kehidupan di bidang finansial tidak ada. Stereotip inilah yang paling banyak menjadi persoalan dan isu yang mengganjal dalam hubungan antara etnis Cina
dengan etnis Jawa. Dalam konteks perkawinan campuran, stereotip dapat mempengaruhi
penilaian keluarga besar terhadap seseorang yang akan dijadikan pendamping hidup. Begitu kuatnya hubungan kekeluargaan dalam etnis Cina, sehingga
pendapat keluarga selalu dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Diperlukan komitmen luar biasa oleh pasangan kawin campur, sehingga segala
bentuk kesalahpahaman dapat lebih mudah teratasi. Termasuk ketika masing- masing pihak melakukan penyesuaian agar perkawinan dapat terjadi dan
mendapat lampu hijau dari keluarga besar. Dari upaya ini kemudian dapat ditemukan kesamaan dari etnis Jawa dan etnis Cina.
Dengan keteguhan memilih pasangan yang tepat meskipun berbeda budaya, maka kedua pihak sama-sama berupaya untuk meyakinkan keluarga besar
masing-masing. Hal ini terutama dikuatkan dengan landasan agama, terutama bagi pasangan yang memiliki agama sama.
2. Latar Belakang Personal Pasangan Kawin Campur
Komponen budaya yang paling dominan adalah kepercayaan, nilai dan norma. Ketiga hal tersebut seringkali tanpa sadar telah menjadi suatu bentuk
budaya yang diwariskan oleh leluhur, dan menjadi sebuah ekspektasi dari akar budaya yang diharapkan dapat terus diturunkan pada generasi selanjutnya.
Tetapi kondisi masyarakat yang semakin terbuka dan bebas untuk berinteraksi dengan siapapun dapat memberikan pengaruh terhadap warisan
kepercayaan, nilai dan norma dari leluhur. Bahkan komponen-komponen tersebut dapat mengalami perubahan yang signifikan, sehingga jejak leluhur dapat
tersamar. Hal ini terutama terjadi jika menyoroti mengenai peran suami dan istri
dalam konteks perkawinan campuran. Suami dan istri merupakan sebuah simbol hubungan keintiman dalam tingkatan relasi komunikasi antarpersonal. Etnis Jawa
maupun etnis Cina, memiliki perbedaan makna tentang peran istri dan suami dalam sebuah relasi perkawinan.
Ketika individu memutuskan melakukan perkawinan campuran, peran yang akan dijalaninya dan yang akan dijalani pasangannya dapat berubah sesuai
dengan kondisi yang diharapkan. Dalam hal ini peran-peran tersebut melalui proses adaptasi. Bahkan peran-peran yang dijalankan, yang seharusnya sesuai
dengan kepercayaan, nilai dan norma yang diwariskan oleh budayanya, dapat tereliminasi tanpa disadari.
Mayoritas pasangan yang memutuskan melakukan kawin campur harus memiliki pola pikir terbuka terhadap budaya yang dibawa oleh pasangannya,
termasuk kepercayaan, nilai dan norma. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan
kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah perkawinan ibarat jauh panggangan dari api.
3. Nilai Sosial dan Nilai Budaya Keluarga Kawin Campur
Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya dapat menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda pula.
Cara setiap orang berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh
perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang
berbeda budaya akan berbeda pula, hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan. Beberapa pokok persoalan yang dapat diteliti adalah nilai anak, sifat
pasangan, agama, dominasi, peran keluarga besar dan penyelesaian konflik. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu persoalan, secara tidak sadar akan
muncul sifat dasar yang melekat. Sifat dasar ini dibentuk dari lingkungan tempat ia dibesarkan. Hal ini akan berpengaruh pada suatu hubungan dengan orang lain
terutama seseorang yang memiliki akar budaya yang berbeda. Kepasrahan atau menyerahkan keputusan pada pasangan, mendominasi pembicaraan, menonjolkan
cara-cara budayanya untuk menyelesaikan masalah, seringkali menjadi petunjuk bagi seseorang untuk menilai pasangannya.
Budaya Cina dan budaya Jawa terdapat nilai-nilai budaya yang relatif sama, yaitu sikap kepada keluarga besar. Kemiripan tersebut tampak menonjol
dalam sikap yang diterapkan oleh keluarga-keluarga kawin campur. Falsafah yang terkandung dalam pengalaman spiritual sejak kecil tumbuh dalam lingkungan
masing-masing, dirasakan oleh setiap pasangan tidak memiliki perbedaan yang ekstrim. Seperti sikap hormat kepada orang tua dan berinteraksi secara dekat
dengan keluarga besar lainnya, tidak hanya dalam konteks bisnis atau demi pekerjaan tetapi interaksi yang memiliki makna lebih dalam. Karena masing-
masing pihak, keluarga kawin campur, mengakui bahwa meskipun telah memiliki keluarga sendiri tetapi bukan berarti putus hubungan kekerabatan dengan anggota
keluarga yang lain. Meskipun berada dalam kondisi keluarga kawin campur etnis Jawa dan
etnis Cina, ternyata setiap keluarga memiliki aturan masing-masing berdasarkan latar belakang tidak hanya budaya, tetapi juga lingkungan masing-masing, latar
belakang pendidikan, dan motivasi terjadinya perkawinan. Kesadaran bahwa sebuah keluarga akan memiliki tanggung jawab dalam
membesarkan anak, sepenuhnya mendapat perhatian pasangan kawin campur. Karena, menurut mereka, anak merupakan cerminan dari orang tua sehingga
diupayakan semaksimal mungkin memberikan yang terbaik kepada anak. Masing- masing pihak memiliki kesepakatan, bahwa budaya yang berbeda tidak menjadi
kendala dalam melakukan interaksi dan memberikan pemahaman kepada anak. Tidak ada budaya yang akan mendominasi budaya lain dalam keluarga.
Seandainya nampak adanya kecenderungan, tidak ada yang merasa terintimidasi ataupun terisolasi, karena yang tersosialisasikan bukan sesuatu yang prinsip.
Saling memberikan kepercayaan dan keyakinan, pasangan tidak akan saling menjatuhkan di mata anak mereka.
Dalam menghadapi kondisi masyarakat yang penuh persaingan dan kerja keras, setiap orang dituntut untuk melakukan usaha semaksimal mungkin. Hal ini
disadari betul oleh masing-masing pasangan. Perjalanan hidup semakin menempa
seseorang untuk lebih keras bekerja kalau tidak ingin tertinggal dari orang lain. Dan inilah yang mendorong pasangan untuk, bahwa kemampuan individu tidak
tergantung dari stereotip budaya masing-masing. Persoalan-persoalan dalam rumah tangga dijalani dengan sikap melihat
bahwa persoalan tersebut bukanlah berlatar belakang perbedaan budaya, melainkan persoalan yang sama dihadapi oleh keluarga lain. Tidak ada kaitan erat
dengan budaya salah satu pihak. Sehingga keputusan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut tidak berlandaskan keputusan emosional pribadi
berlatar budaya, melainkan keputusan rasional yang dapat digunakan sebagai jalan keluar.
B. Implikasi Hasil Studi 1. Teoretis