada di
kampung itu, ia bekerja membantu-bantu supir dengan mendapat upahan yang, pada saat itu upah yang ia dapatkan sekitar rp: 20.000,- hari, nilai itu sudah cukup banyak
pada saat itu karena beban kerjanya juga cukup berat karena jika dibandingkan upah bekerja ke ladang orang hanyalah rp: 15.000,- hari. Memang pada saat itu uang
sebanyak itu sudah cukup banyak untuk seorang diri, dengan mengetahui adanya pekerjaan demikian Pirtopun semakin ketagihan menerima uang yang praktis dan
Universitas Sumatera Utara
mudah didapatkan dengan menjual tenaga fisik. Pekerjaan itu dijalaninya bertahun- tahun.
Pirto mulai merokok sesudah ia berhenti bersekolah, di usianya yang beranjak dewasa yaitu saat usia 14 tahun, karena ia masuk sekolah pada usia 7 tahun dan sekli
tinggal kelas di kelas satu sekolah dasar. Setelah berhenti sekolah ia mulai hidup di pasaran dan mengikuti gaya pergaulan kernek truk yang lain. Merokok, minum tuak,
dan menghisap ganja. Awalnya pirto tidak mau menghisap ganja, karena ia tidak tahu apa artinya ganja sebenarnya, maka timbul juga rasa ingin tahu dan mencobanya
dengan rayuan teman-temannya yang mengatakan” kita sudah senasib, tidak bersekolah dan tidak mendapat perhatian yang lebih dari orang tua kita” maka
mendengar itu Pirto terpengaruh dan bergabung dengan teman-temannya setiap harinya. Disaat itulah kepribadian Pirto sudah mulai goyang dan tidak memikirkan
hal-hal yang positif melainkan memikirkan kesenangan dirinya saja tanpa memperhatikan orang tua dan saudaranya lagi.
Truk yang diikuti oleh Pirto itu membawa barang barang dagangan hasil pertanian di kampung seperti tomat, cabai, kol, sayur putih, dan lain sebagainya yang
di bawa ke Tanjung Balai. Mereka berangkat malam dari kampungnya sehingga sampai di Tanjung Balai sekitar pukul 01 atau 02 di pagi hari dan langsung
membongkar barang bawaan mereka itu di pajak sentral dan membagikan barang tersebut kepada pedagang eceran yang datang membeli.
Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai kernek truk, maka ia mulai belajar membawa truk dan menjadi supir serap. Ia memiliki banyak kenalan orang pasaran di
Tanjung Balai, Selama bekerja di pasaran ia pun mulai mengenal Ganja yang sering
Universitas Sumatera Utara
dikonsumsi oleh kawan-kawannya supir dan anak pajak. Akhirnya iapun ikut-ikutan mengkonsumsi Ganja tersebut.
Rasanya mengkonsumsi Ganja pada awalnya tidaklah enak, akan tetapi karena kawan-kawannya juga mengkonsumsi Pirtopun selalu ikut dengan kawannya,
sehingga dengan zat yang ada dalam Ganja membuat orang menjadi ketagihan dan tambah akan dosis yang akan dikonsumsi, karena jika dengan dosis yang sama
khasiatnya tidak terasa lagi. Akhirnya mengkonsumsi Ganja sudahlah kebiasaan Pirto disertai dengan minum-minuman keras. Awalnya minum alkohol dijadikannya alasan
agar tidak mudah ngantuk di perjalanan. Dengan gaji dan uang jalan yang diberikan oleh tokeh mereka, maka semua itu bisa mereka penuhi dan dapatkan.
Tidak hanya itu kelakuan yang menyimpang dilakukan oleh Pirto selama di pasaran, sepulang dari pajak mereka sering singgah ke cafe-cafe pinggir jalan yang
maaf kata banyak wanita tuna susila, Pirto mengaku sering melakukan hubungan sex dengan para wanita tuna susila itu dengan menghabiskan uang Rp: 40.000,- pada saat
itu yang jika dibandingkan dengan harga sekarang sudah mencapai Rp: 100.000- 150.000,-.
Karena sudah sering berhubungan dengan perempuan, Pirto ini kurang menghormati martabat perempuan. Ia kasar terhadap perempuan jika yang ia sapa
tidak menyahut dan terbiasa ngomong kasar dengan perempuan. Dalam percintaanpun ia selalu mengalami kegagalan, karena wanita melihat kondisinya
sebagai seorang kernek truk dan tidak memiliki tamatan, hal itu juga yang membuat pirto semakin stres dan pelampiasaannya dengan memakai wanita tuna susila.
Universitas Sumatera Utara
Karena sudah ketergantungan dalam pemakaian Narkoba, hidup Pirto sudah mulai tidak beres dan tidak teratur hingga kerapian dalam dirinya tidak ada lagi,
seperti anggar jago di kampung dan membuat keributan di kedai tuak. Di luar kota ia juga sudah biasa mengkonsumsi ekstasi atau pil yang mereka dapatkan di cafe tempat
biasa mereka menghabiskan waktu untuk besenang-senag. Uang mereka setiap minggunya hanyalah habis untuk biaya foya-foya seperti mengkonsumsi Narkoba,
mimum alkohol, dan memakai wanita tuna susila. Kebiasaan buruk Pirto itu semuanya sejalan, jika sudah mengkonsumsi Narkoba dan minum maka timbul juga
hasrat untuk melakukan hubungan seks. Orang tua Pirto yang mengetahui anaknya demikian tidak bisa banyak bicara
dan melarangnya karena memang dari kecil orang tuanya tidak bisa memenuhi kebutuhan Pirto layaknya seorang anak. Orang tua Pirto kurang harmonis, sering
berantam karena memang kondisi ekonomi mereka tidak berubah dan hanya pas- pasan untuk hidup yang sangat sederhana, bisa dikatakan pada garis kemiskinan.
Adek Pirto yaitu anak ketiga tidak juga menamatkan sekolahnya, hanya di kelas satu SMA lalu di pecat.
Pengakuan Pirto hidup mereka sangat susah, ditambah lagi kurang rejeki dari hasil pertanian, karena jarang mendapatkan hasil pertanian yang maksimal, maka
ayah Pirto mulai malas bekerja ke ladang dan selalu di kedai-kedai kopi tidak tahu apa yang dikerjakan , hanya bermain catur dan main judi kecil-kecilan karena
uangpun terbatas. Waktu habis sia-sia tanpa mengerjakan apapun yang dapat menghasilkan uang, hanya ibu Pirtolah yang rajin ke ladang dan terkadang mencari
Universitas Sumatera Utara
upahan ke ladang orang jika di ladangya tidak ada pekerjaan yang hendak diselesaikan.
Lingkungan tempat tinggal Pirto juga banyak remaja hingga yang dewasa mengkonsumsi Narkoba jenis Ganja, karena di kampung mereka bisa dengan
sembunyi-sembunyi menanam Ganja di ladang mereka untuk dikonsumsi sendiri. Pirto juga pernah menanam Ganja di ladangnya yang jauh dari ladang masyarakat
lainnya untuk dikonsumsi sendiri beserta kawan-kawan saja. Pemakaian Ganja di lingkungan Pirto tinggal sangatlah tinggi karena mudah diperoleh, narkoba jenis lain
sangat jarang untuk ditemukan seperti pil ekstasi, morfin, putau, shabu-shabu dan sebagainya. Sehingga Pirto terkena Narkoba selain Ganja adalah di luar daerah yaitu
tempat dimana ia bekerja dan menghabiskan waktu seperti di cafe jalan lintas yang mereka selalu singgahi sepulang mengantar barang.
Pirto sampai sekarang tidak mengetahui apa arti NAPZA secara teori atau buku, selama ini yang ia tahu adalah ikiut-ikutan dengan teman lalu ketagihan, yang ia tahu
obat itu memang dilarang sehingga dalam pemakaiannyapun ia sembunyi-sembunyi dan berusaha untuk tidak diketahui oleh polisi. Setelah Pirto ketergantungan terhadap
Narkoba, maka ia merasa bahwa Narkoba itu merupakan obat bagi dirinya, tida hanya itu Narkoba juga dirasakannya sebagai solusi atas masalah-masalah yang ia hadapi
selama perjalanan hidupnya sehari-hari. Walaupun laki-laki yang di bekerja dipasaran tetap saja memiliki masalah baik masalah dengan teman sepergaulannya, masalah
dengan tokehnya, maupun masalah dengan keluarganya, karena terkadang di waktu luang kosong ia terpikir terhadap masalah yang ia hadapi. Karena bukan jalan keluar
Universitas Sumatera Utara
yang ia pikirkan, maka Narkobalah yang dijadikannya solusi atas masalahnya tersebut.
Banyak masalah yang dihadapi dia selama bekerja, akan tetapi bagaimanalah kemampuan seorang kernek yang bekerja dengan orang, terkadang uangnyapun habis
di jalan dan kebutuhannya sehari-hari. Terkadang jika ia memiliki uang lebih ia memberikan kepada ibunya untuk biaya belanja dapur, ia hanya pulang ke rumahnya
sekali seminggu, karena ia tidur di rumah tokehnya. Melihat kelakuan ayahnya yang sudah malas bekerja ke ladang ia pun menjadi tidak dekat dengan ayahnya,
komunikasi jarang walaupun sering terlihat satu sama lain di warung kopi. Setelah ketergantungan, maka perilaku Pirtopun berubah, mudah emosi, malas
bekerja, kotor tidak ada lagi kerapian. Ibu Pirto melaporkan hal ini kepadakeluarganya yang ada di medan ini. Keluarganya mengetahui adanya panti
rehabiitasi untuk korban penyalahguna NAPZA, karena mengetahui ini milik pemerintah dan tidak bayar, maka ibu Pirto meminta kepada keluarganya agar
membaa pirto mengikuti rehabilitasi. Setelah menanyakan informasi tentang Panti Sosial Parmadi Putra “Insyaf”
Sumut, akhirnya keluarga Pirto membawanya ke panti tersebut, awalnya Pirto tidak mau karena baru mendengar apa itu panti rehabilitasi Narkoba, dengan iming-iming
diberikan keterampilan seperti bengkel mobil, kreta, elektonika, las dan desain grafis maka Pirtopun tertarik karena ia suka bengkel sepeda motor. Akhirnya Pirto masuk
sebagai Residen di Panti Sosial Parmadi Putra” Insyaf” Sumut. Pirto menjalani rehabilitasi sangat tersiksa karena begitu ketatnya peraturan
sehari-harinya, ia merasa ketat karena ia berlatarbelakang dari manusia bebas selama
Universitas Sumatera Utara
ini. Setelah dua bulan menjalani rehabilitasi, akhirnya Pirtopun mulai menikmatinya dan tumbuh di dalam dirinya untuk bertobat setelah ia menyadari segala perilakunya
yang menyimpang selama ini. Ia merasa lebih nyaman tinggal di Panti karena teman-temannya di panti berasal
dari latarbelakang yang sama yaitu penyalahguna NAPZA yang sedang berusaha untuk mengobati diri mereka. Mereka mengikuti proses rehabilitasi yang diberikan
oleh pegawai panti, dengan tahapan yang menjadi program panti maka setiap Residen harus menjalaninya.mereka mendapatkan pembinaan yang cukup bagus, sehingga
mereka bisa sadar selama berada di panti, karena kita tidak tahu bagaimana kalo sudah keluar dari panti. Tetapi yang jelas mereka dapat menahan putus hubungan
dengan zat selama setahun berarti mereka tidak lagi ketergantungan. Rencana masa depan Pirto setelah selesai dari rehabilitasi ingin kembali bekerja
dan mengubah pola hidup yang lama menjadi lebih baik, karena selama di rehabilitasi ia sudah menyadari kekurangan dan segala kesalahan terbesarnya di dalam hidup
selama ini, ia mendapatkan bimbingan selama di panti dan banyak motivasi untuk berubah. Walaupun tidak bersekolah tinggi akan tetapi niat untuk lebih baik pasti ada
dalam dirinya, karena ia mengatakan pengalaman itu adalah ilmu kita yang harus kita pakai dalam menjalani hidup.
Pirto ingin membuka usaha dagang setelah ia kembali dari rehabilitasi, karena ia sudah mengetahui seluk-beluk dan sistem permainan pasar Tanjung balai, maka ia
berencana untuk bergerak di bidang penjualan ikan asin yang akan diordernya ke kampung. Dimulai dari yang kecil, mudah-mudahan bisa berkembang menjadi besar.
Universitas Sumatera Utara
Ia kelihatan memiliki semangat yang cukup untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena Pirto ingin merubah hidupnya menjadi lebih baik.
5.1.5 Informan Tambahan