Struktur dan Pilar Budaya Karo Dalam Hubungannya Harmonisasi

penelitan ini harmonisasi interaksi antar etnis di Desa Baru konsep kaidah- kaidah dan filsafah dipegang teguh oleh masyarakat Jawa dan dengan bermodalkan kaidah dan filsafah Jawa ini dapat dilihat masyarakat Jawa dapat berinteraksi dengan latar belakang Etnis yang berbeda kebudayaan dan dapat tinggal bersama- sama dengan etnis yang berlatar-belakang yang berbeda dan berinteraksi yang positif dapat menimbulkan kerja sama antar Etnis satu dengan etnis lain bukannya hanya mencapai tujuan bersama tetapi dapat menciptakan suatu keharmonisan interaksi antar Etnis di Desa Baru. Gambaran di atas sesuai dengan yang diutarakan salah satu infroman Susi pr, 25 tahun yang mengatakan : “Masyarakat Jawa itu dimana pun berada tidak akan meninggalkan kebudayaannya dari tempat asal mereka, saya selaku orang Jawa yang sekarang tinggal kampung orang masih memegang teguh prinsip dalam kehidupan orang Jawa, disini saya juga ikut perkumpulan perwiritan yang biasanya saya ikuti di kampung saya dan berkumpul juga dengan etnis Karo dan Batak untuk menjaga kebersamaan dalam bertetangga”

4.7.3 Struktur dan Pilar Budaya Karo Dalam Hubungannya Harmonisasi

Interaksi Antar Etnis Di Desa Baru Selain Etnis Jawa yang terdapat di Desa Baru, juga dihuni oleh Etnis Karo yang populasinya mencapai 25. Masyarakat Karo memiliki falsafah dan adat sekaligus struktur dan sistem kemasyarakatan, yakni dalam bahasa Karo disebut Marga Silima, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu. Dalam adat Karo, Marga Silima identik dengan garis keturunan biasa Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan Universitas Sumatera Utara untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima marga tersebut terdiri dari, yaitu Karo-Karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan perangin-nangin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut bersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga bersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka. Sesuai dengan konteks diatas Marga silima menentukan garis keturunan dalam Etnis karo, dimana setiap Etnis Karo diharuskan mempunyai keturunan agar marga yang sebelumnya di turunkan oleh pihak orang tua dapat diturunkan ke anaknya agar kelak mereka yang akan meneruskan marga dan diturunkan kepada anaknya nanti baik anak laki-laki ataupun perampuan dan sifatnya yang sesuai dengan generasi yang sebelumnya. Dalam keturunan marga juga mempengaruhi dalam menentukan hak warisan dalam suatu keluarga, seperti kepemilikan tanah yang terjadi di Desa Baru yang merupakan secara garis Universitas Sumatera Utara keturunan yang dapat mengelola hasil warisan tersebut baik dalam bentuk tanah untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk masyarakat sekitar. Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu dan Tutur Siwaluh. Rakut Sitelu artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga, yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh kelengkapan hidup bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu, kalimbubu, anak beru, senina. Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. Dan Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan, yakni Puang Kalimbubu, Kalimbubu, Senina, Sembuyak, Senina Sipemeren, Senina Sipengalon, Anak Beru, Anak Beru Menteri. Sesuai konteksnya masyarakat Etnis Karo tidak dapat hidup sendiri dalam bermasyarakat melainkan harus berinteraksi dan bermasyarakat satu dengan yang lainnya. Ini dapat dilihat dari setiap konsep kehidupan etnis Karo memiliki kalimbubu, anak beru dan senina yang mempunyai fungsi masing-masing untuk menopang kehidupan mereka dan hidup bekerja sama baik dalam memecahkan masalah dengan bermusyawarah tanpa memandang latar belakang terhadap kalimbubu, anak beru, atau senina yang bersangkutan. Sejalan dalam penelitian terhadap Interaksi antar Etnis di Desa Baru bahwa Etnis Karo yang terdapat di Desa Baru sangat menjunjung tinggi konsep kemasyarakatan adat, dimana mereka Universitas Sumatera Utara tinggal dengan berbeda etnis dalam satu lingkungan tidak mempermasalahkan latarbelakang satu dengan yang lain karena mereka yakinan tidak bisa hidup dalam kesendirian dan harus menopang dan bekerja sama baik dari berbagai aspek. Salah satunya yang terjadi di Desa Baru adalah aspek Ekonomi dimana warga atau Etnis yang sebelumnya tinggal di Desa Baru melihat adanya peluang atau pun mendapat keuntungan dengan kehadiran Etnis baru atau pendatang dengan bekerja sama yang saling menguntungkan dengan cara menyewakan lahan kosong kepada etnis pendatang untuk tempat tinggal mereka dan tempat membuka usaha mereka untuk kelangsungan hidup mereka. Penjelasan di atas sesuai dengan yang diutarakan oleh salah satu informan A.K lk, 43 tahun yang mengatakan : “Saya warga yang sudah lama tinggal disini tidak pernah mempermasalahkan kedatangan Etnis Jawa atau pun yang lainnya karena asalkan mereka datang ke kampung orang dengan sopan, kami pun juga sopan dengan mereka, tepat tinggal mereka ngontrak disini sama yang punya rumah kontrakkan atau kios-kios di sini untuk membuka usahanya biar bisa bertahan hidup dengan begitukan kami juga mendapat keuntungan dari mereka karena menyewakan lahan sama orang itu” 4.7.4 Struktur Dan Sistem Sosial Masyarakat Batak di Desa Baru Dalam Hubungannya Dengan Harmonisasi Interaksi Antar Etnis di Desa Baru Selain Etnis Jawa dan Etnis Karo Desa Baru juga dihuni oleh Etnis Batak yang populasinya mencapai 20 yang tidak kalah banyak populasinya dengan Etnis Jawa dan Karo. Tidak beda dengan Etnis Karo di dalam adat Etnis Batak Universitas Sumatera Utara juga memiliki konsep Marga yang mengenai garis keturunan. Berdasarkan prinsip keturunan Masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki- laki, maka dianggap napunu karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahna. Silsilah yang tidak dapat berlanjut lagi sama halnya bahwa seseorang itu tidak akian pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga. Berdasarkan prinsip patrilineal, Masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga. Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaanya harus selalu memelihara kepribadian dan rasa kekeluargaan harus tetap terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya dan bukan nama pribadi atau tempat tinggal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara mereka. Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martarombo, denagn martutur mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan didalam hal martutur yaitu: “Jolo tiniptip sanggar, asa binaen huru-hurun, jolo nisungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya adalah: “untuk membuat sangkar haruslah Universitas Sumatera Utara terlebih dahulu dibuat bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya”. Dengan demikian, orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut. Hal yang penting Etnis Batak mempunyai filsafah dan sekaligus stuktur atau sistem dalam kemasyarakatan yakni dalam bahasa Batak disebut Dalihan Natolu. Artinya dalam adat Batak mempunyai hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga didalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu system kekerabatan Masyarakat Batak Toba. Dalihan na Tolu dalam Bahasa Indonesia adalah tungku nan tiga. Tungku adalah alat memasak, dimana periuk dan belanga diletakkan diatasnya untuk memasak makanan. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambing struktur social mereka. Sebab terdapat tiga golongan penting didalam Masyarakat Batak Toba yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha. Sesuai dengan penjelasan di atas, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi hulahula, juga sebagai dongan tubu dan sebagai boru. Sehingga di dalam struktur kekerabatan, semua orang Etnis Baatak harus berprilaku raja. Raja bukan berarti orang memegang kekuasaan tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Etnis Batak. Kepemilikan hak tanah di Desa Baru juga tidak lepas berdasarkan marga atas siapa yang akan meneruskan hasil kerja keras orang tuanya selama ini, yang tak lain masih satu keluarga dan satu marga. Universitas Sumatera Utara Masyarakat Batak juga tidak lupa apa yang diajarkan orang tua zaman dulu yaitu mencari tiga hal dalam hidup. Tiga hal itu terdiri dari, yakni Hagabeon artinya mempunyai keluarga dan garis keturunan, agar ada generasi penerus. Hamoraon artinya mencari kekayaan, karena percuma banyak keluarga kalau miskin dan sengsara. Hasangapon yang artinya kemulian dan kehormatan. Kebanyakan Etnis Batak pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umunya bekerja keras untuk mencari kekeayaan. Sejalan dengan penelitian ini konsep filsafah Etnis Batak sangat dipegang teguh oleh masyarakat Etnis Batak di Desa Baru. Ini dapat dilihat, masyarakat Etnis Batak melihat dengan kedatangan Etnis pendatang ke Desa Baru, mereka menafsirkan akan mendapatkan keuntungan dengan cara menggarap tanah mereka yang kosong dan ada yang membangun rumah dan kios-kios agar disewakan kepada etnis yang membutuhkan tempat tinggal dan tempat usaha setelah datang ke Desa Baru untuk keberlangsungan hidup mereka. Penjelasan di atas sesuai dengan yang diutarakan salah satu informan H.S lk, 43 tahun yang mengatakan : “Memang banyak warga Etnis apapun dia, termasuk etnis Batak menyewakan lahan dan rumah kontrakkan untuk warga pendatang yang datang ke Desa ini, karena kan orang itu pasti belum ada tempat untuk tinggal, makanya disediakan rumah atau kios-kios untk tempat tinggal mereka dan untuk tempat usaha untuk keberlangsungan hidup mereka dan semakin banyak yang ingin tinggal di sini semakin rame dan berkembang Desa ini” Universitas Sumatera Utara

4.7.5 Kelompok Sosial Desa Baru