Kondisi ini oleh Rohrlich Dodd, 1998: 71 disebut sebagai penyesuaian satu arah one way adjustment, maknanya adalah penyesuaian yang terjadi salah satu
mengadopsi budaya pasangannya.
istri ”Kalau kami sendiri belum dikaruniai anak. Jadi untuk persoalan anak, paling dari anak yang dibawa suami saya. Tetapi suami saya juga tidak terlalu
mendidik anak-anaknya dengan tradisi Cina. Dan saya yang harus menyesuaikan dengan kebiasaan yang selama ini sudah ada, terutama dalam hubungan orang tua
dengan anak.”
Jika Responden 4 istri yang lebih banyak melakukan upaya penyesuaian dikarenakan status dan atmosfer keluarga yang sebelumnya telah terjadi, maka
pada Responden 6 suamilah yang lebih banyak melakukan penyesuaian. Dari mulai berpindah agama mengikuti istri, kemudian tinggal di lingkungan istri yang
Jawa.
istri ”Waktu calon suami saya kemudian memutuskan untuk pindah agama mengikuti saya, keluarga saya pada akhirnya mau membuka dan menerima suami
saya, semuanya jadi terasa lebih mudah.” suami ”Pada awalnya kami memang lebih sering berkumpul dengan keluarga
istri saya, apalagi karena kami memilih untuk tinggal di Solo. Tetapi lama kelamaan, kurang lebih enam tahun kemudian kami sudah lebih leluasa
berhubungan dengan keluarga saya di Magelang. Apalagi kemudian saya juga ikut mengurusi bisnis keluarga di Magelang sepeninggal ayah ibu saya.”
Sedangkan Responden 5 dan 7, memiliki latar belakang sama. Yaitu sama- sama dibesarkan pada lingkungan yang sudah sangat terbuka identitas budayanya.
Sehingga kedua pasangan menganggap tidak perlu lagi adanya penyesuaian budaya. Seperti yang disebut Rohrlich Dodd: 71, penyesuaian jenis ini adalah
penyesuaian campuran mixing adjustment, yaitu kombinasi dari kedua budaya yang sepakat untuk diadaptasi.
4. Kontradiksi
Situasi kontradiktif mengacu pada kondisi tidak konsisten yang dialami oleh pasangan. Tidak adanya konsistensi dalam hal ini menyangkut konsensus
yang telah dibuat oleh pasangan pada saat awal ketika sepakat untuk meneruskan hubungan ke jenjang perkawinan, juga konsistensi antara jalan penyelesaian yang
ditempuh dengan kenyataan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga. Tidak semua responden mengalami kontradiksi dalam membina kehidupan
rumah tangga. Hal ini dialami oleh Responden 1, Responden 2, Responden 4, dan Responden 6. Keempat pasangan telah menjalankan apa yang sebelumnya
menjadi konsensus berdua, dan melakukan penyesuaian seperti yang diharapkan untuk dilakukan oleh pasangannya.
Responden 3 mengalami kontradiksi, ketika konsensus tidak dijalankan sesuai kesepakatan. Perbedaan budaya, agama dan kewarganegaraan merupakan
persoalan kompleks yang dialami oleh pasangan Responden 3. Kontradiksi tersebut tercermin pada lebih kuatnya keinginan istri supaya suami menjalankan
apa yang menurut istri sesuai untuk dijalankan, termasuk di dalamnya tradisi- tradisi budaya istri. Meskipun suami menyatakan tidak keberatan dengan
keinginan istri dalam melaksanakan ritual perkawianan, ataupun tradisi yang lekat dengan budaya Jawa.
istri ”Kami gunakan tradisi Jawa, orang tua dia datang juga. Karena saya Muslim, saya minta dia untuk melakukannya dengan cara Islam. Dan dia setuju
saja. Setelah menikah dia tetap pada keyakinannya buat saya pribadi tidak masalah
.”
istri ”Meskipun saya memiliki pendidikan yang cukup tinggi, pergaulan saya juga luas, tetapi saya sangat percaya pada tradisi ruwatan. Saya minta suami saya
melakukan tradisi tersebut. Dia bersedia, tetapi saya tahu kalau dia tidak paham makna yang sesungguhnya.”
suami ”Saya tidak merasa itu aneh, jadi saya mau saja melakukannya. Tidak masalah buat saya.”
Jadi bentuk konsensus dan upaya penyesuaian yang disepakati untuk menjalankan budaya masing-masing ternyata tidak terwujud dalam kehidupan
perkawinan sehari-hari. Responden 5 dan Responden 7 memiliki kontradiksi yang sama, meskipun
keduanya memmiliki ciri kondisi yang berbeda. Responden 5 adalah pasangan campuran, istri seorang etnis Jawa, suami etnis Cina. Sedangkan Responden 7,
suami yang merupakan etnis Jawa, dan istri adalah etnis Cina. Kesepakatan awal tidak tercermin dengan jelas, karena kedua pasangan menjalankan perkawinan
dengan apa adanya. Bahkan kedua responden, ketika suami memutuskan pindah agama mengikuti agama istri dimotivasi oleh keinginan untuk segera meresmikan
hubungan dalam ikatan perkawinan. Semua itu akan lebih mudah ditempuh jika keduanya memiliki agama yang sama. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari agama
ternyata tidak dijalankan dengan semstinya.
Responden 5:
suami ”Waktu itu kan pindah agama biar nikahnya bisa resmi. Jadi sekarang yang menjalankan seperti biasalah.”
istri ”Soalnya kalau menghadapi persoalan, suami saya lebih banyak diam. Atau kadang malah pergi saja. Mungkin karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pusing juga memikirkan kalau ada persoalan-persoalan. Terutama kalau sudah menyangkut nafkah.”
Responden 7:
istri ”Biasa saja. Tradisi Cina dimasukkan, seperti memberi penghormatan pada orang tua dengan menyajikan teh. Ya itu saja, lalu di gereja. Suami saya kan
pindah jadi Kristen dulu sebelumnya
.”
suami ”Tidak sempat berpikir ke sana. Waktu itu pindah agama supaya perkawinan bisa cepat dilaksanakan saja. Kalau sekarang setelah menikah ya,
tidak terlalu berpikir tentang agama.”
istri ”Yang paling banyak mungkin saya yang ngasuh. Anak saya kan masih bayi juga. Lebih banyak saya titipkan ke ibu saya kalau saya sedang kerja.
Sepertinya tidak mungkin saya titipkan suami saya.”
Tercermin dari ungkapan kedua responden tersebut di atas, pernyataan yang memiliki kecenderungan sebagai suatu bentuk kekecawaan yang dialami
oleh para istri terhadap suami yang kurang memberikan kontribusi dalam kehidupan rumah tangga untuk menjadi lebih baik.
C. Latar Belakang Personal