terjadinya konflik. Kita bukan lagi pasangan muda, jadi melihat segala masalah dengan lebih jernih. Kami juga memiliki agama, itu saja dasarnya.”
istri ”Buat saya kalau ada masalah itu wajar. Mana ada rumah tangga yang jauh dari masalah, tapi tidak ada masalah yang rumit menurut kami berdua. Dengan
dasar agama yang kuat, segala masalah bisa dipahami dengan lebih jelas.”
Tetapi ada juga responden yang memiliki kesan lebih baik menghindari terjadinya konflik. Pasangan memilih untuk lari dari konflik dan mengadu kepada
orang tua atau keluarga besar, alih-alih, membicarakan dengan pasangannya dan mencari jalan ke luar terbaik. Hal ini seperti yang dialami oleh Responden 7:
istri ”Mana yang bisa memberi jalan ke luar tidak masalah. Yang penting cepat teratasi. Pusing juga memikirkan kalau ada persoalan-persoalan. Terutama kalau
sudah menyangkut nafkah. Kadang saya mengadu ke orang tua saya. Mau ke mana lagi?”
Kondisi ini juga dialami oleh Responden 5:
suami ”Paling banyak istri saya. Dia yang saya rasa lebih tahu mana yang terbaik.”
istri ”Soalnya kalau menghadapi persoalan, suami saya lebih banyak diam. Atau kadang malah pergi saja. Mungkin karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pusing juga memikirkan kalau ada persoalan-persoalan. Terutama kalau sudah menyangkut nafkah
. ”
Yang dilakukan oleh Responden 5 dan Responden merupakan pemecahan sebuah konflik tipe kompromi ketika satu pihak mencapai tingkat
keputusasaan sehingga menyerahkan penyelesaian pada pasangannya Rahim Magner dalam Martin Nakayama, 2004: 382-385. Pada tipe ini kebanyakan
individu kurang memiliki komitmen terhadap solusi, karena merasa ada unsur keterpaksaan.
7. Lama Perkawinan
Intensitas hubungan yang terjadi dalam sebuah perkawinan, menjadi salah satu tolak ukur bagaimana sebuah perkawinan bertahan di tengah segala persoalan
yang terjadi. Dalam penelitian ini, responden yang menjadi obyek penelitian terdiri dari pasangan yang menikah dengan rentang waktu yang bervariasi.
Responden yang sudah menikah puluhan tahun, belasan tahun dan di bawah sepuluh tahun, relatif berbeda dalam menghadapi persoalan-persoalan yang
terjadi di rumah tangganya. Sebagai contoh Responden 3 yang menikah selama tiga tahun, mengambil jalan keluar dalam proses pencocokan dua budaya yang
berbeda dengan kecenderungan berpihak pada budaya pasangannya, dibandingkan dengan Responden 1 yang telah menikah selama empat belas tahun. Dalam
mencari jalan keluar atas persoalan keluarga, lebih fokus pada komitmen semula ketika pernikahan menjadi tujuan utama hubungan keduanya. Pasangan
Responden 1 berusaha untuk tetap pada jalur agama, sebagai pijakan kokoh dalam kehidupan rumah tangga. Begitupun jika menghadapo persoalan, agama dijadikan
pegangan untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi keluarga, sesuai dengan konsensus bersama.
istri ”Meskipun saya dari keluarga Cina, tetapi tradisi seperti Imlek sudah tidak terlalu memiliki makna seperti yang sesungguhnya. Paling ya dijadikan acara
untuk ngumpul-ngumpul dengan keluarga besar. Seperti Lebaran atau Natal, karena kami sudah Nasrani semua.”
suami ”Ya, kalau menurut kami berdua agama adalah dasar yang paling kuat dibandingkan dengan tradisi budaya kami masing-masing. Kalau pun masing-
masing keluarga kami melakukan ritual, tetapi itu semua hanya tradisi. Makna yang sesungguhnya ada dalam pelaksanaan agama yang kami yakini. Jadi kami
sih, waktu itu sepakat kalau agama yang akan kami jadikan pijakan dalam perkawinan dan keluarga.”
Pada Responden 3, kecenderungan untuk lebih berpihak pada budaya pasangannya memberi kesan terhadap penghindaran persoalan. Atau dengan kata
lain, salah satu pihak berusaha supaya konflik atau kesalahpahaman budaya tidak terjadi. Cara yang ditempuh adalah menyerahkan keputusan pada pasangan,
sehingga tidak ada proses diskusi yang panjang.
istri ”Meskipun saya memiliki pendidikan yang cukup tinggi, pergaulan saya juga luas, tetapi saya sangat percaya pada tradisi ruwatan. Saya minta suami saya
melakukan tradisi tersebut. Dia bersedia, tetapi saya tahu kalau dia tidak paham makna yang sesungguhnya.”
suami ”Saya tidak merasa itu aneh, jadi saya mau saja melakukannya. Tidak masalah buat saya.”
Sedangkan pada pasangan yang telah menikah puluhan tahun, kecenderungan mencari jalan keluar terhadap persoalan yang terjadi di dalam
rumah tangga, memiliki kemiripan dengan jalan keluar yang ditempuh oleh pasangan yang menikah belasan tahun. Sikap keterbukaan satu sama lain
membawa suasana di dalam keluarga semakin dekat dan akrab. Setiap persoalan dapat didiskusikan dengan baik. Budaya sudah tidak lagi menjadi kekuatan
individu secara personal.
suami ”Siapa saja bisa. Kalau memang istri saya memberikan masukan yang baik supaya dapat keluar dari persoalan, kenapa tidak masukan itu diterima.
Tidak ada masalah siapa saja yang memiliki pemikiran lebih dulu.yang penting, setiap persoalan harus dibicarakan secara terbuka satu sama lain. Namanya sudah
suami istri.” istri ”Kalau menghadapi persoalan, kadang pemikiran berdua lebih dapat
melihat dari berbagai sudut. Jadi ya kadang suami yang memberikan jalan keluar, kadang saya juga memberikan jalan keluar. Mungkin karena kami memiliki dasar
yang kuat, jadi agama bisa dijadikan pegangan. Lagian kami berdua memiliki latar belakang pendidikan dengan tingkat yang sama, jadi bisa menganalisa
persoalan dengan lebih jernih. Itulah yang terjadi.”
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI HASIL STUDI DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Komunikasi Antarbudaya Keluarga Kawin Campur
Masyarakat manapun cenderung mempunyai stereotip tentang masyarakat lainnya. Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering berinteraksi,
bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau, bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian,
karena antara lain, sebagian di antara masyarakat masih memiliki prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan kelompok tersebut.
Kondisi tersebut tampak jika diuraikan dalam pokok-pokok analisis konsensus, kesalahpahamankesamaan, penyesuaian dan kontradiksi. Terlepas dari
seberapa dekat hubungan antara keluarga satu dengan keluarga lain, ternyata bahwa stereotip sangat mengakar, terutama stereotip terhadap etnis Jawa oleh
etnis Cina. Prasangka terhadap etnis Jawa lebih kuat, label-label negatif mempengaruhi bagaimana etnis Cina memandang etnis Jawa. Label-label negatif
tersebut lebih banyak dihubungkan dengan nilai perkawinan dan etos kerja. Dalam hal ini, nilai perkawinan lebih banyak dikaitkan dengan
keberlangsungan keturunan yang dihasilkan oleh perkawinan tersebut tidak lagi murni memiliki ciri dan sifat etnis Cina secara murni. Sedangkan etos kerja,
dikaitkan dengan semangat kerja keras yang kurang dimiliki oleh etnis Jawa. Sehingga dalam perjalanan perkawinan kemungkinan besar peningkatan