Informan III Jaringan Kerjasama

ia tidak mendalaminya. Peluang usaha yang akan ia yakini untuk dijalankan adalah membuka door smeer mobil yang besar, karena orang tua juga sangat mendukung rencananya itu. Orang tuanya juga berjanji membantunya untuk membuka usaha yang ia inginkan jika ia sudah berubah dan keluar dari rehabilitasi.

5.1.3 Informan III

Informan ketiga dalam penelitian ini adalah Januwarinson Haloho, pria ini kelahiran 1989 berumur 23 tahun, ia menamatkan sekolah menengah atas, selama di sekolah dasar ia pernah tinggal kelas di kelas satu ia tidak pernah mendapat ranking karena memang malas belajar. Untuk menamatkan sekolah menengah atasnya ia harus pindah dua kali karena bermasalah. Masalah yang dialaminya adalah berantam dan melawan guru kelas, ditambah lagi setiap nilai rapot yang tidak bagus sehingga tiap tahun hampir tidak layak naik kelas, oleh karena itu diberikan kelonggaran oleh pihak sekolah dengan menaikkan dia akan tetapi pindah dari sekolah tersebut. Orang tua Januwarinson sudah melakukan upaya mendidik anaknya, akan tetapi karena pengaruh teman dan dari dalam diri Januwarinson yang tetanam sifat nakal dan brutal, maka segala upaya dirasakan sia-sia saja. Ayah januwarinson bekerja keladang sedangkan Ibunya adalah seorang guru sekolah dasar, jadi jika ekonomi keluarga mereka tergolong menengah, karena ayahnya rajin bekerja ke ladang. Januwarinson selama bersekolah difasilitasi oleh orang tuanya dengan sebuah sepeda motor supra x, karena jarak antara sekolah dengan rumah cukup jauh sekitar 7 kilometer dan alat angkutan yang ada di kampung mereka itupun hanyalah becak mesin. Selama sekolah di SMA Januwarinson sering main judi di wilayah sekolah Universitas Sumatera Utara dan bolos dari sekolah, sehingga orang tua sering dipanggil oleh kepala sekolahnya. Sejak SMP Januwarinson sudah merokok dengan cara bersembunyi-sembunyi. Awalnya Januwarinson selalu dimanjakan oleh Ibunya, jika dimarahi Ayahnya, maka Ibunya selalu membelanya, sehingga ia merasa kebal dan ada yang melindungi dirinya walaupun melakukan kesalahan. Januwarinson sadar akan hal itu, baik mengenai uang-uang saku selama di sekolah, Ibunya sering memberikan dengan tangan belakang, artinya sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Ayahnya. Selama sekolah menengah atas, Januwarinson sudah pernah kedapatan mengkonsumsi narkoba jenis ganja bersama dengan teman-temannya disaat mereka bolos sekolah, karena masih status pelajar kepala sekolah mereka pada saat itu memakai asas kekeluargaan dengan memanggil orang tua yang bersangkutan dan menyelesaikan masalah tersebut. Orang tuanya hanya mengira anaknya baru sesekali mengkonsumsi ganja, akan tetapi pengakuan Jauwarinson sudah sering dan hampi dua kali dalam seminggu. Dengan berbagai permasalahan yang dialami Januwarinson akhirnya ia tamat dari sekolah menengah atas pada tahun 2008, perilakunya setelah tamat SMA semakin menunjukkan tingkah lakunya yang aneh, awalnya di suruh orang tua ke medan ini mengikuti SPMB, tetapi ia tidak mendaftarkan dan menghabiskan uang pendaftaran tersebut akan tetapi laporannya terhadap orang tuanya ia mengikuti ujian. Setelah pengumuman orang tuanya melihat anaknya tidak lulus. Selama setahun ia menganggur di kampung, aktivitasnya hanya pergi kesana kemari, bermain biliar dan judi bersama teman-temannya, jarang pulang ke rumah, jika di rumah ia menunjukkan sifat malasnya. Suatu saat kelakuan Januwarinson Universitas Sumatera Utara tercium oleh ayahnya yang mengetahui dia sering mengkonsumsi ganja bersama temannya. Mengetahui hal itu, orang tuanya berusaha menutupi dan mencari solusi akan permasalahan tersebut. Orang tua Januwarinson mencoba membawanya ke rumah tulangnya yang kebetulan seorang polisi, orang tua Januwarinson menyuruh ia bekerja dengan tulangnya tersebut. Akhirnya Januwarinson bekerja sebagai supir tulangnya, selama menjadi supir tidak lebih dari empat bulan Januwarinson meninggalkan rumah tulangnya dan kembali ke kampung. Melihat kejadian tersebut orang tua Januwarinson merasa kesal karena anaknya tidak bisa diatur. Pertengahan tahun 2009 Januwarinson mendapat ajakan dari seorang teman sekampungya yang sedang pulang kampung untuk bekerja jakarta, Januwarinsonpun memilih untuk pergi merantau bersama temannya itu dan akhirnya ia bekerja di sana. Disana mereka bekerja mengumpulkan oli-oli kotor dari setiap perusahaan besar ataupun pabrik-pabrik besar, mereka bekerja dengan tokeh mereka dengan mendapat upah dan uang jalan yang cukup lumayan banyak sebagai seorang lajang. Mereka bekerja di dalam sebuah cv juga, karena beranggotakan lebih dari 20 orang lainnya. Pekerjaan di sana cukup dinikmati oleh Januwarinson walaupun beban kerjanya berat, dengan hidup di tengah ibukota negara, dan memiliki upah yang lumayan maka Januwarinson semakin betah bekerja dan tinggal di sana. Teman-teman Januwarinson bekerja di sana adalah orang-orang yang datang dari kampung juga, karena perusahaan itu merupakan perusahaan sebuah keluarga yang sudah menjadi besar. Terkejut dengan kehidupan kota besar yang begitu banyak hiburan- hiburan beserta godaan-godaan yang bisa merusak manusia, Januwarinson yang dulunya Universitas Sumatera Utara sudah sering mengisap ganja di kampung maka di jakartapun ia ingin memakainya dan mencari barang tersebut dengan temannya, kebetulan teman-temannya yang bekerja di sana juga rata-rata memakai ganja karena tidak begitu sulit untuk memperoleh ganja di sana. Ada tempat-tempat khusus membeli ganja yang sudah diketahui umum akan tetapi tetap lebih berhati-hati. Hampir setiap malam minggu mereka pergi ke tempat hiburan malam dengan menghabiskan uang upah dari pekerjaan yang mereka terima. Mereka pergi ke cafe remang-remang dan minum sampai mabuk berat. Selama di jakarta yang dulunya Januwarinson mengenal narkoba itu hanyalah ganja maka disana dia hampir mengenal semua obat terlarang karena dia mencoba dan mengkonsumsinya bersama teman-temannya yang lain. Selama di Jakarta, Januwarinson dengan teman-temannya yang lain melakukan kegiatan yang sama, mungkin karena merasa jenuh dalam bekerja selama enam hari dan mendapat liburan hanya di malam minggu dan hari minggu, mereka selalu pergi ke diskotik atau hiburan malam lainnya yang mereka anggap dapat menyenangkan pikiran serta menghilangkan stres yang mereka alami. Januwarinson yang orang baru disana mengikuti gaya hidup kawan-kawan yang lainnya juga, disaat itulah Januwarison mulai mengenal yang namanya pil yang dapat mereka peroleh di saat masuk diskotik. Awalnya ia tidak merasakan begitu banyak khasiat atau efek yang ditimbulkan, karena sudah berulang-ulang kali dikonsumsi, maka januwarinsonpun merasakan khasiat yang diberikan oleh obat terlarang itu. Mereka bisa berjoget hingga subuh sampai diskotik tersebut tutup. Mereka dalam Universitas Sumatera Utara melakukan kegiatan seperti itu memang sportif dalam pembayaran, selalu bersama- sama menanggung semua biaya yang habis selama perjalanan. Tanpa mengetahui efek samping atau bahaya penyalahgunaan narkoba, Januwarinson dengan teman-temannya terus menerus berpola hidup menyimpang, minum minuman keras ke cafe, masuk diskotik dan mengkonsumsi Shabu-shabu. Januwarinson merasakan nikmat bila mengkonsumsi narkoba, jadi tidak memikirkan dampak, karena menurutnya narkobalah penolong dirinya agar bisa merasa nyaman dan tenang. Jika tidak mengkonsumsi narkoba, maka perasaan Januwarinson tidak tenang dan gelisah. Januwarinsonpun ketagihan mengkonsumsi Shabu-sabu dan narkoba jenis lainnya hingga ia ketergantungan, selama dua tahun di Jakarta badan Januwarinson semakin kurus karena tidak lagi memiliki selera makan, yang penting narkoba itu masuk ke dalam tubuhnya. Bekerja mendapatkan upah dengan susah payah hidup di jakarta akhirnya untuk membeli narkoba dan biaya hidup lainnya, Januwarinson tidak memiliki tabungan pribadi, berapapun ada uang yang diperolehnya semua hanya pas- pasan dan habis. Perilaku Januwarinson tidak hanya mengkonsumsi Narkoba, melainkan sering juga pergi ke tempat prostitusi, melakukan hubungan seks dengan para wanita tuna susila yang membutuhkan biaya juga. Ditambah lagi kebiasaan mereka jika selesai bekerja adalah bermain judi sesama mereka, dengan maksud menghilangkan rasa cape dan bosan selama bekerja, mereka sering bermain kartu dan membuat taruhan, mereka sering bermain kartu joker yaitu “leng”. Universitas Sumatera Utara Selama diperjudian, uang Januwarinson tidak terasa dan tidak disadari sudah habis banyak, hal-hal seperti itulah yang membuatnya tidak memiliki tabungan. Orang tua dikampung tidak lagi dipikirkan bagaimana cara membahagiakannya. Terkadang Januwarinson di saat-saat tertentu berfikiran untuk membahagiakan orang tuanya, tapi dengan cara apa dan bagaimana ia sudah bibgung sendiri. Karena ia sudah rusak dan ketergantungan terhadap narkoba dan perilaku menyimpang yang selalu ia lakukan. Sangat sulit rasanya untuk Januwarinson merubah perilakunya tersebut. Dua tahun di Jakarta. Januwarinson pulang ke kampung, badan kurus, mata masuk ke dalam dan mulai menghitam, juga tidak mebawa apa-apa pulang ke kampung. Layaknya seorang perantau sudah seharusnya membawa oleh-oleh dari tempat perantauannya dan uang hasil kerja kerasnya selama diperantauan. Orang tua Januwarinson hanya bisa menerima kedatangan anaknya yang seperti itu. Tidak begitu lama di kampung akhirnya Januwarinsonpun kembali memutuskan untuk pergi lagi merantau, dengan kecurigaan yang timbul dari orang tua Januwarinson, maka ia dilarang untuk pergi kembali ke perantauannya. Hal itu dihiraukan saja oleh Januwarinson, ia lari dan pergi lagi ke jakarta. Karena hidup di Jakarta dirasakannya lebih enak daripada di kampung. Dan akhirnya Januwarinson sampai di Jakarta dan kembali bekerja dengan teman-temannya. Perilaku buruk dan kebiasaan buruk tidaklah mudah untuk meninggalkannya, ditambah lagi pengaruh zat yang mengakibatkan ketergantungan maka januwarinson tetap melakukan kebiasaannya dengan teman-temannya lagi. Selama setahun bekerja lagi, Januwarinsonpun pulang ke kampung karena ia mengalami sakit parah, hasil Universitas Sumatera Utara pemeriksaan oleh dokter ia terkena penyakit liver . Kondisi kesehatannya terus- menerus menurun hingga ia tidak tahan lagi dan pulang ke kampung. Sesampainya di kampung, ia menceritakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia sakit, orang tua yang sayang terhadap anaknya langsung membawa dia berobat, walaupun obat di kampung-kampung hasilnya dapat mengurangi rasa sakit dan menyembuhkan penyakit yang diderita Januwarinson. Penyakit yang diderita Januwarinson tidaklah hanya liver, ada magg, fungsi hati melemah. Selama di kampung, orang tua Januwarinson melihat kejaggalan dan keanehan yang sering dilakukannya. Januwarinson sering pakau, untuk mengurangi rasa pakaunya Januwarinson sering menghisap ganja di kampung, jika jenis ganja ini tidak sulit untuk memperolehnya karena banya k juga teman di lingkunagannya yang mengkonsumsi ganja yang katanya banyak diantara mereka menanam sendiri di ladang mereka atau tanah kosong yang jauh dari lahan pertanian masyarakat. Melihat perilaku aneh yang setiap saat dilakukan Januwarinson, maka orang tuanya tidak tahu cara menaganinya, karena Januwarinson memiliki Tulang polisi, maka orang tuanya mencoba memberikan keterangan bagaimana yang telah terjadi. Tanpa proses lama, Tulang Januwarinson menyarankan agar mengikuti rehabilitasi narkoba saja, rehabilitasi narkoba ada yang milik pemerintah dan ada swasta ujar Tulang Januwarinson kepada orang tuanya. Tanpa banyak berbicara Tulang Januwarinson menyarankan dia mengikuti rehabilitasi narkoba milik kementrian sosial yang selama ini juga sudah terkenal dan diketahui banyak kalangan masyarakat. Akhirnya Januwarinson di bawa ke Panti Sosia Parmadi Putra” Insyaf” Sumut awal 2013 yang lalu. Tanpa banyak penolakan Universitas Sumatera Utara dari Januwarinson diapun tidak bisa berkata apa-apa karena sudah Tulangnya yang turun tangan membawanya ke Panti Sosial Parmadi Putra” Insyaf” Sumut. Sebelum masuk ke panti, terlebih dahulu dilakukan tes urine dan darah, hasilnya Januwarinson sudah memakai banyak jenis narkoba seperti ganja, shabu- shabu, pil ekstasi, dan alkohol. Melihat hasil itu orang tua Januwarinson kaget dan menangis. Dengan tujuan untuk menyembuhkan anaknya maka orang tua Januwarinson menyerahkannya kepada pihak pemerintah yaitu menjalani proses rehabilitasi di Panti sosial Parmadi Putra “Insyaf” Sumut. Januwarinson menjalani proses rehabilitasi sejak 2013 awal februari, pertama masuk panti ia terlebih dalulu dimaksukkan ke dalam ruang isolasi dengan maksud pemutusan hubungan dengan zat. Setelah tiga minggu di dalam ruang isolasi maka ia bisa bergabung dengan Residen lainnya tidur di barak. Itu merupakan proses dalam mengikuti rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA. Selama dua bulan menjalani rehabilitasi Januwarinson merasa diperlakukan tidak wajar layaknya seperti tahanan di penjara, itu dikatakannya karena memang di dalam proses rehabilitasi sangat disiplin dan menjalankan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun mental dan jiwa para Residen kembali ke jalan yang benar. Banyak kegiatan-kegiatan yang diberikan oleh panti yang selalu bertentangan terhadap yang masih baru-baru masuk rehabilitasi, akan tetapi yang sudah menjalani rehabiilitasi lebih dari dua bulan mereka sudah sadar bahwa yang mereka jalani tersebut adalah ke arah jalan yang benar dan memperbaiki diri mereka kembali. Setelah banyak mengikuti program dan kegiatan yang diberikan dan dijalankan di Panti sosial Parmadi Putra” Insyaf” Sumut, Januwarinson secara pribadi menyadari Universitas Sumatera Utara akan yang selama ini ia perbuat itu adalah menyimpang dan salah. Mereka di Panti diajarkan filosofi “therapeutic community” baik filosofi tertulis maupun tidak tertulis. Dengan adanya filosofi yang diajarkan tersebut maka Residen di PSPP”Insyaf” Sumut banyak menyadari akan dirinya yang selama ini sudah di jalan yang benar walaupun tidak sepenuhnya menyadari akan perbuatannya itu. Hampir setahun Januwarinson menjalani proses rehabilitasi, dan ia merasa tidak ketergantungan lagi selama di Panti, ia merasa sehat jasmaniah, badan segar dan bugar. Selama setahun tidak mengkonsumsi obat tenyata kita bisa bertahan tidak mengkonsumsi atau ketagihan lagi kata Januwarinson. Januwarinson merasa senang menjalani rehabilitasi setelah ia banyak memiliki kawan yang serupa yang datang dari masalah yang sama, dan berusaha untuk mengobati diri mereka bersama-sama juga. Ia merasakan Residen yang ada di sana sebagai keluarganya sendiri, sebaliknya juga Residen yang disana menganggap dirinya sebagai keluarga. Karena prinsip yang diajarkan di dalam Panti adalah adict to adict yaitu para penyalahguna memnbentuk suatu komunitas untuk saling membantu proses pemulihan men help men to help him self dari masalah ketergantungan NAPZA. Setelah hampir selesai menjalani rehabilitasi, Januwarinson ingin berubah demi memikirkan masa depannya kembali. Ia ingin membuka usaha di kampung dan bertekad kuat untuk memgbangun diri dan keluarganya. Ia berusaha semaksimal mungkin karena ia ingin menikah dan hidup di dalam keluarga yang sejahtera nantinya. Universitas Sumatera Utara

5.1.4 Informan IV