Tinjauan Pustaka Konflik, Agraria, dan Konflik Agraria

6 kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial Pospisil, 1971.

1.2 Tinjauan Pustaka Konflik, Agraria, dan Konflik Agraria

Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta 1976 konflik diterjemahkan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan. Pertentangan itu sendiri bisa saja muncul dalam bentuk ide, gagasan, maupun fisik antara dua belah pihak yang saling berseberangan. Defenisi ini jika kita padukan dengan pandangan Diana Francis 2006, Hardensi:2013 yang meletakkan unsur pergerakan dan persinggungan sebagai aspek tindakan didalam konflik, maka secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Konflik menurut Fisher et al. 2001: 4 adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Robins Universitas Sumatera Utara 7 1993, diacu dalam Tadjudin 2000, yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Konflik adalah juga pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada Mitchel et al. 2000:365. Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Secara etimologis kata agraria berasal dari bahasa Latin ager yang artinya sebidang lahan bahasa Inggris acre, lapangan atau pedusunan. Kata bahasa Latin agrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural Wiradi, 1984. Sesuai dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, konsep agraria menunjuk pada beragam objek atau sumber agraria sebagai berikut: tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Struktur agraria pada dasarnya menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial penguasaan sumber-sumber agrarian. Tidak saja pola penguasaan, namun pola pemilikan dan pemanfataan sumber-sumber daya agraria menjadi penting. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan ”pemilik dengan pemilik”, ”pemilik dengan pembagi-hasil”, ”pemilik dengan penyewa”, dan lainnya. Menurut Wiradi 1984, kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan Universitas Sumatera Utara 8 tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain Sihaloho, 2004. Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif Wiradi, 1984. Menurut Wiradi 2000, konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orangkelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan. Pada tahap ”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, perusahaan swasta dan negara, dan masyarakat Sitorus dan Wiradi, 1999. Menurut Christodoulou Puji Astuti 2008:53 Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan pengontrolan sumber-sumber agraria. Konflik agraria menurut Christoulou biasanya melibatkan masyarakat, pemerintah, dan bisnis yang kesemuanya memperebutkan sumber-sumber agraria. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap negara dan bisnis untuk menuntut apa yang menurut mereka Universitas Sumatera Utara 9 adalah haknya. Sedangkan negara dan pengusaha juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis. Sejarah Dan Fase-Fase Konflik Agraria di Indonesia Endang Suhendar 1996 mengungkapkan bahwa konflik agraria di Indonesia paling tidak telah terjadi dalam empat periode yakni : Periode 1870, periode ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara jelas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas erfpacht 10 selama 75 tahun kepada investor swasta. Hal ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit kelas bangsawan maupun masyarat biasa. Konflik agraria pada masa ini, menurut James Scott 1993, dalam Herdensi:2013 pada akhirnya berkembang dari hanya sekedar respon masyarakat terhadap pengambilalihan lahan secara paksa oleh pihak perkebunan dan atau pemerintah Hindia Belanda, sampai pada area psikologi dan sosiologis yang dalam yakni perwujudan eksistensi masyarakat terhadap berbagai pemerasan dan penghisapan yang berlebihan baik yang dilakukan oleh aparat kolonia, pemilik modal maupun kerja sama antar keduanya. Perlawanan ini bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang memberatkan mereka. 10 Semacam hak guna usaha Universitas Sumatera Utara 10 Kedua, periode 1967 - 1973. Periode ini disebut oleh Endang Suhendar sebagai periode eksploitasi. Yang ditandai dengan “dibekukannya” Undang-Undang Pokok Agraria No. 51960. Gunawan Wiradi 2008 meyebut, ada dua faktor yang menjadi penyebab utama pembekuan tersebut. Pertama kondisi objektif yang berupa situasi yang rawan dilihat dari segi politik dan keamanan dalam masa setelah kejadian politik tahun 1965. Kedua, adanya pergeseran pendekatan kebijakan pembangunan pasca runtuhnya Orde Lama dan lahirnya pemerintahan Orde Baru dari kebijakan yang populis pro rakyat menjadi kebijakan yang berpihak pemilik modal atau sering disebut sebagai “developmentalisme”. Sejak Soeharto dan Orde Baru 1966 berkuasa ada begitu banyak produk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang pokok agraria bahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Berbagai produk yang menegasikan undang-undang pokok agraria ini menurut Frans Husken 1998 Herdensi:2013, terjadi semata-mata untuk mendukung dan memberikan ruang pada investasi skala besar yang notabene adalah anak kandung developmentalisme. Melalui Undang-undang Penaman Modal Asing Undang-undang No.11967 dan Penamaman Modal Dalam Negeri Undang-undang No.61968 misalnya pemerintah memberikan kewenangan pada perusahan-perusahaan asing maupun dalam negeri melakukan ekploitasi pada sumberdaya alam Indonesia, serta menyokong usaha- usaha modal besar tersebut untuk mencerabut petani dari tanah, dengan memanfaatkan tidak adanya jaminan hukum positif pada petani atas tanah yang Universitas Sumatera Utara 11 mereka kuasai. Kelompok-kelompok baik petani atau pun di luar petani yang menentang kebijakan tersebut dicap sebagai kelompok makar, suversif, neo komunisme, leninisme kemudian dikriminalisasi, dipenjara, bahkan ada sebagain dari mereka yang di tembak mati Ketiga, periode 1973-1983. Periode ini disebut sebagai periode peningkatan produktivitas tanpa penataan struktur kepemilikan tanah. Untuk mencapai swasembada pangan pada periode 1973-1983 pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan revolusi hijau, namun tidak diikuti dengan rekstrukrisasi kepemilikan tanah seperti amanat Undang-Undang Pokok Agraria No 51960, sehingga terjadi akumulasi penguasa tanah pertanian di pedesaan. Endang Suhendar menyatakan, menurut Joyo Winoto terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir orang berdampak pada semakin massifnya potensi konflik agraria, Joyo menyebut, dalam 50 tahun setelah undang – undang pokok agraria badan pertanahan nasional menginventaris lebih dari 7.491 sengketa lahan di seluruh Indonesia yang menelan korban lebih dari 1.000.000 orang. Hal senada diungkapkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria KPA, jumlah konflik agraria yang bersifat struktural pada tahun 2001 saja mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desakelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah KabupatenKota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban. Dari keseluruhan konflik tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus 19.6 terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar Universitas Sumatera Utara 12 termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus 13.9 dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus 13.2 akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus 8.0 merupakan konflik tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus 6.6 merupakan konflik akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus 4.4 konflik akibat pembangunan bendungan large dams dan sarana pengairan; dan 73 kasus 4.2 adalah konflik yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Keempat periode 1983-2000, yaitu periode dimana pemerintah melakukan deregulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi. Dengan mengeluarkan Undang-undang No 182004 Tentang Perkebunan, Undang-undang No 252007 Tentang Penanaman Modal, Undang-undang No 222001 Tentang Migas. Serta Undang-undang No 411999 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan 11 . Empat periode ini menurut Endang memiliki roh yang sama yakni demi dan atas nama keuntungan yang maksimal pada negara berupa devisa dan pertumbuhan ekonomi pemerintah memberikan ruang yang sangat terbuka bagi investasi untuk 11 Endang Suhendar, Menjadikan Tanah Sebagai Komoditas. Jurnal Analisis Sosial, Edisi ke III, Juli 1996 . Universitas Sumatera Utara 13 mengakses dan mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung didalam, kemudian disisi yang lain mereduksi petani dari asset produksi. Sitorus 2004, Herdensi:2013 Mengidentifikasi paling tidak ada lima factor yang mempengaruhi eskalasi konflik agraria, 1 Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, 2 Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian, 3 Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah wong cilik, 4 Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat hak ulayat, dan 5 Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah. Menurut Maria. S.W. Sumardjono, secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu : a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain; b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform; c. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e. Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum adat 12 . Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata 12 Maris S.W Sumardjono, Puspita Serangkum Masalah Hukum Agraria, Yogyakarta : Liberty, 1982, hal.28 Universitas Sumatera Utara 14 melainkan juga sebagai alat ekonomi. sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan Eksistensi Tanah Ulayat Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum desa,suku untuk menjamin ketertiban pemanfaatanpendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum desa, suku, dimana para warga masyarakat persekutuan hukum tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutua kepala sukukepala desa yang bersangkutan 13 Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu 14 Menurut Suparman Marzuki 2008 dari dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang 13 G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina aksara, 1985, hal. 88 14 Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Universitas Sumatera Utara 15 seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. Menurut Bushar Muhammad 2002:104, hak ulayat berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyammenggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan. Serta membayar ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan hak ulayat. Berlaku kedalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah serta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan. Eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 22 tentang Tenaga Listrik, Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Universitas Sumatera Utara 16 Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 15 Menurut Rustandi Ardiwilaga 1962, bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanda itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil genotsrecht, setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat yang lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladangyang pernah digarap, biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapat diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya. Dimasa reformasi, kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan : 15 Rosalina, Eksistensi Hak Ulayat Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 Universitas Sumatera Utara 17 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang 16 Dalam konteks ini, pengakuan hak ulayat dapat dikatakan sebagai pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan Justiciable. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan 16 Ibid Universitas Sumatera Utara 18 masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, system sosial, antropologis dan agama. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat. Dalam sejarah perkembangan hukum tanah adat diberbagai daerah memang tampak adanya kecenderungan alamiah mengenai makin menjadi lemahnya hak ulayat karena pengaruh intern berupa bertambah menguatnya hak-hak individual para warga masyarakat hukum adatnya. Seringkali kenyataan itu diperkuat oleh adanya pengaruh ekstern terutama kebijakan dan tindakan pihak penguasa, berupa perubahan dalam tata susunan dan penetapan lingkup tugas kewenangan perangkat pemerintah di daerah bersangkutan 17 Resistensi Petani Resistensi inggris: resistance berasal dari kata “resist” dan “ance” adalah menunjukan sebuah sikap untuk berperilaku, bertahan, berusaha melawan menentang atau upaya oposisi. Pada umumya sikap ini tidak merujuk pada paham yang jelas 18 . Resistensi petani merupakan usaha petani untuk mempertahankan tuntutan pokoknya berupa mempertahankan tanah yang merupakan sumber kehidupan serta 17 Muhammad fauzan Hidayat, SH, Bentuk-bentuk penyelesaian konflik reclaiming dan pemdudukan tanah dilihat dari hukum tanah nasional, Tesis S-2, Undip, 2004 Hal 46 18 Httpid.m.wikipedia.orgwikiresisten Universitas Sumatera Utara 19 penghidupanya. Aditjondro 2002, menggambarkan bahwa pembicaraan perlawanan dalam konflik tidak lepas dari penindasan dan represi. Menurut Eric R.Wolf 1983 petani merupakan produsen pertanian yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam dan bertempat tinggal di pedesaan. Hal ini berarti bahwa kehidupan petani amat tergantung kepada tanah pertaniannya sebagai tempat bercocok tanam. Oleh karena itu petani tidak dapat dipisahkan dengan lahan pertaniannya atau dengan kata lain tanah atau lahan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil dalam kehidupan petani. Beberapa ahli seperti Singarimbun dan Penny 1983 mengatakan bahwa hampir setiap aspek kehidupan petani akan dipengaruhi oleh akses mereka terhadap tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan aspek politik dikatakan bahwa dinamika penguasaan tanah di daerah pedesaan dapat menjadi barometer baik harmonis ataupun ketegangan sosial politik ditingkat lokal. Begitu juga menurut Abunawan dalam Karsono 1984, Undri:2004 menurutnya tanah masih merupakan faktor penting dalam perekonomian pedesaan. Luas penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga petani tersebut. Dengan semakin pentingnya tanah tersebut untuk dijadikan lahan pertanian memunculkan berbagai macam persoalan seperti konflik tersebut. Disamping kegiatan pertanian memerlukan tanah, pertambahan penduduk akan menyebabkan timbulnya kecendrungan semakin berkurangnya tanah untuk Universitas Sumatera Utara 20 digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah kemiskinan bersama oleh Geertz, yang disebabkan pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap 19 . Di Sumatera Utara, seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan politik itu bersumber pada persoalan agraria, yakni perkosaan hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka. Mereka, para petani itu, harus menghadapi aliansi tiga kekuatan, yakni Sultan, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun berusaha mempertahankan tanah mereka 20 . Menurut Pelzer banyaknya tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur mengalami problem pangan. Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat operasionalnya aparat pemerintah 19 Kemiskinan bersama tersebut diungkapkan oleh Geertz dalam melihat kehidupan masyarakatdi Jawa. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.Terjemahan oleh S.Soepomo. Jakarta :Bhratara, 1976. Halaman .23 20 Karl J. Pelzer, Toean keboen dan petani: politik kolonial dan perjuangan agraria, 1985 Universitas Sumatera Utara 21 kolonial banyak juga yang peka terhadap problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan 21 . Scott 2000, menjelaskan bentuk lain perlawanan yang disebut senjata perlawanan sehari hari. Petani atau senjata perlawanan orang-orang yang kalah weapons of the weak yang mengidentifikasi petani sebagai orang kelas bawah. Bentuk bentuk perlawanan jenis ini antara lain adalah mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar dan melakukan sabotase. Metode ini dibuat bukan karena tidak berani secara terang-terangan, akan tetapi hal ini lebih dilandaskan pada prinsip moral subsistensi dan kesadaran petani tentang efektifitas perlawanan. Wiradi 2000 menerangkan bahwa kesenjangan perbedaan konsepsi dan persepsi antara mereka yang menggunakan konsep-konsep hukum positif formallegal dengan mereka yang berada pada masyarakat adat, mengenai bermacam hak atas tanah. Masalah ini merupakan masalah yang rumit, karena melibatkan beragam struktur masyarakat dalam upaya membuat konsensus. Tanah tanah yang secara legal tidak ada sertifikasi diduduki oleh rakyat secara turun temurun atas dasar legalitas hukum adat yang berlaku digilas oleh hukum positif yang datang dari negara. 21 Ibid, halaman 143 Universitas Sumatera Utara 22 Antropologi Hukum Dalam Hilman hadikusuma 2004 dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial social control atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial social order dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial 22 . Antropologi hukum itu adalah ilmu pengetahuan logos tentang manusia antropos yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya primitif maupun yang sudah modern maju budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk 22 Http:abdulganilatar.blogspot.com201105sejarah-pemikiran-hukum-responsif.html Universitas Sumatera Utara 23 perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum 23 . Antropologi melihat hukum itu hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki. Dengan demikian adat masyarakat yang menjadi suatu sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Hoebel: “Hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana dengan hukumnya yang sederhana atau primitive law, hukum itu ada pada masyarakat purba dengan hukumnya yang purba atau archaic law, dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dan hukumnya yang modern 24 . Maka sebagaimana telah diuraikan di atas dapatlah diketahui bahwa antropologi hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaedah- kaedah sosial yang bersifat hukum, sedangkan kaedah-kaedah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok dalam penelitian antropologi hukum 25 . Menurut Ihromi 2001 antropologi hukum merupakan studi ilmiah tentang hukum dengan pendekatan ilmu sosial, namun pada hakikatnya berbeda dengan pendekatan ilmu hukum dogmatis. Untuk memahami bidang kajian tersebut 23 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung, 2004 h.4 24 Ibid, h. 8 25 Ibid, h.10 Universitas Sumatera Utara 24 diperlukan pengetahuan tentang hukum dan salah satu pengetahuan tentang hukum tersebut adalah yang dikembangkan serta dipoerluas oleh ilmu hukum tersebut. Hukum yang dipelihara serta dicetuskan para ahli hukum dan dipelihara para hakim merupakan satu bagian dari data empiris yang seharusnya di kaji para ahli antropologi hukum. Menurut Leopold J. Pospisil hukum dikenal melalui identitas yang mempergunakan atribut-atribut atau ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk membedakan hukum dari gejala-gejala sosial lainnya misalnya ekonomi, politik dan lain-lain. Di dalam penelitiannya terhadap berbagai masyarakat, ia membuat suatu analisa perbandingan, sehingga menghasilkan 4 atribut hukum, yakni: 1. Wewenang authority, merupakan kekuasaan yang diakui, sehingga keputusan- keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak- pihak lainnya. 2. Tujuan agar hukum diperlakuakn secara universal intention of universal application, apabila ada masalahmasalan di kemudian hari, maka hal itu akan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, walaupun kemungkinan terjadinya variasi tentu ada. 3. Hak dan kewajiban obligation, ini harus ada di dalam setiap keputusan pihak yang berwenang. Di dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hubungan antara pihak-pihak tertentu, maka salah satu pihak mempunyai hak atau wewenang, sedangkan pihak lain mendapat kewajiban atau tugas. Universitas Sumatera Utara 25 Hak dan kewajiban tersebut hanyalah menyangkut pribadi-pribadi yang masih hidup. 4. Dan sanksi sanction, hanya merupakan ciri bukan suatu kriterium utama atau pokok, sebab sanksi tersebut tidak selamanya berbentuk fisik tetapat bisa juga berbentuk kejiwaan atau psikologis 26 . Dewasa ini ada kecendrungan luas untuk membatasi ruang lingkup antropologi hukum pada masalah sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat, baik itu mengenai pola-pola sengketa, bagaimana reaksinya dalam masyarakat dan bagaimana cara mengatasi sengketa-sengketa tersebut, yang pada mulanya hanya bersifat menguraikan laporan tentang norma-norma hukum dalam masyarakat sederhana yang dikumpulkan dari para penulis pegawai pemerintahan kolonial dan para misionaris. Seperti pernyataan Laura Nader dalam bukunya “The Anthropological Study of Law”, antara lain dikemukakan masalah pokok yang merupakan ruang lingkup antropologi hukum sebagai berikut: 1. Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik hukum yang universal. 2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. 3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum terbatas. 26 Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Materi Pengembangan, hal 164-167 Universitas Sumatera Utara 26 4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah. 5. Bagaimana cara mendeskripsi sistem sistem hukum, apakah akibat jika sistem hukum dan subsistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu dan yang lain 27

1.3 Rumusan Masalah