menghormati satu dengan yang lainnya, mengikuti kegiatan yang telah ditentukan seperti ikut kerja Bhakti bergotong-royong, jaga
malam yang telah di atur jadwalnya sama kepala Desa untuk keamanan Desa dan ikut kegiatan keagamaan untuk meningkatkan
kebersamaan dan ketakwaan seperti ikut perwiritan dan bergereja”
4.7.2 Etika Masyarakat Jawa dalam Hubungannya dengan Harmonisasi
Interaksi Antar Etnis di Desa Baru
Mayoritas warga di Desa Baru adalah di huni oleh Masyarakat Etnis Jawa yang datang Jawa. Masyarakat Jawa memiliki filsafah dan azas kehidupan mereka
sekaligus sebagai Etika dalam pedoman kehidupan mereka sehari-hari yaitu Etika Jawa. Dalam adat Jawa ada beberapa pedoman kaidah dalam pergaulan atau
kehidupan. Kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani atau buruh tani. Sebagian
besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa. Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah Gedeg. Orang Jawa sendiri membedakan
dua golongan sosial: Wong Cilik, orang kecil, terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapat rendah di kota, dan kaum Priyayi di mana
termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tetapi mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu
kaum NingratNdara.
Hildred Geertz dalam Magnis-Suseno 1983:38 bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu
Mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian
Universitas Sumatera Utara
rupa hingga tidak dapat menimbulkan konflik. Dan yang kedua Menuntut agar manusia dalam cara berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap rasa
hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, kaidah kedua sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka normatif yang menentukan
bentuk-bentuk kongret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip ini selalu disadari oleh orang Jawa sebagai anak ia telah membatinkan dan ia sadar bahwa
masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai dengan dua prinsip ini.
Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya dimasa lalu dan konsep-konsep religious yang bernuansa mistis.
Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai filsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada yang Maha Kuasa. Filsafah hidup masyarakat Jawa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan, agama Hindu dan Islam dan pada batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya. Banyak Filsafah
Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum yang artinya menerima apa-apa yang telah diberikan oleh
Tuhan secara apa adanya. Filsafah ini orang Jawa menggangap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Nrima ing pandum diikuti falsafah mawas
diri. Artinya, orang Jawa harus senantiasa melakukan intropeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam bertindak. Mangan ora mangan sing penting
ngumpul yang dapat diartikan kebersamaan.
Berdasarkan penjelasan diatas yang didasari konsep kaidah-kaidah dan filsafah dalam pedoman kehidupan masyarakat Jawa. Begitu juga halnya dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitan ini harmonisasi interaksi antar etnis di Desa Baru konsep kaidah- kaidah dan filsafah dipegang teguh oleh masyarakat Jawa dan dengan bermodalkan
kaidah dan filsafah Jawa ini dapat dilihat masyarakat Jawa dapat berinteraksi dengan latar belakang Etnis yang berbeda kebudayaan dan dapat tinggal bersama-
sama dengan etnis yang berlatar-belakang yang berbeda dan berinteraksi yang positif dapat menimbulkan kerja sama antar Etnis satu dengan etnis lain bukannya
hanya mencapai tujuan bersama tetapi dapat menciptakan suatu keharmonisan interaksi antar Etnis di Desa Baru.
Gambaran di atas sesuai dengan yang diutarakan salah satu infroman Susi pr, 25 tahun yang mengatakan :
“Masyarakat Jawa itu dimana pun berada tidak akan meninggalkan kebudayaannya dari tempat asal mereka, saya
selaku orang Jawa yang sekarang tinggal kampung orang masih memegang teguh prinsip dalam kehidupan orang Jawa, disini saya
juga ikut perkumpulan perwiritan yang biasanya saya ikuti di kampung saya dan berkumpul juga dengan etnis Karo dan Batak
untuk menjaga kebersamaan dalam bertetangga”
4.7.3 Struktur dan Pilar Budaya Karo Dalam Hubungannya Harmonisasi