Perpindahan Luhat Desa Sayur Mahicat Dan Sayur Matua

56 Kurun waktu perjuangan mempertahankan tanah adat dari masuknya HTI memakan waktu kurang lebih selama 5 tahun. Dalam waktu yang cukup panjang tersebut pastinya memakan banyak tenaga dan materi sehingga menyebabkan perjuangan kelompok masyarakat adat 6 desa ini mulai rapuh. Beberapa desa mulai mundur karena konflik internal yang terjadi dalam melakukan perjuangan merebut tanah dari HTI. Konflik internal tersebut dikarenaan rasa tidak saling percaya, adanya oknum-oknum yang mendominasi dan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan perjuangan. Menurut Irwansyah Harahap, penduduk desa Aek Buaton, “Saat perjuangan tersebut mulai tidak solid dan di dominasi beberapa oknum justru tanah ulayat masyarakat aek buaton tersebut berhasil dimenangkan. Artinya, HTI yang coba menguasai lahan tersebut akhirnya berhasil diusir. Dan segelintir orang yang masih konsisten memperjuangkan tanah Ulayat tersebut merupakan penduduk Desa Sayur Mahicat dan Sayur Matua yang juga pada saat itu merupakan anggota DPRD Tapanuli Selatan. Lewat mereka perjuangan mengusir HTI berhasil dilakukan. Pada tahun 1996, setelah tanah ulayat seluas 1500 Ha tersebut berhasil dikuasai, terjadilah penghianatan atau perampasan adat dan tanah ulayat Aek Buaton”. Warga aek buaton sendiri juga menolak apabila dikatakan sama sekali tidak memiliki kontribusi dalam memperjuangkan tanah tersebut. Justru yang memulai inisiatif untuk mempertahankan tanah tersebut adalah penduduk Desa Aek buaton. Adanya segelintir orang yang merasa mendominasi dalam usaha memperjuangkan tanah ulayat dari HTI rupanya menjadi masalah baru yang membawa situasi konflik baru di masyarakat adat Aek Buaton.

3.3 Perpindahan Luhat Desa Sayur Mahicat Dan Sayur Matua

Universitas Sumatera Utara 57 Titik penting dari semakin keruhnya situasi konflik agraria di wilayah adat Aek Buaton ini disebabkan perpindahan Luhat Desa Sayur Matua dan Desa Sayur Mahicat. Dikomandoi oknum anggota DPRD Tapanuli Selatan yang merupakan warga Desa Sayur Mahicat, akhirnya mereka menganggap tanah seluas 1500 Ha adalah milik masyarakat Sayur Matua dan Sayur Mahicat hasil perjuangan sendiri karena berhasil mengusir HTI. Oleh sebab itu, Desa sayur Mahicat dan Sayur Matua yang dikomandoi oleh oknum anggota DPRD tersebut secara resmi membuat surat permohonan pindah naungan adat ke wilayah Luhat Kerajaan Aek Nabara dan sekaligus mengklaim bahwa dengan diterimanya mereka dibawah naungan adat Luhat Aek Nabara, maka tanah ulayat Aek Buaton itu adalah tanah ulayat Luhat Aek Nabara. Seperti yang sudah dijelaskan, Desa Sayur Matua dan Sayur Mahicat merupakan anak Desa Aek Buaton yang menurut sejarahnya perkampungan desa tersebut adalah pemberian Raja Aek Buaton pada tahun 1937. Perpindahan Luhat Desa Sayur Mahicat dan Sayur Matua di nilai tidak masuk diakal, menurut Mangaraja Lobi, Hotabangon Aek Buaton: “Sudah jelas bahwa sayur mahicat dan sayur matua itu adalah anak Desa Aek Buaton yang wilayahnya diberikan pada tahun 1937. Tidak ada hubungan sama sekali dengan wilayah adat Unterudang sesuai dengan bukti bukti sejarah yang ada. Para tetua Unterudang tahu betul akan hal ini”. Oleh karena itu perpidahan luhat tersebut juga tidak sah secara adat. Sebab Unterudang adalah salah satu luhat yang juga mengakui akan eksistensi Aek Buaton sebagai sebuah wilayah yang memiliki anak desa dan adat tersendiri. Universitas Sumatera Utara 58 Perpindahan adat Desa Sayur Mahicat dan Sayur Matua ini dilakukan bukan atas nama masyarakat adat, tapi adalah atas tindakan sewenang wenang oknum yang mengatasnamakan desa tersebut. Untuk menarik simpati masyarakat, maka tanah tersebut rencananya akan di berikan kepada PTPN II untuk kemudian masyarakat akan mendapatkan pola pir seluas 400 Ha. Memang modus utama mereka berpindah adat adalah dalam rangka memudahkan untuk menjual tanah kepada PTPN II. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Desa Sayur Matua dan Sayur Mahicat sedikit banyak sepakat jika tanah ulayat Aek Buaton berpindah menjadi tanah ulayat Unterudang. Akhirnya tanah tersebut diserahkan kepada PTPN II atas nama masyarakat adat Unterudang.

3.4 Berbagai Pengkhianatan Yang Terjadi