Timbulnya Gerakan Perlawanan PERJUANGAN MEMPEREBUTKAN KEMBALI TANAH ADAT AEK

64

BAB IV PERJUANGAN MEMPEREBUTKAN KEMBALI TANAH ADAT AEK

BUATON

4.1 Timbulnya Gerakan Perlawanan

Penjualan yang dilakukan atas tanah seluas 1500 Ha milik masyarakat adat Aek Buaton membuat sebagian besar penduduk yang merasa dalam naungan adat aek buaton marah. Munculnya niat untuk merebut tanah itu kembali disebabkan karena merasa bahwa eksistensi dari tanah ulayat mereka harus dipertahankan. Factor lain yang cukup dominan mempengaruhi munculnya gerkan perlawanan adalah semakin besarnya kebutuhan akan lahan pertanian untuk hidup dan kehidupan masyarakat desa. Memang tanah merupakan faktor penting bagi sebagian besar masyarakat Aek Buaton yang bermata pencarian sebagai petani. Alasan dibalik perlawanan petani dikemukakan melalui tulisan Scott 1993 sebagai respon atas tercerabutnya prinsip subsistensi yang selama ini menjadi sandaran kehidupan petani. Hubungan patron-klien yang memudar turut memicu perlawanan petani dan konflik vertikal Sejalan dengan yang diungkapkan Eric R.Wolf 1983 petani merupakan produsen pertanian yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam dan bertempat tinggal di pedesaan. Hal ini berarti bahwa kehidupan petani amat tergantung kepada tanah pertaniannya sebagai tempat bercocok tanam. Oleh karena itu petani tidak dapat Universitas Sumatera Utara 65 dipisahkan dengan lahan pertaniannya atau dengan kata lain tanah atau lahan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil dalam kehidupan petani. Masyarakat Aek Buaton tidak terima melihat tanah ulayat yang mereka miliki dikelola untuk kepentingan perusahaan maupun pribadi-pribadi yang sama sekali tidak memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat Aek Buaton. Sementara itu di sisi lain, kebutuhan ekonomi akibat naiknya biaya hidup menyebabkan masyarakat membutuhkan lahan baru untuk menopang kehidupannya. Seperti yang diungkapkan Geertz 1976 mengenai istilah kemiskinan bersama, dimana pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap. Kegiatan pertanian memerlukan tanah, pertambahan penduduk akan menyebabkan timbulnya kecendrungan semakin berkurangnya tanah untuk digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Petani mengembangkan perlawanan dalam berbagai bentuk dan sesuai dengan karakternya sebagai petani. Scott 1993 menyatakan bahwa petani dapat melakukan perlawanan sehari-hari atas kekuasaan yang lebih besar. Dilatarbelakangi adanya suatu konsep dasar tentang peningkatan bargaining position ketika dihadapkan pada relasi sosial yang lebih kompleks yang menekan petani, maka perlu ada suatu perlawanan. Definisi Scott tentang perlawanan merujuk pada “perlawanan resistence penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap semua tindakan oleh para anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan misalnya sewa, pajak, penghormatan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas Universitas Sumatera Utara 66 yang lebih atas misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan terhadap kelas-kelas atasan”. Rasa memiliki dan desakan kebutuhan atas tanah adalah modal masyarakat Aek Buaton untuk memulai bangunan gerakan perlawanan. Masyarakat mulai rajin mengadakan forum-forum pertemuan dalam rangka membahas cara merebut kembali tanah milik mereka. Gerakan perlawanan kaum tani digambarkan oleh Scott 2000 yang mengidentifikasi petani sebagai orang kelas bawah. Bentuk bentuk perlawanan jenis ini antara lain adalah mengambil makanan, menipu, berpura pura patuh, mencuri kecil kecilan, pura pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar dan melakukan sabotase. Metode ini dibuat bukan karena tidak berani secara terang terangan, akan tetapi hal ini lebih dilandaskan pada prinsip moral subsistensi dan kesadaran petani tentang efektifitas perlawanan

4.2 Pendudukan Kembali Reclaiming