66
yang lebih atas misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri misalnya pekerjaan, lahan,
kemurahan hati, penghargaan terhadap kelas-kelas atasan”. Rasa memiliki dan desakan kebutuhan atas tanah adalah modal masyarakat
Aek Buaton untuk memulai bangunan gerakan perlawanan. Masyarakat mulai rajin mengadakan forum-forum pertemuan dalam rangka membahas cara merebut kembali
tanah milik mereka. Gerakan perlawanan kaum tani digambarkan oleh Scott 2000 yang
mengidentifikasi petani sebagai orang kelas bawah. Bentuk bentuk perlawanan jenis ini antara lain adalah mengambil makanan, menipu, berpura pura patuh, mencuri
kecil kecilan, pura pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar dan melakukan sabotase. Metode ini dibuat bukan karena tidak berani secara terang
terangan, akan tetapi hal ini lebih dilandaskan pada prinsip moral subsistensi dan kesadaran petani tentang efektifitas perlawanan
4.2 Pendudukan Kembali Reclaiming
Adapun cara yang dilakukan oleh masyarakat Aek Buaton untuk dapat menikmati tanah ulayat mereka adalah melalui reclaiming. Di Aek Buaton sendiri,
konsolidasi dan reclaiming atas tanah ini dimulai sejak awal tahun 2000-an, namun gerakan yang dibangun oleh masyarakat semakin solid semenjak memasuki tahun
2010-an. Dimana gerakan gerakan yang dibangun sudah melibatkan empat desa anak
Universitas Sumatera Utara
67
aek buaton dan dilakukan secara serentak melalui kesepakatan-kesepakatan yang dibangun.
Parangin memberikan istilah, “menyerobot” tanah yang dimaksud yaitu menguasai secara fisik tanpa adanya dasar hak yang resmi. Upaya pengambilalihan
hak ini mendapatkan istilah yang tepat dalam bahasa inggris yaitu reclaiming. Secara sosiologis reclaiming berarti sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat
tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air dan sumber daya alam serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat
semesta
48
. Reclaiming bukan penjajahan, reclaiming mempunyai dasar-dasar yang dapat
dipertanggung jawabkan, baik dimensi moral, ketidakadilan, normative-yuridis, historis dan nilai-nilai lokal, struktur yang menindas, kebutuhan dasar manusia dan
kewajiban Negara. Oenjarahan adalah merupakan tindakan kriminal, pencurian yang tidak mendasarkan pada hak yang sesungguhnya dia miliki
49
Gerakan yang dibangun oleh masyarakat Aek Buaton tentu semakin meresahakan pihak-pihak yang telah membeli tanah ulayat tersebut. Beberapa kali
masyarakat mendapatkan intimidasi dan teror atas apa yang telah mereka lakukan. Bahkan bentrok fisik dan pemanggilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kerap
terjadi.
48
Parangin, praktek jual beli tanah, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hal 32
49
Andik haryanto, Penuntasan masalah lahan perkebunan untuk keadilan agraria dan kemakmuran petani, Surabaya, 2000, hal 6
Universitas Sumatera Utara
68
Pada awal Januari 2013 masyarakat empat desa yakni: Desa Aek Buaton, Sidongdong, Batu Sundung dan Huta Bargot, bersepakat untuk masuk dan menggarap
lahan kosong yang merupakan tanah ulayat empat desa tersebut. Dalam hasil rapat dengan semua warga ditegaskan bahwa bagi yang mau menggarap lahan kosong
harus mengikuti peraturan yang disepakati. Adapun aturan itu adalah maksimal lahan garapan tidak boleh lebih dari dua
hektar per orang. selanjutnya lahan tersebut harus ditanami pokok karet menyesuaikan program pemerintah untuk melestarikan hutan dan sehat lingkungan.
Bersamaan dengan waktu tersebut masyarakat empat desa secara resmi telah melayangkan surat laporan kepada pemerintah setempat sampai ke pemerintah pusat
yaitu permohonan bantuan hukum dan keadilan dalam hal penanganan antisipasi atas penggarapan warga ke lahan tersebut, dan surat tersebut ditanda tangani oleh empat
kepala desa dan tokoh masyarakatnya. Menurut Marwan, warga Desa Aek Buaton,
“Atas aktivitas tersebut seorang yang bernama Harapan Nauli Harahap merasa keberatan, beliau menganggap masyarakat telah mengambil haknya. Atas dasar
keberatan tersebut pada sekitar hari kamis jam 10.00 Wib tanggal 29 Januari 2013, dilakukan sidang lapangan yang di hadiri oleh tokoh masyarakat Luhat Aek Buaton
desa Aek Buaton, Desa Batu Sundung, Desa Sidong-dong, dan Desa Huta Bargot, Sutan Humala Hasibuan. Sidang lapangan itu sendiri merupakan permintaan dari
Harapan Nauli Harahap yang keberatan tanahnya telah ikut digarap oleh warga empat desa Luhat Aek Buaton. Namun sidang lapangan tersebut tidak menghasilkan kata
sepakat, masing-masing pihak mengklaim tanah tersebut adalah miliknya. Harapan Nauli Harahap mengklaim bahwa tanah yang luasnya sekiatar 40 hektar tersebut
adalah miliknya dengan dasar surat beli dari Sibolon Hasibuan dan Oka Nasution”.
Universitas Sumatera Utara
69
Penjelasan Harapan Nauli didukung oleh Sutan Humala Hasibuan dengan dasar surat tanah tahun 1998 masuk wilayah desa Unterudang. Sedangkan tokoh
masyarakat Aek Buaton menyatakan bahwa tanah itu adalah tanah ulayatnya dengan dasar peta wilayah tahun 1950 an yang ditanda tangani oleh Sutan Palaon Hasibuan
sebagai ketua kedewanan luhat Unterudang yang merupakan ayah kandung Sutan Humala. Ditambah dengan surat tahun 1996 yang di akui oleh empat kerajaan luhat
dan ditanda tangani Sutan Humala sendiri. Situasi ini menjadikan suasana konflik semakin memanas.
Sampai saat ini tahun 2014 masyarakat Aek Buaton masih tetap melakukan aktifitasnya dalam melakukan reclaiming. Namun harus diakui, semangat perjuangan
merebut kembali tanah tersebut semakin mengendur. Gerakan-gerakan yang dilakukan semakin hari semakin bersifat individual. Terlebih pasca bentrokan hebat
yang dialami masyarakat Aek Buaton pada bulan Maret 2013. Rasa trauma dan ketakutan masih sedikit banyak menghantui perjuangan untuk mereclaiming tanah
tersebut.
4.3 Tindak Kekerasan Dan Kriminalisasi