Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Penderita TB Paru

penyakit TB paru tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam sputum, virulensii atas, basil dan peluang adanya pencemaran udara.

5.3. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Penderita TB Paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan uji F dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. F-statistics, yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru. Tuberkulosis erat kaitannya dengan peningkatan kepadatan penduduk yang tinggi disuatu wilayah. Wilayah yang didalamnya terdapat jumlah penduduk yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi akan cenderung memilki tempat tinggal yang kumuh, kebersihan yang buruk dan nutrisi yang kurang yang akan memicu untuk menularkan penyakit TB dengan cepat. Menurut Braglehole 1997, faktor resiko yang dapat mneyebabkan penyakit tuberkulosis paru adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk. Menurut Linda 2012 yang menyatakan faktor lingkungan seperti kepadatan penduduk, suhu udara yang lembab sangat mempengaruhi penyebaran MDR TB. Tingginya angka TB paru di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain diantaranya adalah rendahnya penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients kepadatan penduduk yaitu 1,050014 dan nilai t positif, menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh positif yakni mempunyai hubungan yang searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila jumlah kepadatan penduduk naik maka akan menaikkan jumlah penderita TB paru BTA+. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0935, nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0935 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh kepadatan penduduk adalah tidak signifikan terhadap penderita TB. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mucnh et al. 2003 dengan judul “tuberculosis transmission patterns in a high-incidence area” yang dilakukan di Afrika Selatan yang mendapatkan ada hubungan antara kepadatan jumlah penduduk dan sakit TB. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Dotulong 2015 dengan judul “Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin, dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori ” dari hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan Wori, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kepadatan hunian yang buruk memiliki peluang yang lebih besar unutk terkena penyakit TB paru. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardani 2014 dengan judul “Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk dan Proporsi Keluarga Peasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis Paru di Bandar Lampung” hasil analisis dengan Geoda menggunakan metode OLS menunjukkan Universitas Sumatera Utara tidak ada hubungan spasial antara kepadatan penduduk dan sakit TB paru BTA positif. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaruh yang ditemukan dari kepadatan penduduk terhadap penderita TB paru adalah tidak signifikan. Namun bila dilihat kenyataannya, kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap penderita TB paru. Di Indonesia pada tahun 2014 dalam Profil Kesehatan Indonesia , jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu dilaporkan terdapat pada provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA + yang terdapat di tiga provinsi tersebut sebesar 40 dari jumlah seluruh kasus baru yang ada di Indonesia Kemenkes RI, 2014. Hal ini juga didukung oleh penelitian Izza 2013 yang mengadakan penelitian di wilayah kerja Puskemas Pacarkeling Kecamatan Tambaksari Surabaya dengan judul “peningkatan tuberkulosis di Puskesmas Pacarkeling, Surabaya tahun 2009- 2011”. Dimana Kecamatan Tambaksari merupakan wilayah terpadat kedua setelah Kecamatan Sawahan, dan ditemukan jumlah penderita TB baru yang berfluktuasi yaitu 54 penderita 2009 yang meningkat 29, menjadi 77 penderita 2010. Hal ini memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk merupakan faktor resiko terjadinya penularan TB paru. Menurut hasil penelitian Destanul 2016 dengan judul “The Study of The Number of Pulmonary Tuberculosis Patients in North Sumatera” ditemukan bahwa populasi memilikipengaruh yang signifikan terhadap tingginya kasus TB di Sumatera Utara. Destanul mengemukakan hal ini disebabkan ledakan penduduk Universitas Sumatera Utara yang akan mempengaruhi ketersediaan makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan lainnya dan salah satu langkah yang diperlu dilakukan adalah dengan mengontrol populasi dan mengurangi kemiskinan. Untuk di Kota Medan sendiri, dijelaskan bahwa Kota Medan adalah kota dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi dan juga merupakan kota dengan jumlah kasus TB paru terbanyak di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun dalam penelitian ini ditemukan pengaruh kepadatan penduduk adalah tidak signifikan terhadap penderita TB paru akan tetapi bila dilihat dari kondisi yang ada dan didukung oleh penelitian-penelitian lainnya tidak menutup kemungkinan bahwa kepadatan penduduk memeiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya penderita TB paru di Kota Medan.

5.4. Pengaruh Inflasi terhadap Penderita TB Paru