50
BAB III DINAMIKA ATAS TANAH ADAT AEK BUATON
3.1 Arti Penting Tanah Ulayat Bagi Masyarakat Aek Buaton
Timbulnya konflik yang melibatkan masyarakat Aek Buaton berakar dari permasalahan tanah ulayat. Hal ini bisa terjadi tentu karena masyarakat Aek Buaton
menganggap tanah ulayat memiliki arti penting dalam hidup dan kehidupannya. Menurut G. Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah,
Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa ; “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum
desa, suku
untuk menjamin
ketertiban pemanfaatanpendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu
persekutuan hukum desa, suku, dimana para warga masyarakat persekutuan hukum tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur
oleh ketua persekutua kepala sukukepala desa yang bersangkutan”
45
Sedangkan tanah ulayat menurut keputusan No 5 tahun 1999 Menteri Negara PertanianKepala badan pertanahan nasional, pasal 1 ayat 2 adalah bidang tanah
yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ini adalah hak kampung atau komunitas untuk menguasai tanah lokal.
Masyarakat Adat Aek Buaton menganggap tanah ulayat, Sebagai sebuah warisan yang didapatkan secara turun temurun, segenap penduduk desa sudah
selayaknya menjaga dan melestarikan tanah tersebut, selain itu tanah merupakan
45
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina aksara,
1985, hal. 88
Universitas Sumatera Utara
51
sumber penghidupan yang artinya sangat penting bagi masyarakat desa yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Tanpa tanah mustahil petani mampu
bercocok tanam dan menghasilkan hasil-hasil pertanian untuk dijual dalam rangka melangsungkan hidupnya. Hal ini setidaknya menjadi salah satu faktor masyarakat
Aek Buaton mencoba mempertahankan tanah ulayat mereka. Sejalan dengan itu Budi Harsono 1996 menjelaskan hukum tanah adat yang
murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan milik bersama
kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena, itu
biarpun sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan hak-hak dalam hukum tanah barat, sejak
kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah terkandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum
adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat. Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat
penting karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat
tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur
persekutuan Soerejo Wignjodipoero, Aminuddin Salle 2007
Universitas Sumatera Utara
52
Tanah merupakan sumber kehidupan masyarakat Desa Aek Buaton yang mayoritasnya adalah petani. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin
tingginya biaya hidup, mengakibatkan kebutuhan akan tanah yang akan diolah sebagai lahan pertanian atau perkebunan semakin meningkat. Di lain sisi, tanah ulayat
tersebut menyimpan berbagai peninggalan nenek moyang leluhur pendiri desa aek buaton yang saat ini semakin lama semakin hilang karena sudah berganti menjadi
lahan sawit ataupun karet milik pribadi – pribadi yang sialnya bukan milik penduduk Desa Aek Buaton. Hal ini menimbulkan resistensi dari penduduk desa yang berniat
ingin kembali menjaga dan mengelola tanah ulayat milik mereka. Dalam konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai
komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak
orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang
bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan
merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang
masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung.
46
Menurut Husni Mubarak, Kepala Desa Aek Buaton:
46
Irin Siam Musnita, Sh, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong, Tesis 2008
Universitas Sumatera Utara
53
“Masyarakat Aek Buaton sangat berharap tanah ulayat yang merupakan hak bagi seluruh masyarakat aek buaton mampu dijaga mengingat disanalah terdapat
sejarah dan makam leluhur nenek moyang pendiri desa aek buaton yang merupakan harta tak ternilai bagi masyarakat desa. Di sisi lain, tanah sangat dibutuhkan untuk
melangsungkan kehidupan masyarakat desa dikarenakan semakin bertambahnya jumlah penduduk, artinya kebutuhan atas tanah juga semakin besar. Dalam
masyarakat adat aek buaton, tanah adat diartikan sebagai sebuah kepemilikan bersama. Digunakan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa”.
. 3.2 “Hilangnya” 1500 Ha Tanah Ulayat Aek Buaton
Tanah yang menjadi konflik seluas 1500 ini merupakan bekas perkampungan Lobu leluhur Desa Aek Buaton di Banjar Bolak dan sekitarnya. Dahulu kala para
leluhur Aek buaton menanam tanaman-tanaman berupa kopi, lancet, durian, pokok enau dan sangge sangge diwilayah ini. Keterangan ini didapatkan dari penduduk Desa
Aek Buaton dan dibuktikan dengan adanya makam dan kuburan penduduk termasuk makam leluhur masyarakat Aek Buaton bernama Malim Soleman Nasution.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta 1976 konflik diterjemahkan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan.
Pertentangan itu sendiri bisa saja muncul dalam bentuk ide, gagasan, maupun fisik antara dua belah pihak yang saling berseberangan. Defenisi ini jika kita padukan
dengan pandangan Diana Francis 2006, Herdensi:2013 yang meletakkan unsur pergerakan dan persinggungan sebagai aspek tindakan didalam konflik, maka secara
sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.
Universitas Sumatera Utara
54
Peristiwa ini bermula pada sekitar tahun 1990 – 1996 dimana pemerintah melalui program HTI Hutan tanaman industri mencoba masuk ke lahan seluas 1500
Ha milik masyarakat adat Aek Buaton. Menyikapi hal tersebut, penduduk enam desa yang tergabung dalam wilayah adat aek buaton yakni: Desa Aek Buaton, Batu
Sundung, Hota Bogot, Sidong-Dong Sayur Matua dan Sayur Mahicat mencoba melakukan pembahasan untuk mengambil langkah apa yang akan ditempuh
menghadapi situasi saat itu. Dari pembahasan itu lahirlah kesepakatan dari penduduk enam desa di bawah
naungan adat Aek Buaton yang berkomitmen untuk menolak masuknya HTI ke tanah adat milik mereka. Untuk itu, penduduk enam desa pun melakukan perlawanan dalam
rangka mempertahankan eksistensi tanah ulayat tersebut. Apabila di Flashback lebih jauh, dahulu sekitar tahun 1958 masyarakat Aek
Buaton memang pernah menyerahkan tanah kepada dinas kehutanan untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri, namun baru pada sekitar tahun 1990 HTI Padang Lawas
melaksanakan kegiatan diwilayah Kecamatan Barumun Tengah yang termasuk didalamnya diatas tanah tanah adat Luat Aek Buaton seluas lebih kurang 1500
hektar. Yang membuat masyarakat menolak menyerahkan tanah kepada HTI
disebabkan kebutuhan atas tanah bagi masyarakat aek buaton yang menaungi enam anak desa semakin besar. Selain itu, masyarakat Aek buaton pada saat itu merasa
terpaksa menyerahkan tanah tersebut akibat kebijakan pemerintah pada saat itu tidak berpihak pada masyarakat adat.
Universitas Sumatera Utara
55
Ini sejalan dengan yang di kemukakan oleh Suparman Marzuki 2008, di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa.
Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas namapembangunan.
Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk melaksanakan hak menguasai dari Negara tetapi dalam peraturan di beberapa
sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 51967 tentang
kehutanan membagi dua bagian yaitu Hutan Negara dan Hutan Milik. Penjelasan pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan
menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada daerah
swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai hutan negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja
dan sebagainya. Hal ini sedikit banyaknya mempengaruhi posisi tanah adat Aek Buaton yang ingin di tanami sebagai Hutan Tanaman Industri.
Senada dengan itu, Pelzer mengatakan bahwa sebenarnya sumber utama dari ketidakpuasan mereka adalah jumlah lahan yang tidak cukup tersedia bagi penduduk
desa itu. Persoalan yang penting adalah justru pengurangan tanah yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan membagikannya kepada petani yang
kekurangan tanah redistribusi.
Universitas Sumatera Utara
56
Kurun waktu perjuangan mempertahankan tanah adat dari masuknya HTI memakan waktu kurang lebih selama 5 tahun. Dalam waktu yang cukup panjang
tersebut pastinya memakan banyak tenaga dan materi sehingga menyebabkan perjuangan kelompok masyarakat adat 6 desa ini mulai rapuh. Beberapa desa mulai
mundur karena konflik internal yang terjadi dalam melakukan perjuangan merebut tanah dari HTI. Konflik internal tersebut dikarenaan rasa tidak saling percaya, adanya
oknum-oknum yang mendominasi dan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan perjuangan.
Menurut Irwansyah Harahap, penduduk desa Aek Buaton, “Saat perjuangan tersebut mulai tidak solid dan di dominasi beberapa oknum
justru tanah ulayat masyarakat aek buaton tersebut berhasil dimenangkan. Artinya, HTI yang coba menguasai lahan tersebut akhirnya berhasil diusir. Dan segelintir
orang yang masih konsisten memperjuangkan tanah Ulayat tersebut merupakan penduduk Desa Sayur Mahicat dan Sayur Matua yang juga pada saat itu merupakan
anggota DPRD Tapanuli Selatan. Lewat mereka perjuangan mengusir HTI berhasil dilakukan. Pada tahun 1996, setelah tanah ulayat seluas 1500 Ha tersebut berhasil
dikuasai, terjadilah penghianatan atau perampasan adat dan tanah ulayat Aek Buaton”.
Warga aek buaton sendiri juga menolak apabila dikatakan sama sekali tidak memiliki kontribusi dalam memperjuangkan tanah tersebut. Justru yang memulai
inisiatif untuk mempertahankan tanah tersebut adalah penduduk Desa Aek buaton. Adanya segelintir orang yang merasa mendominasi dalam usaha
memperjuangkan tanah ulayat dari HTI rupanya menjadi masalah baru yang membawa situasi konflik baru di masyarakat adat Aek Buaton.
3.3 Perpindahan Luhat Desa Sayur Mahicat Dan Sayur Matua