Pengaruh Inflasi terhadap Penderita TB Paru

yang akan mempengaruhi ketersediaan makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan lainnya dan salah satu langkah yang diperlu dilakukan adalah dengan mengontrol populasi dan mengurangi kemiskinan. Untuk di Kota Medan sendiri, dijelaskan bahwa Kota Medan adalah kota dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi dan juga merupakan kota dengan jumlah kasus TB paru terbanyak di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun dalam penelitian ini ditemukan pengaruh kepadatan penduduk adalah tidak signifikan terhadap penderita TB paru akan tetapi bila dilihat dari kondisi yang ada dan didukung oleh penelitian-penelitian lainnya tidak menutup kemungkinan bahwa kepadatan penduduk memeiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya penderita TB paru di Kota Medan.

5.4. Pengaruh Inflasi terhadap Penderita TB Paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan uji F dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. F-statistics, yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru. Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan dalam satu periode waktu tertentu. Saat ini komponen utama dari harga barang dan jasa secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga BBM bahanbakar minyak dan harga- harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Anggaran kesehatan akan mengalami Universitas Sumatera Utara penurunan jumlah angka disebabkan oleh inflasi. Hal ini dikarenakan mengingat salah satu faktor penyebab terjadinya inflasi adalah defisit anggaran deficit budget. Kebijakan defisit anggaran adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Hal ini dilakukan agar dapat menstimulus perekonomian semakin baik. Namun, umunya bila deficit anggaran dilakukan pada saat keadaan perekonomian stabil akan berdampak baik, namun bila dilakukan pada keadaan perekonomian yang buruk maka akan menambah masalah-masalah ekonomi lainnya yang brujung pada pertumbuhan ekonomi yang buruk. Bila fenomena inflasi ekonomi terjadi maka akan berdampak pada kemunculan inflasi kesehatan. Inflasi kesehatan adalah suatu kondisi ekonomi dan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan yang semakin tinggi dan meningkat, dan akan berdampak pada daya beli masyarakat untuk membeli pelayanan kesehatan menurun. Pada pemerintah pusat, kenaikan inflasi akan berdampak pada pemberian pembiayaan kesehatan yang menurun. Keadaan ini akan menyulitkan bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahn TB yang ada karena bila inflasi naik masyarakat akan enggan untuk membeli layanan kesehatan dalam pengobatan dan pemerintah akan secara otomatis mengurangi anggaran kesehatan yang telah dipersiapkan untuk penanggulangan penyakit TB paru. Tuberkulosis paru sangat erat kaitannya dengan keadaan sistem imun dan gizi seseorang. Dampak inflasi lainnya adalah menurunkan tingkat kualitas hidup masyarakat, disebabkan oleh semua harga bahan pokok primer dan sekunder naik Universitas Sumatera Utara maka akan menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Alhasil upaya dalam pencegahan terpaparnya penyakit yang bergantung pada sistem imun dan gizi seseorang termasuk pencegahan penyakit TB akan sulit dilakukan. Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients inflasi yaitu 18.79486 dan nilai t positif, menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif yakni mempunyai hubungan yang searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila inflasi naik maka akan menaikkan jumlah penderita TB paru BTA+. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0711, nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0711 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh inflasi adalah tidak signifikan terhadap penderita TB. Hasil penelitian ini nsejalan dengan penelitian Destanul 2016 dengan judul “The Study of The Number of Pulmonary Tuberculosis Patients in North Sumatera” yang ditemukan bahwa inflasi mempengaruhi tingginya kasus penderita TB paru di Sumatera Utara. Inflasi merupakan kenaikan harga berkelanjutan di seluruh spektrum yang luas dari harga, bukan hanya satu atau dua barang tapi kenaikan itu adalah menyebar atau mengarah ke kenaikan harga untuk barang lainnya. Suatu pengukuran inflasi di Indonesia berdasarkan konsumen indeks harga, terutama bahan makanan, perumahan, pakaian dan kesehatan. Inflasi sebagai indicator makroekonomi disebabkan kemampuan lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan gizi akan cenderung menyulitkan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan gizi, yang mana kekurangan gizi akan menyebabkan kerentanan terhadap penyakit TB Universitas Sumatera Utara paru, hal ini berarti bahwa semakin tinggi inflasi akan meningkatkan jumlah pasien TB Destanul, 2016. Dalam penelitian ini ditemukan pengaruh inflasi dan kepadatan penduduk terhadap penderita TB paru adalah tidak signifikan, hal ini dikarenakan dalam penelitian ini adanya variabel-variabel lain baik merupakan variabel medis ataupun variabel nonmedis lainnya yang mempunyai pengaruh dengan penyakit TB paru BTA+ namun tidak dikaji atau diikutsertakan dalam penelitian ini, variabel lainnya yang mempengaruhi TB paru BTA+ adalah variabel kemiskinan, variabel pendidikan dan variabel rokok. Pendidikan dan kemiskinan merupakan variabel nonmedis yang selalu disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya infeksi TB paru. Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah. Kondisi pendidikan seseorang menjadi faktor penyebab rendahnya cakupan penemuan penderita TB paru, dengan kondisi pendidikan yang relatif rendah, maka pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB Paru juga terbatas Media, 2002. Achmadi 2005, menyebutkan bahwa 90 penderita TBC didunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hasil penelitian Purwanto 2003 yang berjudul “faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru di desa tanggul kulon kecamatan tanggul kabupaten jember ” juga menyebutkan bahwa risiko terkena TB paru pada orang dengan pendapatan kurang dari UMR adalah 5,606 kali lebih besar dari pada orang dengan pendapatan lebih dari UMR. Hasil penelitian Muaz 2014 dengan analisis bivariat diperoleh p=0,012 yang berarti ada hubungan bermakna antara Universitas Sumatera Utara pendidikan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu diperoleh nilai OR= 1,898 yang artinya responden yang berpendidikan rendah akan beresiko menderita TB paru BTA+ sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dengan melakukan intervensi terhadap pendidikan maka akan meningkatkan produktivitas dan mampu mengatasi kemiskinan. Pendidikan merupakan satu modal manusia human capital dan sebuah investasi yang bila peningkatannya baik akan berdampak pada kesejahteraan seseorang, oleh karena itu pendidikan merupakan hal yang penting untuk memperbaiki perekonomian dan memutus rantai kemiskinan. Pendidikan merupakan salah satu indikator dari kemiskinan, artinya apabila pendidikan suatu daerah membaik maka akan mampu menurunkan kemiskinan yang ada didaerah tersebut. Untuk di Kota Medan bila dilihat dari data yang diperolah ditemukan bahwa angka pendidikan di Kota Medan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini memperlihatkan bahwa kemauan dan kemampuan masyarakat Kota Medan untuk bersekolah atau melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi telah membaik dan menggambarkan bahwa perekonomian masyarakat di Kota Medan membaik pula dan menggambarkan kemiskinan di Kota Medan mengalami penurunan. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk tidak mengikutsertakan variabel kemiskinan dan pendidikan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara Variabel selanjutnya yang tidak ikut dikaji dalam penelitian ini adalah rokok. Salah satu faktor resiko untuk terkena penyakit menular TB paru adalah merokok. Menurut Aditama 2003 kebiasaan merokok akan menyebabkan rusaknya pertahanan yang dimiliki oleh paru-paru dan akan merusak mekanisme mucuciliary clearence, selain itu asap rokok juga akan merusak gerak silia, makrofag yang dapat menyebabkan daya taha tubuh melemah dan memudahkan seseorang unutk terkena pneyakit menular TB paru. Menurut hasil penelitian Kolappan 2002 yang dilakukan di India dengan judul “tobacco smoking and pulmonary tuberculosis” ditemukan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki resiko sebesar 2,48 kali lebih besar untuk terkena TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Menurut hasil penelitian Lin 2009 ditemukan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan merokok, perokok pasif dan polusi udara dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara terhadap resiko infeksi penyakit menular TB paru. Variabel kemiskinan, pendidikan dan rokok tidak dikaji dalam penelitian ini, hal ini dikarenakan penulis ingin melihat permasalahan tuberkulosis TB paru dari variabel selain kemiskinan, pendidikan dan rokok agar ketiga veriabel tersebut tidak menjadi variabel dominan yang dibahas sebagai variabel penyebab TB paru dan melihat permasalahn TB paru secara kompleks. Meskipun variabel kemiskinan, pendidikan dan rokok tidak ikut dikaji dalam penelitian ini namun, pada kenyataannya ketiga variabel tersebut mempengaruhi tingginya angka penderita penyakit menular tuberkulosis TB paru berdasarkan penelitian yang lain menjelaskan bahwa variabel kemiskinan, pendidikan dan rokok memiliki Universitas Sumatera Utara hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingginya kasus penderita penyakit menular TB paru. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN