suami ”Tidak sempat berpikir ke sana. Waktu itu pindah agama supaya perkawinan bisa cepat dilaksanakan saja. Kalau sekarang setelah menikah ya,
tidak terlalu berpikir tentang agama.”
istri ”Yang paling banyak mungkin saya yang ngasuh. Anak saya kan masih bayi juga. Lebih banyak saya titipkan ke ibu saya kalau saya sedang kerja.
Sepertinya tidak mungkin saya titipkan suami saya.”
Tercermin dari ungkapan kedua responden tersebut di atas, pernyataan yang memiliki kecenderungan sebagai suatu bentuk kekecawaan yang dialami
oleh para istri terhadap suami yang kurang memberikan kontribusi dalam kehidupan rumah tangga untuk menjadi lebih baik.
C. Latar Belakang Personal
Konsep berikutnya yang dapat diteliti adalah latar belakang personal setiap pasangan kawin campur. Meliputi tiga pokok analisis, yaitu 1 kepercayaan; 2
nilai; dan 3 norma. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara
berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan
oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut. Jalalaudin Rakhmat Mulyana, ed.; 2003: 242 menyebutkan kepercayaan dan
nilai termasuk dalam komponen-komponen budaya. Kepercayaan merupakan ide-ide yang berkaitan dengan situasi dunia yang
diasumsikan sebagai sebuah kebenaran oleh manusia Lustig Koester, 2003: 84. Karena itu, kepercayaan merupakan sekumpulan interpretasi yang dipelajari
dan membentuk dasar budaya, sehingga setiap anggota dapat memutuskan apa yang logis dan apa yang benar dan tidak benar. Salah satu unsur kepercayaan yang
sangat penting dalam komunikasi antarbudaya, menurut Jalaludin Rakhmat Mulyana, ed.; 2003: 243, adalah citra image satu budaya dengan komunikasi
dari budaya lain. Citra mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.
Dalam budaya, nilai-nilai menganut tentang apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil, wajar dan tidak wajar, indah dan tidak indah, sesuai dan tidak
sesuai, serta baik dan jahat Lustig Koester, 2003: 84. Karena nilai adalah karakteristik atau tujuan sebuah budaya yang diinginkan, nilai budaya tidak
menggambarkan tingkah laku dan karakteristik aktual. Namun demikian, nilai seringkali menawarkan penjelasan atas cara manusia berkomunikasi. Menurut
Jalaludin Rakhmat Mulyana, ed.; 2003: 243, sistim nilai masyarakat budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya.
Sedangkan mengacu pada teori yang diungkapkan oleh Lustig dan Koester 2003: 84, norma merupakan manifestasi dari kepercayaan dan nilai. Secara
umum norma menekankan pada ekspektasi dari tindakan yang sesuai. Norma ada karena sangat beragamnya tingkah laku manusia, termasuk rutinitas sosial. Istilah
yang digunakan oleh Porter dan Samover untuk menggambarkan norma adalah sikap. Definisi yang diajukan oleh Porter dan Samover Mulyana, ed.; 2003: 27
untuk memaknai sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam
suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan seseorang, lingkungan itu akan turut membentuk sikap seseorang, kesiapannya untuk melakukan respons, dan
akhirnya perilakunya.
Sebagian responden sudah tidak merasa yakin atas adanya kepercayaan, nilai dan norma budaya asal mereka yang diturunkan oleh leluhur mereka.
Responden 1:
suami ”... karena selama ini di antara kami juga tidak ada tradisi yang sangat ideal dari budaya kami masing-masing yang harus dijalankan. Paling-paling
anggapan-anggapan yang seperti istri saya ungkapkan.”
Responden 4:
suami ”Meskipun saya dari keluarga Cina, tetapi tradisi seperti Imlek sudah tidak terlalu memiliki makna seperti yang sesungguhnya. Paling ya dijadikan
acara untuk ngumpul-ngumpul dengan keluarga besar. Seperti Lebaran atau Natal. Bahkan anak saya tidak punya nama Cina sejak lahir.”
Responden 5:
suami ”... Karena kami juga sudah tidak terlalu memiliki tradisi budaya kami masing-masing. Paling kalau di kampung sini yang dirayakan Cuma Imlek. Itu
pun buat keluarga saya sudah tidak terlalu dirayakan, karena keluarga kami sebagian besar sudah masuk Islam.”
istri ”Tidak ada tradisi yang keluarga saya jalankan sebelumnya. Kami sudah tumbuh di lingkungan ini, yang sangat dekat satu sama lain. Dengan tetangga,
keluarga, semua dekat. Tidak memandang dia orang Jawa atau orang Cina. ...”
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para responden menunjukkan, bahwa secara ketat tidak ada lagi kepercayaan, nilai dan norma yang murni dari
budaya masing-masing yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sehingga masing-masing pihak sudah tidak memahami mana kepercayaan, nilai dan norma
yang menjadi akar sesunguhnya dari budaya mereka. Beberapa responden lain merasa masih diwariskan kepercayaan dan nilai
budaya masing-masing. Dengan latar belakang yang tidak sama. Responden 2 mengaku, bahwa ayah suami merupakan seseorang yang
masih asli berasal dari Tiongkok dan hijrah ke Indonesia. Karena itu masih ada
nilai-nilai yang diturunkan oleh ayah kepada anak-anaknya. Menurut suami, Responden 2, bahwa etnis Cina cenderung meyakini istri merupakan
keberuntungan bagi suami. Karena itu sudah selayaknya jika istri membantu usaha suami, bahkan memiliki kesan sebagai hal yang wajib dijalankan oleh istri.
suami ”... Saya memiliki usaha, biasanya sih dalam budaya Cina, istri wajib membantu usaha suaminya. Bahkan istri bisa dibilang sebagai hoki suami.”
Dari ungkapan suami, Responden 2, bisa terlihat bagaimana sebuah kepercayaan yang dianut oleh etnis Cina berusaha untuk diteruskan kepada
generasi selanjutnya. Sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya pun memiliki makna, jika seorang istri tidak membantu usaha suami dapat
dikategorikan sebagai istri yang tidak baik, istri yang tidak mendukung eksistensi suami, bukan sosok istri yang ideal. Tetapi sikap yang ditempuh oleh suami,
berbeda dengan kepercayaan dan nilai yang diwarisinya.
suami ”... Tapi saya membiarkan saja istri saya memilih bidang yang ingin ditekuninya. Dia sangat menikmati perannya sebagai guru. Saya mendukung saja,
yang penting bisa bagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.”
Meskipun begitu, suami memiliki ukuran sendiri untuk menilai istrinya sebagai sosok yang sesuai harapannya atau tidak. Ketika istri memmiliki
pekerjaan yang sangat disukai, suami tidak berusaha melarang ataupun menghalang-halangi. Bahkan suami memberikan dukungan, dengan catatan,
sebagai ukuran, istri harus juga memiliki kemampuan dalam membagi waktu antara pekerjaannya dan keluarga.
Sedangkan responden lain yang juga masih memiliki kepercayaan dan nilai yang diwarisi dari leluhurnya adalah Responden 3. Dengan latar belakang
istri yang masih memiliki darah biru dari keraton, maka kepercayaan, nilai dan norma yang diwariskan masih sangat kental. Terutama bagaimana budaya Jawa
memandang peran ideal yang harus dimainkan oleh seorang istri dalam kehidupan rumah tangganya.
istri ”... Seringkali saya ditegur oleh keluarga karena tidak mau menyiapkan sarapan untuk suami saya, atau paling tidak menyiapkan kopi waktu pagi. ...”
Ungkapan di atas menunjukkan, bagaimana sebuah keluarga tetap berusaha menanamkan kepercayaan, nilai dan norma yang dianut keluarganya
sesuai dengan budayanya kepada generasi berikutnya. Peran seorang istri dalam kaca mata budaya Jawa sangat tergantung pada suami. Loyalitas yang ditunjukkan
istri kepada suami harus diwujudkan secara nyata dengan usaha untuk selalu siap dengan tugas-tugas yang dibebankan kepada istri. Tugas tersebut merupakan tugas
rutin yang sifatnya remeh temeh. Seperti, membuatkan kopi, menyiapkan sarapan, menyiapkan kebutuhan suami sebelum berangkat kerja. Bahkan tidak perduli jika
istri juga memiliki peran sebagai salah satu pencari nafkah dalam keluarga, yang peran tersebut sering diidentikkan sebagai peran yang dijalankan oleh suami.
Berarti nilai yang terkandung dalam kepercayaan tersebut, bahwa seorang istri yang tidak melakukan upaya untuk melayani suami dalam urusan rutin rumah
tangga dapat dikategorikan sebagai istri yang tidak baik, bukan seorang istri ideal dan istri yang tidak berbakti pada suami. Tetapi sikap yang kemudian diambil oleh
istri, Responden 3, bertentang dengan kepercayaan leluhurnya. Istri, sebagai seorang Jawa, mengambil sikap untuk tidak menjalankan peran sesuai dengan
kepercayaan yang diwariskan oleh keluarganya.
istri ”... Saya tidak setuju kalau suami harus diladeni oleh istri dari bangun pagi sampai malam hari. Menurut saya, suami istri harusnya sejajar kedudukannya.
Justru mungkin yang memiliki persoalan dengan keluarga saya adalah saya sendiri. ...”
Dan sikap yang ditempuh oleh istri, Responden 3, ternyata mendapat dukungan sepenuhnya dari suami. Suami tidak mewajibkan istri untuk mengambil
peran dalam urusan rutin rumah tangga yang sifatnya remeh temeh.
suami ”Iya, lebih baik dia memiliki kesibukan dalam karier. Jadi bisa berkembang dan pengetahuannya luas dan banyak, daripada harus sibuk untuk melayani saya.”
Dukungan dari suami memudahkan gerak istri untuk meneruskan sikap yang dipilihnya dalam menjalankan perannya sebagai seorang istri. Karena suami
tidak memandangnya sebagai seorang istri yang tidak ideal karena tidak mau melayani suami untuk perkara yan sangat rutin. Dan pertimbangannya adalah
persoalan kepraktisan saja. Responden 7, dalam wawancara, menunjukkan adanya suatu kepercayaan.
Nilai dan norma yang diturunkan kepadanya. Yaitu bagaimana seorang suami harus merupakan tulang punggung keluarga dalam menjalankan kehidupan
berumah tangga.
istri ... ”Dan kaluarga saya bilang, suami itu harus memiliki usaha atau pekerjaan. Karena suami adalah tulang punggung keluarga. Istri hanya menyokong usaha
suami. Ibu saya yang paling sering bilang.”
Pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana seorang suami memiliki peran yang sangat besar dalam suatu kehidupan rumah tangga dari sudut pandang
keluarga istri, Responden 7, yang merupakan etnis Cina. Ketika ternyata suami tidak memiliki usaha yang tetap dan menjadi tulang punggung keluarga yang baik,
makan nilai yang dapat diberikan, terutama oleh keluarga besarnya, ia adalah seorang suami yang tidank baik, tidak bertanggung jawab dan menelantarkan
kelaurga. Meskipun kenyataan yang tampak, bahwa suami tidak memiliki
penghasilan tetap, tetapi istri, Responden 7, tetap memilihnya sebagai suami yang akan diharapkan dapat hidup bersama selamanya. Bahkan norma yang dijalankan
oleh istri, yang merupakan etnis Cina, adalah memiliki suatu usaha yang dijalankannya sendiri demi mendapatkan penghasilan untuk menghidupai
keluarganya. Hal ini bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh keluarganya yang etnis Cina.
D. Nilai Sosial dan Nilai Budaya Keluarga Kawin Campur