Etika Jawa KAJIAN PUSTAKA

Simbol adalah sesuatu yang lepas dari apa yang disimbolkan, karena komunikasi manusia itu tidak terbatas pada ruang, penampilan atau sosok fisik, dan waktu dimana pengalaman inderawi itu berlangsung, sebaliknya manusia dapat berkomunikasi tentang objek dan tindakan jauh di luar batas waktu dan ruang. Makna simbol tertentu tidak selalu bersifat universal: berlaku sama di setiap situasi dan daerah. Nilai atau makna sebuah simbol tergantung kepada kesepakatan orang-orang atau kelompok yang mempergunakan simbol itu. Menurut Leslie White 1968, makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui cara-cara nonsensoris, yakni melalui proses penafsiran interpretative process. Makna dari suatu simbol tertentu dalam proses interaksi sosial tidak begitu saja bisa langsung diterima dan dimengerti oleh semua orang, melainkan harus dahulu ditafsirkan. Narwoko, 2007:18.

2.2 Etika Jawa

Etnis Jawa merupakan kelompok etnis bangsa yang mendominasi pernyataan ini dapat dilihat di setiap daerah Indonesia terdapat etnis Jawa. Sifat dan karakter etnis Jawa identik dengan sikap yang sopan, segan, beretika dalam berbicara, jujur, disiplin, ramah, suka membantu atau bergotong-royong. Etnis jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga.http:www.anneahira.comjawa.htm. Etnis Jawa bersikap ramah dapat dilihat apabila ada yang bertamu kerumah orang Jawa tanpa ditanya mereka akan langsung menyunguhkan minum dan tidak memandang asal atau suku. Hal Universitas Sumatera Utara tersebut berbeda dengan Etnis Karo dan Etnis Batak yang bertanya dulu apakah seorang tamu ingin minum apa tidak. Semula di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Penduduk- penduduk asli ibukota Jakarta berbicara dalam suatu dialek bahasa melayu yang disebut Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat dipakai bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian Utara dan Timur sudah lama dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa mereka.Magnis-Suseno 1983:11. Dalam wilayah kebudayaan jawa sendiri dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara di mana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah-daerah Jawa pedalaman, sering juga disebut Kejawen yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dan di samping dua karesidenan ini juga termasuk karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang. Kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani atau buruh tani. Sebagian besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa. Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah Gedeg. Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial: Wong Cilik, orang kecil, terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapat rendah di kota, dan kaum Priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kecuali itu masih ada kelompok ketiga yang kecil tetapi mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum NingratNdara. Magnis-Suseno 1983: 11 Universitas Sumatera Utara Lapisan-lapisan sosial ekonomi ini masih dibedakan dua kelompok atas dasar keagamaan, kedua-duanya secara nominal termasuk agama Islam, tetapi golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa Pra-Islam, sedangkan golongan kedua memahami diri sebagai orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran agama Islam. Yang pertama dapat kita sebut Jawa Kejawen dalam kepustakaan, kelompok pertama sering juga disebut abangan, yang kedua santri.Magnis-Suseno 1983:12. Hildred Geertz dalam Magnis-Suseno 1983:38 bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu 1. Mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak dapat menimbulkan konflik. 2. Menuntut agar manusia dalam cara berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap rasa hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, kaidah kedua sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk kongret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip ini selalu disadari oleh orang Jawa sebagai anak ia telah membatinkan dan ia sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai dengan dua prinsip ini. Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya dimasa lalu dan konsep-konsep religious yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai filsafah hidup yang menunjukkan sikap Universitas Sumatera Utara pasrah kepada yang Maha Kuasa. Filsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, agama Hindu dan Islam dan pada batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya. Banyak Filsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hamper semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum yang artinya menerima apa-apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Filsafah ini orang Jawa menggangap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Nrima ing pandum diikuti falsafah mawas diri. Artinya, orang Jawa harus senantiasa melakukan intropeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam bertindak.Gauthama 2003:15

2.3 Pilar Budaya Karo