ditanamkan seiring dengan keidupannya; 5 dominasi, hal ini berkaitan dengan peran masing-masing individu dalam sebuah perkawinan; 6 penyelesaian konflik,
berkaitan dengan perjalanan perkawinan antaretnis dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga; dan 7 lama perkawinan, berhubungan dengan cara-cara
penyesuaian satu sama lain.
1. Nilai Anak
Keluarga, meskipun merupakan organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, mempunyai pengaruh terpenting. Keluargalah yang paling berperan
dalam mengembangkan
anak selama
periode-periode formatif
dalam kehidupannya Porter Samovar dalam Mulyana, ed.; 2003: 29. Keluarga
memberikan banyak pengaruh budaya pada anak, bahkan sejak pembentukan sikap pertamanya sampai pemilihan atas barang-barang mainannya. Keluarga juga
membimbing anak dalam menggunakan bahasa, mulai dari cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran dan
hukuman yang mempengaruhi nilai-nilai yang anak kembangkan dan tujuan- tujuan yang ingin ia capai.
Dalam kaitannya dengan anak, responden mayoritas memiliki keinginan untuk mewariskan tradisi-tradisi budaya. Tetapi, kendala mereka adalah tidak
memiliki pemahaman mendalam mengenai masing-masing budaya. Sehingga jalan yang paling aman untuk ditempuh adalah tetap memberikan pengertian pada
anak, bahwa orang tua mereka memiliki dua budaya yang berbeda dan
mengenalkan budaya tersebut secara bertahap. Dan perbedaan budaya bukan sesuatu yang membuat segalanya menjadi lebih buruk justru perbedaan membuat
situasi dalam rumah tangga menjadi bervariasi. Responden 1:
suami ”Ya, buat kami sih yang penting penanaman agama yang harus menjadi dasar kuat dalam mendidik anak. Tidak ada cara lain yang menurut kami lebih
baik dari itu. Anak kan titipan dari Tuhan. Untuk memilih tempat pendidikan, kami pilih yang mengajarkan agama dengan lebih kuat. Jadi apa yang diajarkan
di rumah sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah.”
istri ”Karena dari kecil anak-anak sudah dikenalkan pada agama, jadi sehari- hari kehidupan kami sudah sangat dekat dengan keyakinan ini. Budaya kami
masing-masing bahkan sudah seperti tidak terlalu nampak.” istri ”... Tapi kami tidak memberikan kepada mereka pemahaman yang
mendasar sekali tentang falsafah Jawa atau Cina. Karena kami sendiri juga tidak terlalu paham.”
suami ”Ada sih, keinginan supaya anak memahami akar budayanya, ya Jawa ya Cina. Tapi buat kami itu nanti dulu, kalau anak-anak sudah lebih besar. Mereka
akan memahaminya dengan cara yang lebih obyektif.”
Bagi Responden 1, agama yang merupakan dasar utama dalam keluarga juga menjadi dasar utama dalam membentuk dan membesarkan anak. Menurut
mereka, cara yang paling baik dan sesuai adalah lebih dulu menekankan nilai-nilai agama dalam kehidupan anak sejak kecil. Hal ini sama juga dilakukan oleh
Responden 2.
suami ”Buat kami yang penting penanaman agama yang harus lebih dulu ditanamkan pada anak. Karena anak kami masih dua tahun, nanti untuk memilih
tempat pendidikan, kami pilih yang mengajarkan agama dengan lebih kuat. Jadi apa yang diajarkan di rumah sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah.
Kebetulan istri saya juga mengajar di SMP Kalam Kudus.”
istri ”Agama yang penting. Kalau budaya, seiring waktu anak akan menyadari dengan sendirinya.”
Sedangkan yang ditempuh oleh Responden 3 pada intinya memberikan pengatahuan kepada anak tentang dua budaya, disesuaikan dengan tahap
perkembangan anak. Responden 3:
istri ”Saya tetap akan memberikan pemahaman kepada anak saya mengenai budaya yang ada dalam keluarga. Semuanya akan diberikan dalam tahap-tahap
yang disesuaikan dengan kemampuan anak.”
Meskipun Responden 3 belum dikaruniai anak, tetapi pasangan tersebut telah memiliki rencana-rencana yang nantinya digunakan untuk membesarkan
anak dengan baik. Keduanya telah mencoba untuk membagi tugas, sehingga suami dan istri memiliki peran yang seimbang. Dalam perkembangan anak, suami
dan istri harus memberikan pengaruh yang baik sesuai dengan yang telah diperoleh selama perkembangan kehidupan suami dan istri sesuai dengan
lingkungan dan latar belakang masing-masing. Hal ini tersirat seperti yang diutarakan oleh Responden 3:
istri ”Meskipun usia kami bisa dibilang sudah cukup tua untuk punya anak, tapi kami masih santai saja. Dalam waktu dekat kami belum berencana punya anak.
Tapi nanti kalau kami punya anak, masalah pendidikan kami akan tangani berdua. Saya maunya anak saya akan home schooling saja. Karena saya tidak
mau dipusingkan dengan persoalan surat-surat. Apalagi kami adalah orang tua yang berbeda agama. Jadi lebih baik tidak saya sekolahkan di sekolah reguler
saja. Untuk masalah disiplin saya serahkan pada suami saya, karena saya saja banyak belajar dari dia. Untuk masalah pendidikan moral dan etika akan lebih
banyak ke saya.”
Berbeda dengan responden lain, Responden 7 tampak belum memiliki persiapan tentang keberadaan anak dalam rumah tangga. Seakan-akan anak tidak
dianggap membutuhkan persiapan panjang dalam menghadapi lingkungan masyarakat yang lebih luas nantinya.
istri ”Yang paling banyak mungkin saya yang ngasuh. Anak saya kan masih bayi juga. Lebih banyak saya titipkan ke ibu saya kalau saya sedang kerja.
Sepertinya tidak mungkin saya titipkan suami saya.” suami ”Di kampung ini kan semua budaya sama saja. Jadi anak bisa saja nanti
kalau sudah besar melihat lingkungannya, lama-lama juga akan paham sendiri.” istri “Asal tahu siapa saudara-saudaranya, seperti apa. Kayaknya sudah cukup.”
Dari apa yang telah diutarakan oleh Responden 7, ternyata keduanya, suami dan istri, tidak memikirkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan
anak mengenai kondisi orang tua yang menikah campur beda budaya. Diharapkan anak mendapatkan informasi dari orang tua terlebih dahulu, tetapi justru
Responden 7 menyerahkan kepada lingkungannya supaya anak dapat belajar sendiri setelah masuk ke dalam lingkungan tersebut.
2. Sifat Pasangan