untuk lebih jauh melihat bagaimana perkembangan nilai-nilai sosial budaya Jawa dan Cina ketika bersatu dalam sebuah perkawinan antar kedua etnis tersebut.
4. Penelitian Sebelumnya 1. Penelitian Turnomo Rahardjo 2005
Turnomo Rahardjo dalam bukunya Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis 2005 didasarkan pada sebuah
penelitian komunikasi antaretnis yang terfokus pada bagaimana setiap individu dari dua kelompok etnis yang berbeda etnis Cina dan etnis Jawa melakukan
negosiasi identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial yang memungkinkan mereka bisa bertemu, berkomunikasi dan saling mempengaruhi.
Lebih lanjut
studi yang
dilakukan oleh
Rahardjo berusaha
mengembangkan pemikiran teoretik tentang bangunan komunikasi antarbudaya yang sesuai bagi relasi antara etnis Cina dengan etnis Jawa. Bangunan komunikasi
antarbudaya yang dimaksud tersebut adalah apakah dalam wujud pemikiran teoretik tentang budaya ketiga third culture atau multikulturalisme.
Dalam penelitiannya, Rahardjo menetapkan sebuah kawasan pemukiman yang memungkinkan individu-individu dari kelompok etnis Cina dan etnis Jawa
dapat berkomunikasi dengan intensitas yang relatif tinggi. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa komunikasi yang berlangsung dalam
intensitas yang relatif tinggi akan dapat menciptakan situasi mindfulness. Berdasarkan alasan tersebut, maka Rahardjo berasumsi bahwa lokasi yang
memenuhi kriteria adalah wilayah pemukiman di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Surakarta.
Unit analisis dari penelitian tersebut adalah individu-individu dari masing- masing kelompok etnis yang mempersepsikan pengalaman mereka dalam
komunikasi antaretnis yang berlangsung selama ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penggunaan instrumen indepth interview, serta questionnaire
dan show card. Penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo ini merupakan usaha menerapkan prinsip trianggulasi, yaitu penggabungan metoda kuantitatif dengan
metoda kualitatif. Analisis terhadap data hasil survei tentang efektivitas komunikasi antara etnis Cina dengan etnis Jawa dilakukan dengan
membandingkan nilai rata-rata hitung mean. Sedangkan analisis untuk data kualitatif mengacu pada metoda fenomenologi.
Dari penelitian tersebut didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu: 1 Warga masyarakat dari kedua kelompok etnis di Sudiroprajan telah
mampu menciptakan situasi komunikasi antaretnis yang mindful, karena telah memiliki kecakapan atau kompetensi komunikasi yang memadai.
Perbedaan-perbedaan yang membentuk identitas budaya tidak menjadi penghalang bagi interaksi sosial. Sudiroprajan dikatakan sebagai miniatur
dari penerapan bangunan atau model multikulturalisme yang berupaya menciptakan komunikasi yang setara equal, dan dengan sendirinya
mengakui adanya perbedaan difference. 2 Persoalan SARA suku, agama, ras dan antargolongan tidak dipahami
sebagai murni persoalan akibat adanya perbedaan primordialistik
etnisitas oleh warga masyarakat Sudiroprajan. Tetapi persoalan SARA dipahami sebagai realitas akibat adanya heterogenitas etnisitas dan hal ini
tidak berpengaruh dalam kehidupan bertetangga di antara kedua kelompok etnis.
3 Terciptanya integrasi sosial di wilayah Sudiroprajan tidak semata-mata karena masyarakat menyadari, bahwa perbedaan etnisitas harus
mendapatkan toleransi yang mencukupi. Namun, lingkungan perumahan atau bangunan perumahan yang dihuni oleh masing-masing keluarga
memberikan kemungkinan bagi warga etnis Cina dan warga etnis Jawa untuk melakukan komunikasi antarbudaya dengan baik.
4 Komunikasi yang setara antara warga etnis Cina dengan etnis Jawa tercermin di Sudiroprajan yang ditandai oleh adanya penghargaan terhadap
perbedaan karakteristik kultural yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnis. Bangunan multikulturalisme terlihat dengan jelas ciri-
cirinya.
Terdapat kelemahan-kelemahan dalam penelitian Turnomo Rahardjo, yaitu perlunya mencermati pemilihan Kelurahan Sudiroprajan sebagai lokasi penelitian.
Kelurahan Sudiroprajan merupakan sebuah wilayah yang asalnya adalah perkampungan Cina yang dibangun sejak jaman Kompeni dan berlanjut pada
masa kolonial. Tetapi sejak tahun 1910, wijkenstelsel dan passenstelsel yang membatasi ruang gerak orang Cina dihapuskan sehingga mereka tidak diwajibkan
untuk bertempat tinggal di perkampungan Cina Nurhadiantomo, 2006: 15.
Seiring perkembangannya, perkampungan Cina tersebut tidak lagi dihuni oleh warga etnis Cina.
Warga etnis Cina yang hidup di perkampungan Cina identik dengan kehidupan orang-orang Cina miskin. Status sosial ekonomi warga etnis Cina di
wilayah Sudiroprajan relatif sama dengan penduduk pribumi yang ada di sekitarnya, sehingga komunikasi sosial dapat berlangsung secara koesif dan
intensif. Kondisi sosial semacam ini membuat proses pembauran berlangsung secara alami, termasuk adanya perkawinan antaretnis, yang telah berlangsung
selama beberapa generasi. Karena itu perkampungan di wilayah Sudiroprajan tumbuh dan berkembang menjadi perkampungan yang heterogen, dan
masyarakatnya membaur secara alami. Melihat sejarah konflik, terutama kerusuhan sosial atau kekerasan kolektif,
yang timbul di Kota Surakarta, nampak bahwa warga etnis Cina tidak dapat dilepaskan sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat. Konflik-konflik terbuka
seperti kerusuhan massa atau kekerasan kolektif, tentunya didahului dengan konflik-konflik laten, merupakan salah satu bentuk dari patologi sosial, sebagai
produk dari sistem sosial yang tidak sehat. Nurhadiantomo 2006, dalam makalahnya, mengungkapkan bahwa salah satu bentuk konflik manifes yang
terjadi secara kesinambungan, yang tentunya juga disertai dengan unsur-unsur yang berubah, adalah konflik-konflik sosial pri-nonpri dalam perjalanan sejarah
sosial masyarakat Surakarta. Dari penjabaran tersebut, sangat dirasa perlu melakukan penelitian lebih
mendalam yang berpijak dari penelitian yang telah dilakukan oleh Turnomo
Rahardjo. Kondisi sosial Kota Surakarta yang rentan terhadap munculnya konflik yang melibatkan warga etnis Cina penting untuk mendapatkan kajian lebih
mendalam. Komunikasi antaretnis warga etnis Cina dan Jawa di Kota Surakarta ternyata masih jauh dari harapan terciptanya situasi komunikasi antaretnis yang
mindful. Kenyataan yang diperlihatkan di wilayah Sudiroprajan, bahwa hubungan antara warga etnis Cina dan Jawa dapat hidup saling menghormati dan
menghargai perbedaan masing-masing, tidak dapat secara umum mewakili kondisi nyata yang terjadi di Kota Surakarta.
Sangat penting mengkaji komunikasi antaretnis yang terjadi dalam sebuah keluarga kawin campur Cina-Jawa yang ada di Kota Surakarta. Melihat seringnya
terjadi kerusuhan yang melibatkan warga etnis Cina, merupakan sebuah situasi yang berbanding terbalik dengan kenyataan, bahwa di Kota Surakarta juga dapat
dijumpai keluarga-keluarga yang kawin campur Cina-Jawa.
2. Penelitian P. Hariyono 1993