Analisis Fakto-faktor yang Mempengaruhi Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Kota Medan Tahun 2005-2015

(1)

Rumah Sehat (X1) Jumlah Kendaraan (X2) Kepadatan (X3) Inflasi (X4) TB Paru (Y)

172797 1172128 7567.5 22.91 2573

166264 1289746 7798 5.97 2769

117031 1425943 7858 6.42 2671

208146 3114871 7929.5 10.63 2720

311108 3418930 8001 2.69 2695

318397 3835675 7913 7.65 2707

277944 4352041 7987 3.54 2966

265256 4750834 8007.56 3.79 3256

254997 5485860 8055.51 10.09 3096

363705 6144532 8265.33 8.24 2995

416031 6712362 8339 3.32 2873

Analisis Jumlah Rumah Sehat yang ada di Kota Medan pada tahun 2005-2015. 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000


(2)

Analisis Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan tahun 2005-2015

Analisis Kepadatan Penduduk Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015.

0

1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

7000 7200 7400 7600 7800 8000 8200 8400


(3)

Analisis Inflasi Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015.

Statistik Deskriptif dari penderita TB, rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi

Y X1 X2 X3 X4

Mean 2847.364 261061.5 3791175. 7974.673 7.750000 Median 2769.000 265256.0 3835675. 7987.000 6.420000 Maximum 3256.000 416031.0 6712362. 8339.000 22.91000 Minimum 2573.000 117031.0 1172128. 7567.500 2.690000 Std. Dev. 209.0432 90002.59 1936179. 210.2705 5.722038

Observations 11 11 11 11 11

0 5 10 15 20 25


(4)

Uji Normalitas dengan Uji Jarque-Bera

Uji Multikolinearitas dengan Matriks Korelasi

X1 X2 X3 X4

X1 1.000000 0.833836 0.674756 0.315739 X2 0.833836 1.000000 0.841780 0.534205 X3 0.674756 0.841780 1.000000 0.636713 X4 0.315739 0.534205 0.636713 1.000000

0 1 2 3 4

2500 2600 2700 2800 2900 3000 3100 3200 3300

Series: Y

Sample 2005 2015 Observations 11

Mean 2847.364 Median 2769.000 Maximum 3256.000 Minimum 2573.000 Std. Dev. 209.0432 Skewness 0.614506 Kurtosis 2.318002 Jarque-Bera 0.905479 Probability 0.635884


(5)

Nilai statistik dari Koefisien Determinasi, Uji F, dan Uji t

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 08/10/16 Time: 07:24 Sample: 2005 2015

Included observations: 11

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. X1 -0.002314 0.000792 -2.923456 0.0265 X2 0.000249 5.73E-05 4.353119 0.0048 X3 1.050014 0.527157 1.991843 0.0935 X4 18.79486 8.584477 2.189400 0.0711 C 11025.38 4071.377 2.708023 0.0352 R-squared 0.840039 Mean dependent var 2847.364 Adjusted R-squared 0.733398 S.D. dependent var 209.0432 S.E. of regression 107.9364 Akaike info criterion 12.50392 Sum squared resid 69901.56 Schwarz criterion 12.68478 Log likelihood -63.77154 Hannan-Quinn criter. 12.38991 F-statistic 7.877270 Durbin-Watson stat 2.515893 Prob(F-statistic) 0.014408


(6)

(7)

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. (2005) Tuberkulosis dan kemiskinan. Majalah Kedokteran

Indonesia.

Aditama, Rizka T.Y., 2012. Analisis Distribusi Dan Faktor Resiko Tuberkulosis

Paru Melalui Pemetaan Berdasarkan Wilayah Di Puskesmas Candilama Semarang Triwulan Terakhir Tahun 2012. Semarang :

Universitas Dian Nuswantoro.

Achmadi, U.F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Cetakan 1, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Agustina, Ayu, 2013. Analisis Regresi dengan SPSS 17 dan Cara Membacanya.

Diakses pada 19 Agustus 2015;

http://yayueayu.blogspot.co.id/2013/11/analisis-regresi-dengan-spss-17-dan.html

American Public Health Association. 2005. Standard Methods For the

Examination of Water and Wastewater.

Astuty, Fuji. 2016. Analisis Investasi Asing Langsung Dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhinya Di Indonesia. Universitas Negeri Medan.

Atmaja, Arief Eka. 2011. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kota Semarang. Semarang :

Universitas Diponegoro Semarang.

Aulia, Destanul., Ayu, SF. 2016. The Study of The Number of Pulmonary

Tuberculosis Patients in North Sumatera. Yogyakarta : Indonesian

Health Economic Association (Inahea)

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), 2009. Modul Diklat


(9)

Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2016. Medan Dalam Angka.

___________, Provinsi Sumatera Utara, 2012. Indikator Kesejahteraan Rakyat

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Diakses pada 05 September

2015;

http://simreg.bappenas.go.id/document/Publikasi/DokPub/02.%20Anpr ov%20Sumatera%20Utara.pdf

___________, 2013. Analisis Perkembangan Indikator Utama Tingkat

Kesejahteraan Rakyat Sumatera Utara Tahun 2013. Diakses pada 05

September 2015;

http://simreg.bappenas.go.id/document/Publikasi/DokPub/02.%20Anpr ov%20Sumatera%20Utara.pdf

BAPPENAS, 2014. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di

Indonesia tahun 2014.

BEPPEDASU, 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi

Sumatera Utara 2015-2019.

Barcla, George w, 1984. Teknik Analisis Kependudukan, Jakarta: PT Bina Aksara. Brunekreef B., Janssen NAH., Hartog J., Harssema H., Knape M., Vliet P. (1997).

Air Pollution from Truck Traffic and Lung Function in Children Living near Motorways. Epidemiology

Croft, J.,Norman, H., Fred, M., 2002.Tuberkulosis Klinik. Edisi 2, Jakarta : Widya Medik.

Crofton, John dan David Simpson, 2002. Tembakau Ancaman Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Depkes RI, Ditjen PP dan PL. Laporan Hasil Survei Hasil Implementasi Program

Nasional Penanggulangan TB di Daerah ICDC 2004.

Dinas Kesehatan Kota Medan, 2016. Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2014. ___________, Provinsi Sumatera Utara, 2016. Profil Kesehatan Provinsi


(10)

Djie, Inti Sariani Jianta. Analisis Peramalan Penjualan Dan Penggunaan Metode

Linear Programming Dan Decision Tree Guna Mengoptimalkan Keuntungan Pada Pt Primajaya Pantes Garment. Jakarta : PT

Anugerah Ajita Sukses Bersama. Diakses pada 25 April 2016; journal.binus.ac.id/index.php/winners/article/.../628

Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Dotulong, J.F.J., Sapulete,M.R., Kandou, G.D. , 2015. Hubungan Faktor Risiko

Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru Di Desa Wori.

Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : PT Citra Aditya Bakti Erawatyningsih, E. Purwanta. Subekti, H. (2009). Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Berita Kedokteran Masyarakat

Fariza, A., Hellen, A. dan Rasyid, A. (2007). Performansi Neuro Fuzzy Untuk

Peramalan Data Time Series. Yogyakarta : Seminar Nasional Aplikasi

Teknologi Informasi.

Fahreza Erwin Ulinnuha, 2012. Hubungan Antara Kualitas Fisik Rumah Dan

Kejadian Tuberkulosis Paru Dengan BTA+ Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang. Semarang : Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Semarang.

Friedman, J. 1979. Urban Poverty in America Latin, Some Theoritical

Considerations, dalam Dorodjatun Kuntjoro Jakti (ed). 1986. Kemiskinan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ghozali, Imam, 2009. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.


(11)

Halim, Naning, R., Satrio, DB. 2015. Faktor Resiko TB Paru Pada Anak Usia 1-5

Tahun Di Kapubaten Kebumen. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu

Kesehatan : Universitas Jambi.

Hardianto, Florentinus Nugro, 2008. Pengaruh Variabel Moneter Terhadap

Indeks Harga Saham Sektor Keuangan Di Indonesia: Error Correction.

Hariani, Prawidya. 2011. Analisis Pola dan Struktur Inflasi di Kota Medan. Medan : Fakultas Ekonomi UMSU.

Hasan, H., 2010. Tuberkulosis Paru. Pada: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Unair.

Heizer, Jay dan Barry Render. 2009. Operations Management-Manajemen

Operasi. Edisi 9 Buku 1. Jakarta : Salemba Empat.

Hidayat, Anwar, 2013. Critical Values for the Durbin-Watson Test: 5%

Significance Level. Diakses pada 19 Agustus 2015; https://onedrive.live.com/view.aspx?resid=DDF01764903CCA0C!820 &app=Excel

Hiswani, 2010. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi

Masalah Kesehatan Masyarakat, Medan : Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Illu, D.S.I., Intje, P ., Ruslan, R.2012. Faktor-Faktor Penentu Kejadian

Tuberkulosis Paru Pada Penderita Anak Yang Pernah Berobat Di RSUD W.Z Yohanes Kupang. Kupang : Universitas Nusa Cendana.

Iskandar, 2011. Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik Rumah Dan

Wilayah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Izza, Nailul dan Betty Roosihermiatie, 2013. Peningkatan Tuberkulosis di

Puskesmas Pacarkeling Surabaya Tahun 2009–2011, Pusat Humaniora,

Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, RI.


(12)

Karyadi. (2001).Tuberculosis in Indonesia: nutrition, immune response and social

aspects. Diakses pada 10 Agustus 2016

http://www.researchgate.net/publication/40191443

Kementrian Kesehatan RI, 2010. Buku Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. ___________, 2010. Pedoman Tata Laksana Konsesus TB, 2010.

___________, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian TB, 2014.

___________, 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia, 2011. Ki-Jen Chuang 2007 dalam Nurbiantara Setiyawan, 2010. Pengaruh Polusi Udara

Terhadap Fungsi Paru Pada Polisi Lalu Lintas Di Surakarta.

Surakarta: Fakultas Kedokter Universitas Sebelas Maret.

Korua E.S., Kapantow N.H.,& Kawatu P.T.A., 2014. Hubungan Antara Umur,

Jenis Kelamin dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian TB Paru Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Noongan. Diakses

pada 03 Maret 2016 ; http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/JURNAL-ELISA-S.-KORUA.pdf

Krieger J and Higgins DL, 2002. Housing and Health: Time Again for Public

Action, Am J Public Health.

Kusnindar, 1993. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di

Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran.

Linda, Dorotheae Oje., 2012. Hubungan Karakteristik Klien Tuberkulosis Dengan

Pengetahuan Tentang Multi Drugs Resisten Tuberkulosis Di Poli Paru Puskesmas Kecamatan Jagakarsa. Universitas Indonesia

Muaz, Faris. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis

Paru BTA Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Diakses pada 25 April 2016; http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25734/1/FAR IS%20MUAZ.pdf


(13)

Munch, Z., Van Lill, S. W. P., Booysen, C. N., Zietsman, H. L., Enarson, D. a, & Beyers, N., 2003. Tuberculosis Transmission Patterns in A

High-Incidence Area: A Spatial Analysis. The International Journal of

Tuberculosis and Lung Disease.

Murahartawaty. (2009). Diakses 25 April 2015; http://if29noltiga.9.forumer.com/index.php?s=1b665dad463ec7e2954e9 a7fb5dc80d2&act=Attach&type=post&id=105.

Naga, S. 2012. Ilmu Penyakit Dalam. Yoyjakarta.

Notoatmodjo, Prof. Dr. Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Oktavianus, Rantepasang 2012. Dalam Batti, Hera T.S., 2013. Analisis Hubungan

Antara Kondisi Ventilsi, Kepadatan Hunian, Kelembapan Udara, Suhu, Dan Pencahayaan Alami Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo. Manado :

Universitas Sam Ratulangi Manado.

Pare,A. L., R. Amiruddin, dan I. Leida. 2012. Hubungan Antara Pekerjaan, PMO,

Pelayanan Kesehatan, Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru. Makassar : Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Hasanuddin.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2013. Profil Pembangunan Sumatera Utara.

Diakses pada 04 Oktober 2015;

http://simreg.bappenas.go.id/document/Profil/Profil%20Pembangunan %20Provinsi%201200SumUt%202013.pdf

___________, 2014. Grand Design Pembangunan Kependudukan Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2011-2035, Medan: Pemprovsu.

___________, 2014. Perkembangan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara

2014. Diakses pada 04 Oktober 2015;

http://simreg.bappenas.go.id/document/Publikasi/DokPub/02.%20Anpr ov%20Sumatera%20Utara.pdf


(14)

Purwanto, H. 2003. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis

Paru di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember.

Diakses pada tanggal 4 Januari 2016. http://digilib.unej.ac.id,

Raharjo, Sahid, 2015. Cara Melakukan Uji t Parsial dalam Analisis Regresi

dengan SPSS. Diakses pada 19 Agustus 2015;

http://www.spssindonesia.com/2014/02/cara-mudah-melakukan-uji-t-dengan-spss.html

Riyanto, SKM., M.Kes, Agus, 2010. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

____________, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan, Cetakan II, Yogyakarta : Nuha Medika.

Rukmini, 2011. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian TB Paru Dewasa di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.

RuswantoB. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau

dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Semarang: Universitas Diponegoro

Sabri, Luknis dan Susanto Priyo Hastono, 2006. Statistik Kesehatan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sakinah, Dewi., 2012. pengaruh sanitasi lingkungan rumah, pengahsilan

keluarga dan upaya pengendalian terhadap penyakit TB paru pada ibu rumah tangga di Puskesmas Mulyorejo Kabupaten Deli Serdang tahun 2012. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Santjaka, Aris, 2011. Statistik untuk Penelitian Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika.

Sugiarto dan Harihono. 2000. Peramalan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sukirno sadono, 2000. Makro Ekonomi Modern, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


(15)

Supari, 2006. Tiap Empat Menit Satu Orang Meninggal, Perempuan Lebih Rentan

Terinfeksi TB,

http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task= viewarticle&artid=80&Itemid=3 , 20 Mei 2008.

Tabrani, Irma. 2007. Konversi Sputum Bta Pada Fase Intensif Tb Paru Kategori I

Antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Dan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Generik Di Rsup. H. Adam Malik Medan. Diakses pada 25 April

2016; http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6402/1/Irma1.pdf Tjiptoherijanto, 1994. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan, Jakarta.

WHO, 2000. Global Tuberculosis Control. WHO Report Geneva.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantasannya .Jakarta: Penerbit Erlangga

Wijayanto, Ravi Dwi. 2010. Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, Dan

Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2005-2008, Semarang : Universitas Diponegoro Semarang.

Wardani, D.W.S.R., 2014. Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk Dan Proporsi

Keluarga Prasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis Paru Di Bandar Lampung. Lampung : Universitas Lampung.

Wirdani., 2000. Hubungan Keberadaan PMO Dengan Keteraturan Minum Obat

Fase Intensif Penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Pandeglang Tahun 2000. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.


(16)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini merupakan kajian yang memfokuskan pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru di Kota Medan dengan periode waktu tahun 2005 hingga 2015.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan time

series untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi TB paru di Kota

Medan tahun 2015. Dalam penelitian ini dilakukan uji estimasi antara variabel terikat yaitu jumlah penderita TB paru dan variabel bebas yaitu rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, kota ini dipilih berdasarkan pertimbangan:

1) Kota Medan merupakan kota yang masuk urutan nomor 3 dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa setelah Jakarta dan Surabaya.

2) Kota Medan merupakan daerah terbesar penderita tuberkulosis (TB) yang ada di Sumatera Utara.

3) Sejak tahun 2010 sampai saat ini kasus TB di Kota Medan terus mengalami peningkatan.


(17)

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan data jumlah penderita TB paru dan data faktor-faktor yang mempengaruhi TB paru pada tahun 2005-2015.

3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data tahunan, dengan demikian data dalam penelitian ini terdapat 11 pengamatan dengan 5 variabel sehingga jumlah data pengamatan adalah 55 pengamatan. Data ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan dan Badan Pusat Statistik Kota Medan.

3.4. Model dan Analisis Data

Untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi jumlah penderita TB paru di Kota Medan, maka kajian ini membuat model analisis dengan menggunakan model estimasi regresi linear, karena regresi linear adalah metode statistik yang berfungsi untuk menguji sejauh mana hubungan ataupun pengaruh antara variabel terikat dan variabel bebas apakah bernilai positif dan apakah bernilai negatif.

3.5. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian


(18)

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel yang dipengaruhi (Sugiyono, 2005). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi.

2. Variabel terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2005), dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah penderita TB paru. Sumber data pada variabel TB paru berasal dari Dinas Kesehatan Kota Medan.

3.5.2. Defenisi Operasional

1. Penderita tuberkulosis paru atau TB paru adalah seseorang yang positif menderita penyakit menular TB paru yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Variabel TB Paru yang digunakan dalam

penelitian ini adalah jumlah penderita TB paru BTA+ di Kota Medan tahun 2005-2015.

2. Rumah sehat adalah bangunan, sarana atau tempat berlindung dan bernaung serta tempat untuk beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani maupun sosial budaya. Yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar lingkungan yang telah ditetapkan. Variabel rumah sehat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah rumah sehat yang terdapat di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015.


(19)

3. Jumlah kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang ada pada kendaraan tersebut. Biasanya digunakan untuk angkutan orang atau barang diatas jalan raya selain kendaraan yang berjalan di atas rel. variabel jumlah kendaraan bermotor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus) yang terdapat di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015.

4. Kepadatan penduduk adalah rata-rata jumlah penduduk pada luas wilayah 1 km yang merupakan perbandingan dari jumlah penduduk yang tinggal disuatu wilayah dibagi denga luas wilayahnya. Variabel kepadatan penduduk yang digunakan dalam penelitian ini adalah angka kepadatan penduduk dengan satuan jiwa/km² yang terdapat di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015.

5. Inflasi adalah suatu fenomena modern yang memiliki kecenderungan harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus selama satu periode tertentu. Variabel inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase inflasi yang terdapat di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015.

3.6. Pengujian Asumsi Ekonometrika

Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi,

yaitu IIDN (suatu variabel random yang identik, independen dan mengikuti


(20)

yang diperoleh memenuhi persyaratan uji atau tidak. Suatu model regresi harus memenuhi syarat-syarat yang meliputi asumsi normalitas, tidak terjadi multikolinieritas dan autokorelasi (Astuty, 2016). Adapun uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah sebagai berikut:

3.6.1. Uji Normalitas

Menurut Ghozali (2005), pengujian normalitas data dilakukan untuk mengetahui kondisi data yang ada agar dapat menentukan model analisis yang paling tepat digunakan. Uji normalitas data ini dilakukan dengan menggunakan analisis grafik uji normalitas normal plot. Model regresi memenuhi asumsi normalitas bila memiliki distribusi data normal atau mendeteksi normal. Suatu regresi yang baik bila memiliki distribusi data normal (Astuty, 2016).

Ada beberapa metode untuk mengetahui normal atau tidak gangguan (μ) antara lain Jarque-Bera test dan metode grafik. Penelitian ini akan menggunakan metode Jarque-Bera test yang dilakukan dengan menghitung skweness dan kurtosis, apabila J-B hitung < nilai X² (Chi Square) tabel, maka nilai residual berdistribusi normal. Kriteria yang digunakan adalah jika nilai probabilitas Jarque-Bera (JB) test > alpha (0,05), maka dikatakan data berdistribusi normal.

Model untuk mengetahui uji normalitas adalah:

J – B hitung =

[

S2/6 + (24k - 3)2

]

……….…... (3.5)

Dimana:


(21)

K = Kurtosis

Jika nilai J – B hitung > J-B tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual Ut terdistribusi normal ditolak dan sebaliknya.

3.6.2 Uji Multikolinieritas

Menurut Ghozali (2002), menyatakan bahwa multikolinearitas mempunyai pengertian bahwa ada hubungan linear yang “sempurna” atau pasti diantara beberapa atau semua variabel independen (variabel yang menjelaskan) dari model regresi. Konsekuensi adanya multikolinearitas adalah koefisien regresi variabel tidak tentu dan kesalahan menjadi tidak terhingga. Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Salah satu munculnya multikolinearitas adalah R² sangat tinggi dan tidak satupun koefisien regresi yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas secara stokastik.

Menurut Imam Ghozali (2009), multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan lawannya Variance Inflation Faktor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukan setiap variabel bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Nilai cut off yang umum dipakai untuk mengukur ada tidaknya gejala multikolinearitas adalah nilai toleransi dengan batas minimal sebesar 0,10 atau


(22)

nilai VIF maksimal 10. Untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas. Cara untuk uji multikolinearitas dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF). Bila VIF lebih dari 10 maka terjadi multikolinearitas, begitu pula sebaliknya kalau VIF di bawah 10 maka hal tersebut tidak terjadi.

3.7. Metode Estimasi

Gujarati (1995), menyatakan bahwa uji signifikansi merupakan prosedur yang digunakan untuk menguji kebenaran atau kesalahan dari hasil hipotesis nol dari sampel. Ide dasar yang melatarbelakangi pengujian signifikansi adalah uji statistik (estimator) dari distribusi sampel dari suatu statistik dibawah hipotesis nol. Keputusan untuk mengolah Ho dibuat berdasarkan nilai uji statistik yang diperoleh dari data yang ada. Uji statistik terdiri dari pengujian koefisien regresi parsial (uji t), pengujian koefisien regresi secara bersama-sama (uji F), dan pengujian koefisien determinasi (uji R²).

3.7.1. Penafsiran Koefisien Determinasi (R²)

Penafsiran ini dimaksudkan untuk menentukan seberapa besar variabel tak bebas yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel bebasnya dengan menggunakan perhitungan koefisien determinasi (determination coefficient) yang disimbolkan dengan R². Nilai koefisien determiniasi adalah diantara nol dan satu (0 < R² <1). Secara sistematis dirumuskan sebagai berikut:


(23)

1. Jika nilai R² kecil (mendekati nol), berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel dependen amat terbatas, maka dapat disimpulkan antara variabel bebas dan variabel tak bebas tidak ada keterkaitan.

2. Jika nilai R² mendekati 1 (satu), berarti variabel independent memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen, maka dapat disimpulkan antara variabel bebas dan variabel tak bebas ada keterkaitan.

3.7.2. Pengujian Statistik Secara Bersama-sama (uji F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Hipotesis yang digunakan:

H0 : b1, b2, b3, b4, b5 = 0 semua variabel independen tidak mampu mempengaruhi variabel dependen secara bersama-sama

H1 : b1, b2, b3, b4, b5 ≠ 0 semua variabel independen mampu mempengaruhi variabel dependen secara bersama-sama

Nilai F hitung dirumuskan sebagai berikut:

……….. (3.7) Dimana:

k = jumlah parameter yang diestimasi termasuk konstanta N = jumlah observasi


(24)

a) Jika F-statistik > t-tabel atau P value < taraf signifikan (α = 0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima, artinya secara bersamaan variabel independen mempengaruhi variabel dependen dengan signifikan .

b) Jika F-statistik < t-tabel atau P value > taraf signifikan (α = 0,05) maka H0 diterima dan Ha ditolak, artinya secara bersamaan variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen dengan signifikan.

3.7.3. Pengujian Statistik Secara Parsial (uji t)

Uji signifikansi parameter individual (uji t) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak terikat secara individual dan menganggap variabel lain konstan.

Nilai t hitung dapat dicari dengan rumus:

…... (3.6)

Dimana:

βi = parameter yang diestimasi

βi* = nilai hipotesis dari βI (Ho : βI = βi*) SE(βi) = simpangan baku βi


(25)

a) Jika t-statistik > t-tabel atau P value < taraf signifikan (α = 0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima, artinya salah satu variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

b) Jika t-statistik < t-tabel atau P value > taraf signifikan (α = 0,05) maka H0 diterima dan Ha ditolak, artinya salah satu variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

3.7.4. Model Estimasi

Model dasar dalam penelitian ini disusun sebagai berikut :

TB+ = ƒ(RS, KB, P, INF) ………... (3.1)

TB+ = β0 + β1RS+ β2KB+ β3P +β4INF+ εі……….…... (3.2)

Fungsi persamaan (3.2) diubah kedalam bentuk persamaan logaritma natural sebagai berikut :

LnTB+ = β0 + β1RS+ β2KB + β3P + β4INFs+ εі………..……… (3.3)

Dimana :

TB+ = Penderita TB

RS = Rumah Sehat

KB = Kendaraan Bermotor

P = Kepadatan Penduduk

INF = Inflasi


(26)

β0 = Konstanta

β1: β2 : β3: β4 = Koefisien regresi

εі = variabel gangguan (disturbance error)

Menurut Gujarati (2010), salah satu ciri dari log-log yang menjadikan model ini popular untuk digunakan yaitu koefisien kemiringan β1: β2 : β3: β4 yang

mengukur elastisitas Y terhadap X. Jika Y menunjukkan kuantitas permintaan barang dan X adalah unit harga, maka β1: β2 : β3: β4 mengukur elastisitas harga


(27)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Medan

Kota Medan merupakan kota terbesar dari beberapa kota yang ada di Indonesia, Kota Medan adalah Ibukota Provinsi Sumatera Utara dan merupakan pusat pemerintahan Daerah tingkat I Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang disebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur. Kota Medan merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah timur dari provinsi Sumatera Utara dan merupakan salah satu dari 33 Daerah Tingkat II di Sumatera Utara dengan luas daerah sekitar 265,10 km². Kota Medan terletak antara 3,27°-3,47° LU dan 98,35°-98,44° BT dengan ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah yang merupakan tempat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka (BPS Kota Medan, 2015).

Gambar 4.1. Populasi Penduduk 10 Kota Besar di Indonesia Tahun (Juta Jiwa)

Sumber : World population Reviews 10,187

2,765 2,394 2,334 2,097 1,798 1,738 1,555 1,455 1,388


(28)

Dari gambar 4.1. populasi penduduk 10 kota besar di Indonesia dapat dilihat bahwa jumlah penduduk yang paling tinggi terdapat di Kota Jakarta dengan jumlah 10,187 juta jiwa, sementara itu Kota Medan menjadi urutan ke lima dari 10 kota dengan populasi yang tinggi yaitu dengan jumlah populasi sebesar 2,097 juta jiwa.

Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan 2015

No. Kecamatan

Luas (km²)

Penduduk

1. Medan Tuntungan 20,68 85,613

2. Medan Johor 14,58 132,012

3. Medan Amplas 11,19 123,850

4. Medan Denai 9,05 146,061

5. Medan Area 5,52 98,992

6. Medan Kota 5,27 74,439

7. Medan Maimun 2,98 40,663

8. Medan Polonia 9,01 55,949

9. Medan Baru 5,84 40,540

10. Medan Selayang 12,81 106,150

11. Medan Sunggal 15,44 115,785

12. Medan Helvetia 13,16 150,721

13. Medan Petisah 6,82 63,347

14. Medan Barat 5,33 72,683

15. Medan Timur 7,76 111,420

16. Medan Perjuangan 4,09 95,882

17. Medan Tembung 7,99 137,178

18. Medan Deli 20,48 181,460

19. Medan Labuhan 36,67 117,472

20. Medan Marelan 23,82 162,267

21. Medan Belawan 26,25 98,113

Jumlah 2.210.624


(29)

Kota Medan memiliki 21 Kecamatan dan 158 Kelurahan . Berdasasrkan tabel 4.1. dapat dilihat bahwa luas wilayah perkecamatan di Kota Medan yang memiliki wilayah paling luas terdapat pada kecamatan Medan Labuhan dengan luas wilayah sebesar 36,67 km², sedangkan wilayah dengan luas paling kecil yaitu kecamatan Medan Maimun dengan luas wilayah sebesar 2,98 km². Dapat dilihat jumlah penduduk terbanyak berada pada Kecamatan Medan Deli dengan jumlah 181,460 jiwa . Sementara itu untuk penduduk dengan jumlah yang paling sedikit berada pada Kecamatan Medan Baru dengan jumlah seluruh penduduk 40.540 jiwa yang terdiri dari 20.025 laki-laki dan 22.515 jiwa perempuan.

Gambar 4.2. Analisis Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Kota Medan dari Tahun 2005 hingga Tahun 2015


(30)

Kota Medan yang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yang termasuk kedalam salah satu kota yang mempunyai presentase penduduk miskin dengan angka yang relatif besar karena jumlahnya mencapai 2.12.300 jiwa atau sekitar 10,05 % dari jumlah penduduk Medan pada tahun 2010. Di Kota Medan permasalahn kemiskinan belum dapat ditanggulangi dengan optimal, gambar 4.2. memperlihatkan bahwa kemiskinan di Kota medan pada tahun 2005 hingga tahun 2015 belum mengalami penurunan yang bermakna.


(31)

Gambar 4.3. Peta Kota Medan


(32)

4.2. Gambaran Umum Variabel Dependent : Penderita TB paru BTA+ Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar. Penyakit tubekulosis paru adalah penyakit menular yang menyerang paru-paru. Sejak zaman purba, penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang menakutkan dan mematikan. Sampai pada saat para ahli mencari tahu penyebabnya, penyakit ini masih menjadi penyakit yang mematikan. Apabila seseorang terinfeksi tuberkulosis akan berakibat buruk dimulai dari penurunan daya kerja ataupun produktivitas kerja, mampu menularkan kepada orang lain terutama pada keluarga yang tinggal satu rumah dengan penderita dan dapat berujung pada kematian.

Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun secara tajam. Angka kematian akibat tuberkulosis di Eropa pada tahun 1969 telah menurun menjadi 4 per 100.000 penduduk pertahun yang sebelumnya pada tahun 1800 adalah sebesar 650 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian karena tuberkulosis di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk. Penurunan angka kesakitan maupun angka kematian ini diyakini disebabkan karena membaiknya keadaan sosioekonomik, infeksi pertama yang terjadinya pada usia muda, penderita yang sangat rentan segera meninggal (tidak menjadi sumber penularan), serta ditemukannya obat anti TB yang ampuh. Akan tetapi, pada pertengahan 1980 an angka kesakitan TB paru di Amerika Utara maupun di Eropa Barat meningkat kembali (Djojodibroto, 2012).


(33)

Di Indonesia pada tahun 2014, TB paru telah menduduki urutan ke dua setelah india, yang sebelumnya pada tahun 2012 Indonesia menduduki urutan ke empat jumlah penderita TB terbesar di dunia dan saat ini TB paru masih menjadi masalah kesehatan global ataupun disebut dengan global desease. Prevalensi dan insiden tuberkulosis paru masih sangat tinggi dan sulit diturunkan. Ini diakibatkan karena TB paru mempunyai permasalahan yang berupa medik dan nonmedik.

Gambar 4.4. Penemuan Jumlah Seluruh Kasus TB Paru di Kota Medan dari tahun 2011 hingga 2015

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2016 4800

5000 5200 5400 5600 5800 6000 6200


(34)

Tabel 4.2. Analisis Penderita TB Paru BTA+ di Kota Medan tahun 2005-2015

No Tahun Penderita TB Paru BTA+

1 2005 2.573

2 2006 2.769

3 2007 2.671

4 2008 2.720

5 2009 2.695

6 2010 2.707

7 2011 2.966

8 2012 3.256

9 2013 3.096

10 2014 2.995

11 2015 2.873

Jumlah 31.321

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2016

Di Kota Medan penyakit TB paru masih menjadi salah satu penyakit yang sulit dituntaskan. Menurut tabel 4.2. menunjukkan bahwa angka penderita TB paru di Kota Medan sampai tahun 2015 belum mengalami penurunan yang bermakna. Dalam penelitian ini, data TB yang digunakan adalah jumlah penderita TB paru BTA + di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015.

4.3. Gambaran Umum Variabel Independent. a. Rumah sehat

Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim


(35)

dan makhluk hidup lainnya, serta sebagai saran untuk pengembangan keluarga.. Tuberkulosis paru merupakan penyakit kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan dan kondisi lingkungan.

Indonesia pada tahun 2008 terdapat 26,9 juta unit rumah yang tidak layak huni, baik dari segi bangunan permanen maupun bangunan tidak permanen (BPS, 2008). Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2012) diketahui pencapaian rumah sehat di Indonesia adalah sebesar 68,69 %, capaian rumah sehat di Indonesia pada tahun 2012 lebih tinggi jika dibandingkan dengan target nasional yang telah ditetapkan yakni sebesar 60%. Pencapaian rumah sehat tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTT) yakni sebesar 98,99%, dan capaian rumah sehat terendah terdapat di Sulawesi Tenggara yakni sebesar 18,35 % (Kemenkes RI, 2012). Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2016 menunjukkan bahwa trend rumah sehat di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015 berfluktuasi. Pada tahun 2010 capaian rumah sehat di Kota Medan mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 318.397 unit rumah, menurun di tahun 2011 menjadi sebesar 277.944 unit rumah, terus mengalami penurunan hingga tahun 2013 capaian rumah sehat di Kota Medan adalah sebesar 254.997 unit rumah, akan tetapi pada tahun 2015 capaian rumah sehat di Kota Medan mengalami kenaikan yakni sebesar 416.031 unit rumah, atau bisa dilihat pada tabel 4.3. dibawah ini :

Cakupan rumah sehat yang ada di Kota Medan setiap tahunnya mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2011 terjadi penurunan angka cakupan rumah sehat yakni 277.944 unit rumah sehat pada tahun 2011 dari tahun 2010 sebesar 318.397 unit rumah, penurunan cakupan rumah sehat di Kota Medan terus berlanjut


(36)

hingga tahun 2013 yakni sebesar 254.997 unit rumah. Namun terjadi peningkatan kembali pada tahun selanjutnya. Pada tahun 2015 di temukan angka cakupan rumah sehat di Kota Medan yakni sebesar 416.031 unit rumah, atau selengkapnya terdapat pada tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3. Analisis Jumlah Rumah Sehat di Kota Medan tahun 2005-2015

No Tahun Jumlah Rumah Sehat

1 2005 172.797

2 2006 166.264

3 2007 117.031

4 2008 208.146

5 2009 311.108

6 2010 318.397

7 2011 277.944

8 2012 265.256

9 2013 254.997

10 2014 363.705

11 2015 416.031

Jumlah 2.871.676

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan 2016

Rumah sehat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penderita TB paru. Dalam penelitian ini data rumah sehat yang digunakan yaitu data rumah sehat berdasarkan jumlah seluruh rumah yang terdapat di Kota Medan tahun 2005 hingga 2015 dengan satuan yaitu ratusan ribu unit rumah.


(37)

b. Jumlah kendaraan bermotor

Menurunnya kualitas udara sudah lama menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara industri yang banyak memiliki pabrik dan kendaraan bermotor. Salah satu penyumbang terbesar dalam pencemaran udara adalah kendaraan bermotor. Kualitas udara yang buruk akan mampu menurunkan sistem imun seseorang, sehingga akan mempermudah penyebaran dan penularan penyakit Tuberkulosis paru. Sumber pencemaran udara di Kota Medan umunya disebabkan oleh jenis kegiatan seperti industri pengolahan, transportasi dan kegiatan keseharian rumah tangga. Tetapi sumber pencemaran yang cukup besar adalah berasal dari lalu lintas kendaraan bermotor. Kebutuhan akan kendaraan bermotor merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Pada periode 2010-2014, terdapat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yag cukup tinggi yaitu sebsesar 10,39 % setiap tahunnya. Terdapat perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2010 adalah 76.907.127 juta unit kendaraan bermotor, terus mengalami kenaikan jumlah setiap tahunnya, hingga pada tahun 2014 pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia adalah 114.209.260 juta unit kendaraan bermotor yag terdiri dari mobil penumpang, bis, mobil barang, dan sepeda motor. Pada tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor menurut kepulauan di Indonesia tertinggi tedapat di Kalimantan dengan angka pertumbuhan pertahun mencapai 14,74 % dan terendah adalah Pulau Bali-Nusa Tenggara yaitu 7,44 %. Pada tahum 2014 jumlah kendaraan bermotor yang tertinggi adalah Pulau Jawa sebanyak 60.369.374 unit dan terendah adalah


(38)

Papua-Kepulauan Maluku yaitu 1.447.593 unit dan pada tahun 2014 terjadi kenaikan semua jenis kendaraan bermotor. Jenis kendaraan yang mengalami kenaikan cukup tinggi adalah mobil barang penumpang masing-masing (BPS, 2014).

Tabel 4.4. Analisis Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan tahun 2005-2015

No Tahun Jumlah Kendaraan

1 2005 1.172.128

2 2006 1.289.746

3 2007 1.425.943

4 2008 3.114.871

5 2009 3.418.930

6 2010 3.835.675

7 2011 4.352.041

8 2012 4.750.834

9 2013 5.485.860

10 2014 6.144.532

11 2015 6.712.362

Jumlah 41.702.922

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan 2013

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor di Kota Medan mempunyai trend yang terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah kendaraan bermotor yang dimaksudkan adalah (sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus) dengan satuan satu juta unit. Pada tabel 4.4. menunjukkan bahwa dari tahun 2005 hingga 2015 terjadi


(39)

jumlah kendaraan bermotor di Kota Medan yang terus mengalami peningkatan jumlah yang besar maka beban pencemaran udara yang ditimbulkan diperkirakan cukup signifikan.

c. Kepadatan penduduk

Tuberkulosis juga erat dikaitkan dengan peningkatan kepadatan penduduk yang tinggi disuatu wilayah. Wilayah yang didalamnya terdapat jumlah penduduk yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi akan cenderung memiliki tempat tinggal yang kumuh, kebersihan yang buruk dan nutrisi yang kurang yang akan memicu untuk menularkan penyakit TB dengan cepat.

Kepadatan penduduk di Indonesia menurut provinsi pada tahun 2013, kepadatan penduduk tertinggi adalah terdapat pada Provinsi DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk sebesar 15.015 jiwa/km², dan provinsi dengan kepadatan penduduk paling rendah adalah terdapat pada Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan kepadatan penduduk untuk Provinsi Papua Barat sebesar 9 jiwa/km² dan Provinsi Papua sebesar 10 jiwa/km².

Di Sumatera Utara, ditemukan kasus TB yang tertinggi terdapat di Kota Medan. Hal ini disebabkan karena Kota Medan memiliki jumlah penduduk yang lebih besar bila dibandingkan dengan kota lainnya di Sumatera Utara. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Kota Medan dari tahun ke tahun maka rasio kepadatan penduduk Kota Medan juga mengalami peningkatan, hal ini juga dikarenakan karena luas Kota Medan yang tetap dan tidak mengalami perubahan namun jumlah penduduk Kota Medan terus bertambah.


(40)

Di Kota Medan pada tahun 2015 kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada Kecamatan Medan Perjuangan dengan kepadatan penduduk sebesar 23.443 jiwa/km² dan kepadatan penduduk yang paling rendah terdapat pada Kecamatan Medan Labuhan dengan kepadatan penduduk sebesar 3.203 jiwa/km.

Tabel 4.5. Analisis Kepadatan Penduduk di Kota Medan tahun 2005-2015

No Tahun Kepadatan Penduduk

1 2005 7.567

2 2006 7.798

3 2007 7.858

4 2008 7.929

5 2009 8.001

6 2010 7.913

7 2011 7.987

8 2012 8.008

9 2013 8.055

10 2014 8.265

11 2015 8.339

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan 2016

Dari tabel 4.5. memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk di Kota Medan dari tahun 2005 hingga 2015 mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 dan 2011 kepadatan penduduk di Kota Medan sempat mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 7.913 jiwa/km² pada tahun 2010 dan 7.987 jiwa/km² pada tahun 2011, namun pada tahun selanjutnya mengalami peningkatan


(41)

jumlah kepadatan penduduk di Kota Medan, pada tahun 2015 didapati kepadatan penduduk Kota Medan yakni sebesar 8.339 jiwa/km².

d. Inflasi

Terbatasnya pembiayaan kesehatan akan semakin diperkuat oleh keadaan, bahwa pembiayaan kesehatan bergerak semakin mahal dengan laju inflasi 2-3 kali inflasi ekonomi secara umum. Pelayanan kesehatan (medical care) adalah salah satu yang paling rentan terhadap inflasi pembiayaan. Bila inflasi meningkat akan terjadi kenaikan harga dimasyarakat secara otomatis biaya infestasi dan juga biaya operasional pelayanan kesehatan akan meningkat pula (kenaikan harga alat kesehatan dan menurunkan kemampuan pembiayaan program), pembiayaan kesehatan untuk program TB paru juga akan menurun berdampak pada tingkat atau derajat kesehatan yang rendah.

Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi, setelah krisis ekonomi tersebut nilai inflasi di Indonesia berfluktuasi. Pada tahun 2000 inflasi di Indonesia mencapai 9,35 % dan terjadi peningkatan inflasi yang tinggi pada tahun 2001 yakni sebesar 12,55 %. Pada tahun 2003 dan 2004 inflasi di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan yakni sebesar 5,06 % pada tahun 2003 dan sebesar 6,40 % pada tahun 2004. Akan tetapi pada tahun 2005 inflasi di Indonesia mnegalami kenaikan yang signifikan yakni sebesar 17,11 %, hingga tahun 2013 inflasi di Indonesia adalah 8,38 % (BPS dan BI, 2016).


(42)

Tingkat inflasi mencerminkan kenaikan harga barang-barang secara umum. Dinamika dari perkembangan besarnya laju inflasi yang terjadi di Kota Medan dalam kurun waktu antar tahun 2000-2001 relatif sangat flutuatif, hal ini dikarenakan rata-rata dalam kurun waktu 12 tahun terakhir mencapai angka 8,48%. Pada tahun 2001 angka inflasi Kota Medan masih sangat tinggi yakni lebih dari satu digit 15,51% dan berada diatas rata-rata inflasi nasional (prawidya, 2010). Hal ini berlanjut hingga tahun 2005 yang didapati nilai inflasi di Kota Medan adalah sebesar 22,91 % dan mengalami penurunan yang sangat signifikan pada tahun 2009 dari tahun sebelumnya yakni sebesar 2,69 % pada tahun 2009 dan 10,63 pada tahun 2010.

Tabel 4.6. Analisis Inflasi di Kota Medan tahun 2005-2015

No Tahun Inlasi

1 2005 22,91

2 2006 5,97

3 2007 6,42

4 2008 10,63

5 2009 2,69

6 2010 7,65

7 2011 3,54

8 2012 3,79

9 2013 10,09

10 2014 8,24

11 2015 3,32


(43)

Gambar 4.6. memperlihatkan bahwa pada periode penelitian ini, inflasi yang paling tinggi terdapat pada tahun 2005 dan 2010. Dimana pada tahun tersebut rata-rata inflasi mencapai 22,91 % tahun 2005 dan 10,9 % ditahun 2010.

4.4. Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum6, nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan dalam perhitungan statistik deskriptif adalah rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk, inflasi dan penderita TB. Berdasarkan analisis statistik deskriptif diperoleh gambaran sampel sebagai berikut.

Tabel 4.7. Statistik Deskriptif dari penderita TB, rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi

Y X1 X2 X3 X4

Mean 2847 261062 3791175 7975 7,75

Median 2769 265256 3835675 7987 6,42

Maximum 3256 416031 6712362 8339 22,91 Minimum 2573 117031 1172128 7568 2,69 Std. Dev. 209 90003 1936179 210 5,722038

Observations 11 11 11 11 11

Sumber: Hasil Olah Software EViews 7

Berdasarkan Tabel 4.7. diketahui bahwa dalam rentang tahun 2005 hingga 2015 nilai mean atau rata-rata penderita TB adalah 2847 artinya bahwa dalam kurun waktu 11 tahun jumlah penderita TB paru adalah 2847 ribu orang dan standar


(44)

deviasinya 209. Nilai mean atau rata-rata rumah sehat adalah 261062 artinya bahwa dalam kurun waktu 11 tahun jumlah cakupan rumah sehat adalah 261062 ratus ribu unit rumah dan standar deviasinya 90003. Nilai mean atau rata-rata jumlah kendaraan bermotor adalah 3791175 artinya bahwa dalam kurun waktu 11 tahun terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebesar 3791175 juta unit dan standar deviasinya 1936179. Nilai mean atau rata-rata kepadatan penduduk adalah 7975 artinya bahwa dalam kurun waktu 11 tahun terjadi kepadatan penduduk sebesar 7975 jiwa/km² dan standar deviasinya 210. Nilai mean atau rata-rata inflasi adalah 7,75 artinya bahwa dalam kurun waktu 11 tahun terjadi peningkatan inflasi sebesar 7,75 % dan standar deviasinya 5,722038.

4.5. Uji Asumsi Ekonometrika 4.5.1. Uji Normalitas

Menurut Ghozali (2007), uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diambil dalam penelitian berdasar dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah datanya berdistribusi normal atau mendekati normal.

Dalam penelitian ini, uji normalitas terhadap residual dengan menggunakan uji Jarque-Bera (J-B). Dalam penelitian ini, tingkat signifikansi yang digunakan . Dasar pengambilan keputusan adalah melihat angka probabilitas dari statistik J-B, dengan ketentuan sebagai berikut.


(45)

Jika nilai probabilitas 0,05, maka asumsi normalitas terpenuhi. Jika probabilitas < 0,05, maka asumsi normalitas tidak terpenuhi.

Gambar 4.5. Uji Normalitas dengan Uji Jarque-Bera

Sumber: Hasil Olah software Eviews 7

Berdasarkan gambar 4.5, diketahui nilai probabilitas dari statistik J-B adalah 0,905479. Karena nilai probabilitas , yakni 0,635884 lebih besar dibandingkan tingkat signifikansi, yakni 0,05. Hal ini berarti asumsi normalitas dipenuhi.

4.5.2. Uji Multikolinearitas

Dalam penelitian ini, gejala multikolinearitas dapat dilihat dari nilai korelasi antar variabel yang terdapat dalam matriks korelasi. Ghozali (2013:105) menyatakan jika antar variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi, yakni di atas 0,9 maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas disajikan pada Tabel 4.3.

0 1 2 3 4

2500 2600 2700 2800 2900 3000 3100 3200 3300

Series: Y

Sample 2005 2015 Observations 11

Mean 2847.364 Median 2769.000 Maximum 3256.000 Minimum 2573.000 Std. Dev. 209.0432 Skewness 0.614506 Kurtosis 2.318002 Jarque-Bera 0.905479 Probability 0.635884


(46)

Tabel 4.8. Uji Multikolinearitas dengan Matriks Korelasi

X1 X2 X3 X4

X1 1,000000 0,833836 0,674756 0,315739 X2 0,833836 1,000000 0,841780 0,534205 X3 0,674756 0,841780 1,000000 0,636713 X4 0,315739 0,534205 0,636713 1,000000

Sumber: Hasil Olah Software Eviews 7

Berdasarkan Tabel 4.8. dapat dilihat bahwa korelasi antara x1 dan x2 sebesar 0,833836 korelasi antara x1 dan x3 sebesar 0,674756 korelasi antara x1 dan x4 sebesar 0,315739. Korelasi antara x2 dan x3 sebesar 0,841780 Korelasi antara x2 dan x4 sebesar 0,534205 dan sebagainya. Dari hasil pengujian multikolinearitas pada Tabel 4.8. dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas antar variabel independen. Hal ini karena nilai korelasi antar variabel independen tidak lebih dari 0,9.

4.6. Pengujian Estimasi

Pada pengujian hipotesis, akan dilakukan analisis koefisien determinasi, pengujian pengaruh simultan (uji F), dan pengujian pengaruh parsial (uji t). Nilai-nilai statistik dari koefisien determinasi, uji F, dan uji t tersaji pada Tabel 4.9.


(47)

Tabel 4.9. Nilai statistik dari Koefisien Determinasi, Uji F, dan Uji t

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 08/10/16 Time: 07:24 Sample: 2005 2015

Included observations: 11

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. X1 -0,002314 0,000792 -2,923456 0,0265 X2 0,000249 5,73E-05 4,353119 0,0048 X3 1,050014 0,527157 1,991843 0,0935 X4 18,79486 8,584477 2,189400 0,0711

C 11025 4071 2,708023 0,0352

R-squared 0,840039 Mean dependent var 2847,364 Adjusted R-squared 0,733398 S.D. dependent var 209,0432 S.E. of regression 107,9364 Akaike info criterion 12,50392 Sum squared resid 69902 Schwarz criterion 12,68478 Log likelihood -63,77154 Hannan-Quinn criter. 12,38991 F-statistic 7,877270 Durbin-Watson stat 2,515893 Prob(F-statistic) 0,014408

Sumber: Hasil Olah Software Eviews

4.6.1. Analisis Koefisien Determinasi

Berdasarkan Tabel 4.9. diketahui nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar . Nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi mampu mempengaruhi atau menjelaskan penderita TB paru secara simultan atau bersama-sama sebesar 84 %, sisanya sebesar 16 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.


(48)

4.6.2. Uji Signifikansi Pengaruh Simultan (Uji F)

Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Diketahui nilai Prob.

(F-statistics), yakni 0,014408 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel bebas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru.

4.6.3. Uji Signifikansi Pengaruh Parsial (Uji t)

Untuk mengetahui variabel yang berpengaruh signifikan secara parsial dilakukan pengujian koefisien regresi dengan menggunakan statistic uji t. Berdasarkan Tabel 4.9, disajikan kembali nilai koefisien regresi untuk masing-masing variabel bebas, beserta interpretasinya (Tabel 4.10).

Tabel 4.10. Koefisien Regresi Beserta Interpretasinya

Variabel Koefisien Regresi dan Interpretasi Rumah sehat -0,002314 (bernilai negatif), berarti Rumah sehat

berpengaruh negatif terhadap penderita TB

Jumlah kendaraan 0,000249 (bernilai positif), berarti Jumlah kendaraan berpengaruh positif terhadap penderita TB

Kepadatan penduduk

1,050014 (bernilai positif), berarti Kepadatan

penduduk berpengaruh positif terhadap penderita TB

Inflasi

18,79486 (bernilai positif), berarti Inflasi berpengaruh positif terhadap penderita TB


(49)

Berdasarkan Tabel 4.10, disajikan kembali nilai probabilitas dari masing-masing variabel bebas untuk pengujian pengaruh parsial (Tabel 4.11).

Tabel 4.11 . Menguji Signifikan Pengaruh dengan Nilai Probabilitas (Sig.) Variabel Nilai sig. dan tingkat

signifikansi

Interpretasi

Rumah sehat 0,0265

Pengaruh Rumah sehat signifikan terhadap penderita TB (Sig < 0,05)

Jumlah kendaraan 0,0048

Pengaruh Jumlah kendaraan signifikan terhadap penderita TB (Sig < 0,05)

Kepadatan 0,0935

Pengaruh kepadatan tidak signifikan terhadap penderita TB (Sig > 0,05)

Inflasi 0,0711

Pengaruh inflasi tidak signifikan terhadap penderita TB (Sig < 0,05)

Sumber: Hasil Olah Software Eviews 7

4.6.3.1.Pengujian Pengaruh Rumah Sehat Terhadap Penderita TB

Berdasarkan Tabel 4.10. dan 4.11 diketahui variabel rumah sehat berpengaruh negatif terhadap variabel penderita TB paru dan terdapat nilai sig. sebesar 0,0265. Nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas atau 0,0265 < 0,05 maka H1 diterima dan Ho ditolak yang menunjukkan bahwa pengaruh variabel

rumah sehat terhadap penderita TB paru signifikan terhadap variabel penderita TB paru. Nilai t negatif menunjukkan bahwa variabel rumah sehat mempunyai hubungan yang tidak searah dengan variabel penderita TB paru. Jadi, dapat


(50)

disimpulkan bahwa pengaruh variabel rumah sehat memiliki pengaruh yang signifikan secara statistika terhadap penderita TB.

4.6.3.2.Pengujian Pengaruh Jumlah Kendaraan Bermotor Terhadap Penderita TB

Berdasarkan Tabel 4.10. dan 4.11, diketahui variabel tingkat jumlah kendaraan bermotor berpengaruh positif terhadap penderita TB dan terdapat nilai sig. sebesar 0,0048. Nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas atau 0,0048 < 0,05 maka H1 diterima dan Ho ditolak yang menunjukkan bahwa pengaruh variabel

jumlah kendaraan bermotor terhadap penderita TB paru signifikan. Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel jumlah kendaraan bermotor mempunyai hubungan yang searah dengan variabel penderita TB paru. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel jumlah kendaraan bermotor memiliki pengaruh yang signifikan secara statistika terhadap variabel penderita TB.

4.6.3.3.Pengujian Pengaruh Kepadatan Penduduk Kesehatan Terhadap Penderita TB

Berdasarkan Tabel 4.10. dan 4.11, diketahui variabel kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap penderita TB dan terdapat nilai sig. sebesar 0,0935. Nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas atau 0,0935 > 0,05 maka H1 ditolak

dan Ho diterima yang menunjukkan bahwa pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap penderita TB paru tidak signifikan. Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel kepadatan penduduk mempunyai hubungan yang


(51)

searah dengan variabel penderita TB paru. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel kepadatan penduduk memiliki pengaruh yang tidak signifikan secara statistika terhadap variabel penderita TB.

4.6.3.4. Pengujian Pengaruh Inflasi Terhadap Penderita TB

Berdasarkan Tabel 4.10. dan 4.11, diketahui variabel inflasi berpengaruh positif terhadap penderita TB dan terdapat nilai sig. sebesar 0,0711. Nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas atau 0,0711 > 0,05 maka H1 ditolak dan Ho

diterima yang menunjukkan bahwa pengaruh variabel inflasi terhadap penderita TB paru adalah tidak signifikan. Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel inflasi mempunyai hubungan yang searah dengan variabel penderita TB paru. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel inflasi memiliki pengaruh yang tidak signifikan secara statistika terhadap variabel penderita TB.


(52)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Rumah Sehat terhadap Penderita TB Paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan (uji F) dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. (F-statistics), yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel rumah sehat berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru.

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berkontribusi besar untuk kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Kuman tuberkulosis dapat hidup selama berjam-jam sampai berhari dan bahkan berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembapan, suhu rumah dan kepadatan penguhuni yang terdapat didalam rumah tersebut.

Perumahan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar dan juga merupakan determinan kesehatan masyarakat. Untuk itu pengadaan perumahan yang sesuai dengan standart kesehatan yang telah ditetapkan sangat penting utnuk diterapkan. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan sehingga penghuninya tetap sehat. Perumahan yang sehat tidak lepas dari tersedianya prasarana dan sarana yan terkait (Krieger and Higgins, 2002).

Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor resiko sumber penularan TB paru. sumber penularan penyakit


(53)

ini erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan (Fahreza, 2012 ). Kondisi kesehatan lingkungan rumah berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit TB paru, karena lingkungan rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi jumlah atau kepadatan kuman dalam rumah tersebut termasuk kuman penyebab penyakit TB paru (Entjang, 2003).

Perumahan atau pemukiman yang buruk akan beresiko unutk menimbulkan masalah kesehatan antara lain penyakit infeksi saluran pernafasan dan TB paru. Perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain memenuhi kebutuhan fisiologis, mencegah terjadinya penularan penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan (Widoyono, 2008).

Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients rumah sehat yaitu -0,002314 dan nilai t negatif, menunjukkan bahwa rumah sehat berpengaruh negatif yakni mempunyai hubungan yang tidak searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila jumlah rumah sehat naik maka akan menurunkan jumlah penderita TB paru BTA+. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0265, nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0265 < 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh rumah sehat adalah signifikan terhadap penderita TB.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian hasil penelitian Fahreza (2012) yang berjudul “hubungan antara kualitas fisik rumah dan kejadian tuberkulosis paru dengan BTA+ di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang”, yang ditemukan bahwa ada hubungan kualitas fisik rumah dengan kejadian TB paru BTA+ di BKPM Semarang dengan nilai p=0,000 dan ditemukan nilai


(54)

OR=45,5 yang artinya, kondisi rumah yang buruk beresiko terkena TB paru sebesar 45,50 kali dibandingkan kondisi fisik rumah yang baik dengan nilai

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Sakinah (2012) yang berjudul “pengaruh sanitasi lingkungan rumah, pengahsilan keluarga dan upaya pengendalian terhadap penyakit TB paru pada ibu rumah tangga di Puskesmas Mulyorejo Kabupaten Deli Serdang tahun 2012”, yang ditemukan variabel sanitasi lingkungan rumah (ventilasi p=0,041 ,pencahayaan p=0,003 , kelembapan p=0,045 , dan suhu p=0,007) memiliki hubungan dan signifikan terhadap kejadian penyakit TB paru.

Hasil penelitian Iskandar (2011) yang berjudul “hubungan karakteristik penderita, lingkungan fisik rumah dan wilayah dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2009” juga memperlihatkan ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian kamar, jenis lantai, venntilasi udara, pencahayaan, kelembapan, suhu dan polutan dalam rumah) terhadap kejadian TB paru.

Namun hasil penelitian ini tidak sama atau tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktavianus Rantepasang (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang yang meminimalisasi penularan TB paru BTA+ didalam rumah.

5.2. Pengaruh Jumlah Kendaraan Bermotor terhadap Penderita TB Paru Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan (uji F) dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. (F-statistics),


(55)

yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel jumlah kendaraan bermotor berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru.

Tuberkulosis merupakan penyakit airborne desease yang sumber penularannya adalah melalui udara yang dapat menginfeksi semuan golongan umur maupun status sosial. Untuk itu diharapkan dalam mencegah tertular dan penyebaran penyakit tuberkulosis harus memperhatikan kualitas udara, baik kualitas udara didalam ruangan maupun kualitas udara diluar ruangan. Udara yang sudah tercemar juga akan berpengaruh untuk menurunkan sistem imun manusia, hal ini juga mampu mempermudah penularan tuberkulosis mengingat penyebaran dan penularan tuberkulois bergantung pada sistem imun seseorang. Dengan situasi yang ada sekarang yan berkaitan dengan sanitasi yang buruk, pencemarann udara yang buruk mengakibatkan hamper smeua orang terjebak dalam serangan bakteri TB paru.

Kendaraan bermotor adalah penyumbang terbesar dalam pencemaran udara. Pencemaran udara biasanya terjadi di daerah perkotaan besar dan juga padat akan industri. Pencemaran udara memang erat kaitannya dengan masalah-masalah yang sering ditimbulkan yakni masalah-masalah-masalah-masalah yang menyangkut saluran pernafasan salah satunya adalah tuberkulosis. Selain pencemaran udara membantu penularan TB paru, pencemaran udara juga mengandung zat-zat hasil polutan yan dikeluarkan oleh kendaraan bermotor diatas batas kewajaran. Hal ini juga akan memicu untuk menimbulkan penyakit lainnya ataupun akan berpotensi


(56)

untuk meningkatkan keparahan penyakit TB pada penderita TB paru. Masalah pencemaran udara seperti asap rokok, partikel hasil pembakaran yang tersebar di udara ambient dan ruangan dapat menjadi salah satu faktor resiko peningkatan kasus TB paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients jumlah kendaraan bermotor yaitu 0,000249 dan nilai t positif, menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor berpengaruh positif yakni mempunyai hubungan yang searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila jumlah kendaraan bermotor naik maka akan menaikkan jumlah penderita TB paru BTA +. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0048, nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0048 < 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh jumlah kendaraan bermotor adalah signifikan terhadap penderita TB.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Halim (2015) yang berjudul “ faktor resiko TB paru pada anak usia 1-5 tahun di Kapubaten Kebumen” dengan hasil penelitian menunjukan bahwa Kadar PM 10 memiliki hubungan dengan kejadian TB anak (pvalue= 0.021, OR : 11.999,CI : 1.444 – 99.674), penelitian menunjukan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan kadar PM10 lebih dari 150 μ g/m³ berisiko sebesar 2,74 kali dibanding dengan seseorang yang tinggal kadar PM10 kurang dari 150 μ g/m³ dirumah. Ketika polusi udara oleh dalam ruang dapat memberikan faktor risiko sebesar 2,35 kali menderita TB paru dibandingkan dengan udara tidak terkena polusi oleh debu.

Penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Naga (2012), Naga mengungkapkan bahwa secara umum tingkat atau derajat penularan


(57)

penyakit TB paru tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam sputum, virulensii atas, basil dan peluang adanya pencemaran udara.

5.3. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Penderita TB Paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan (uji F) dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. (F-statistics), yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru.

Tuberkulosis erat kaitannya dengan peningkatan kepadatan penduduk yang tinggi disuatu wilayah. Wilayah yang didalamnya terdapat jumlah penduduk yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi akan cenderung memilki tempat tinggal yang kumuh, kebersihan yang buruk dan nutrisi yang kurang yang akan memicu untuk menularkan penyakit TB dengan cepat.

Menurut Braglehole (1997), faktor resiko yang dapat mneyebabkan penyakit tuberkulosis paru adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk. Menurut Linda (2012) yang menyatakan faktor lingkungan seperti kepadatan penduduk, suhu udara yang lembab sangat mempengaruhi penyebaran MDR TB. Tingginya angka TB paru di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain diantaranya adalah rendahnya penghasilan, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta rendahnya pengetahuan kesehatan pada masyarakat.


(58)

Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients kepadatan penduduk yaitu 1,050014 dan nilai t positif, menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh positif yakni mempunyai hubungan yang searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila jumlah kepadatan penduduk naik maka akan menaikkan jumlah penderita TB paru BTA+. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0935, nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0935 > 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh kepadatan penduduk adalah tidak signifikan terhadap penderita TB.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mucnh et al. (2003) dengan judul “tuberculosis transmission patterns in a high-incidence area” yang dilakukan di Afrika Selatan yang mendapatkan ada hubungan antara kepadatan jumlah penduduk dan sakit TB.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Dotulong (2015) dengan judul “Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin, dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori ” dari hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan Wori, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kepadatan hunian yang buruk memiliki peluang yang lebih besar unutk terkena penyakit TB paru.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2014) dengan judul “Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk dan Proporsi Keluarga Peasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis Paru di Bandar Lampung” hasil analisis dengan Geoda menggunakan metode OLS menunjukkan


(59)

tidak ada hubungan spasial antara kepadatan penduduk dan sakit TB paru BTA positif.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaruh yang ditemukan dari kepadatan penduduk terhadap penderita TB paru adalah tidak signifikan. Namun bila dilihat kenyataannya, kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap penderita TB paru. Di Indonesia pada tahun 2014 dalam Profil Kesehatan Indonesia , jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu dilaporkan terdapat pada provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA + yang terdapat di tiga provinsi tersebut sebesar 40 % dari jumlah seluruh kasus baru yang ada di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Hal ini juga didukung oleh penelitian Izza (2013) yang mengadakan penelitian di wilayah kerja Puskemas Pacarkeling Kecamatan Tambaksari Surabaya dengan judul “peningkatan tuberkulosis di Puskesmas Pacarkeling, Surabaya tahun 2009-2011”. Dimana Kecamatan Tambaksari merupakan wilayah terpadat kedua setelah Kecamatan Sawahan, dan ditemukan jumlah penderita TB baru yang berfluktuasi yaitu 54 penderita (2009) yang meningkat 29%, menjadi 77 penderita (2010). Hal ini memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk merupakan faktor resiko terjadinya penularan TB paru.

Menurut hasil penelitian Destanul (2016) dengan judul “The Study of The Number of Pulmonary Tuberculosis Patients in North Sumatera” ditemukan bahwa populasi memilikipengaruh yang signifikan terhadap tingginya kasus TB di Sumatera Utara. Destanul mengemukakan hal ini disebabkan ledakan penduduk


(60)

yang akan mempengaruhi ketersediaan makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan lainnya dan salah satu langkah yang diperlu dilakukan adalah dengan mengontrol populasi dan mengurangi kemiskinan.

Untuk di Kota Medan sendiri, dijelaskan bahwa Kota Medan adalah kota dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi dan juga merupakan kota dengan jumlah kasus TB paru terbanyak di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun dalam penelitian ini ditemukan pengaruh kepadatan penduduk adalah tidak signifikan terhadap penderita TB paru akan tetapi bila dilihat dari kondisi yang ada dan didukung oleh penelitian-penelitian lainnya tidak menutup kemungkinan bahwa kepadatan penduduk memeiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya penderita TB paru di Kota Medan.

5.4. Pengaruh Inflasi terhadap Penderita TB Paru

Berdasarkan pengujian hipotesis secara simultan (uji F) dapat diketahui bahwa nilai F-statistics sebesar 7.877270 dan diketahui nilai Prob. (F-statistics), yakni 0.014408 0,05. Uji bertujuan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel tak bebas. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap variabel penderita TB paru.

Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan dalam satu periode waktu tertentu. Saat ini komponen utama dari harga barang dan jasa secara keseluruhan dipengaruhi oleh harga BBM (bahanbakar minyak) dan harga-harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Anggaran kesehatan akan mengalami


(61)

penurunan jumlah angka disebabkan oleh inflasi. Hal ini dikarenakan mengingat salah satu faktor penyebab terjadinya inflasi adalah defisit anggaran (deficit

budget). Kebijakan defisit anggaran adalah kebijakan pemerintah untuk membuat

pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Hal ini dilakukan agar dapat menstimulus perekonomian semakin baik. Namun, umunya bila deficit anggaran dilakukan pada saat keadaan perekonomian stabil akan berdampak baik, namun bila dilakukan pada keadaan perekonomian yang buruk maka akan menambah masalah-masalah ekonomi lainnya yang brujung pada pertumbuhan ekonomi yang buruk.

Bila fenomena inflasi ekonomi terjadi maka akan berdampak pada kemunculan inflasi kesehatan. Inflasi kesehatan adalah suatu kondisi ekonomi dan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan yang semakin tinggi dan meningkat, dan akan berdampak pada daya beli masyarakat untuk membeli pelayanan kesehatan menurun. Pada pemerintah pusat, kenaikan inflasi akan berdampak pada pemberian pembiayaan kesehatan yang menurun. Keadaan ini akan menyulitkan bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahn TB yang ada karena bila inflasi naik masyarakat akan enggan untuk membeli layanan kesehatan dalam pengobatan dan pemerintah akan secara otomatis mengurangi anggaran kesehatan yang telah dipersiapkan untuk penanggulangan penyakit TB paru.

Tuberkulosis paru sangat erat kaitannya dengan keadaan sistem imun dan gizi seseorang. Dampak inflasi lainnya adalah menurunkan tingkat kualitas hidup masyarakat, disebabkan oleh semua harga bahan pokok primer dan sekunder naik


(62)

maka akan menyulitkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Alhasil upaya dalam pencegahan terpaparnya penyakit yang bergantung pada sistem imun dan gizi seseorang termasuk pencegahan penyakit TB akan sulit dilakukan.

Berdasarkan pengujian hipotesis secara parsial nilai Coefficients inflasi yaitu 18.79486 dan nilai t positif, menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif yakni mempunyai hubungan yang searah terhadap penderita TB paru BTA+. Artinya, apabila inflasi naik maka akan menaikkan jumlah penderita TB paru BTA+. Terdapat nilai sig. sebesar 0,0711, nilai sig. lebih besar dari nilai probabilitas yang telah ditetapkan atau 0,0711 > 0,05 yang memperlihatkan bahwa pengaruh inflasi adalah tidak signifikan terhadap penderita TB.

Hasil penelitian ini nsejalan dengan penelitian Destanul (2016) dengan judul “The Study of The Number of Pulmonary Tuberculosis Patients in North Sumatera” yang ditemukan bahwa inflasi mempengaruhi tingginya kasus penderita TB paru di Sumatera Utara.

Inflasi merupakan kenaikan harga berkelanjutan di seluruh spektrum yang luas dari harga, bukan hanya satu atau dua barang tapi kenaikan itu adalah menyebar (atau mengarah ke kenaikan harga untuk) barang lainnya. Suatu pengukuran inflasi di Indonesia berdasarkan konsumen indeks harga, terutama bahan makanan, perumahan, pakaian dan kesehatan. Inflasi sebagai indicator makroekonomi disebabkan kemampuan lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan gizi akan cenderung menyulitkan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan gizi, yang mana kekurangan gizi akan menyebabkan kerentanan terhadap penyakit TB


(63)

paru, hal ini berarti bahwa semakin tinggi inflasi akan meningkatkan jumlah pasien TB (Destanul, 2016).

Dalam penelitian ini ditemukan pengaruh inflasi dan kepadatan penduduk terhadap penderita TB paru adalah tidak signifikan, hal ini dikarenakan dalam penelitian ini adanya variabel-variabel lain baik merupakan variabel medis ataupun variabel nonmedis lainnya yang mempunyai pengaruh dengan penyakit TB paru BTA+ namun tidak dikaji atau diikutsertakan dalam penelitian ini, variabel lainnya yang mempengaruhi TB paru BTA+ adalah variabel kemiskinan, variabel pendidikan dan variabel rokok.

Pendidikan dan kemiskinan merupakan variabel nonmedis yang selalu disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya infeksi TB paru. Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah. Kondisi pendidikan seseorang menjadi faktor penyebab rendahnya cakupan penemuan penderita TB paru, dengan kondisi pendidikan yang relatif rendah, maka pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB Paru juga terbatas (Media, 2002). Achmadi (2005), menyebutkan bahwa 90 % penderita TBC didunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

Hasil penelitian Purwanto (2003) yang berjudul “faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru di desa tanggul kulon kecamatan tanggul kabupaten jember” juga menyebutkan bahwa risiko terkena TB paru pada orang dengan pendapatan kurang dari UMR adalah 5,606 kali lebih besar dari pada orang dengan pendapatan lebih dari UMR. Hasil penelitian Muaz (2014) dengan analisis bivariat diperoleh p=0,012 yang berarti ada hubungan bermakna antara


(1)

2.9. Determinan Sosial Kesehatan ... 26

2.10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru ... 27

2.10.1 Rumah Sehat ... 27

2.10.2 Jumlah Kendaraan Bermotor... 31

2.10.3 Kepadatan Penduduk ... 33

2.10.4 Inflasi………. ... 35

2.11. Deret Berkala (Time Series) ... 37

2.11.1 Peramalan (Forcasting) ... 37

2.11.1.1. Metode Rata Bergerak (Moving Averages)….. 38

2.12. Kerangka Konsep Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 40

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2. Waktu Penelitian ... 41

3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data ... 41

3.4. Model Analisis Data ... 41

3.5. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional ... 42

3.5.1 Variabel Penelitian ... 42

3.5.2 Defenisi Operasional ... 42

3.6. Pengujian Asumsi Ekonometrika ... 44

3.6.1. Uji Normalitas ... 44

3.6.2. Uji Multikolinearitas ... 45

3.7. Metode Estimasi ... 46

3.7.1. Penafsiran Koefisien Determinasi (R²) ... 47

3.7.2. Pengujian Secara Bersama-sama (uji F) ... 47

3.7.3. Pengujian Statistik Secara Parsial (uji t). ... 48

3.7.4. Model Estimasi... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kota Medan. ... 51

4.2. Gambaran Umum Variabel TB Paru. ... 56


(2)

4.6. Pengujian Estimasi ... 70

4.6.1. Analisis Koefisien Determinasi... 70

4.6.2. Uji Signifikansi Pengaruh Simultan (Uji F) ... 72

4.6.3. Uji Signifikansi Pengaruh Parsial (Uji t) ... 72

4.6.3.1. Pengaruh Rumah Sehat Terhadap TB ... 73

4.6.3.2. Pengaruh Kendaraan Bermotor Terhadap TB ... 74

4.6.3.3. Pengaruh Kepadatan Penduduk Terhadap TB ... 74

4.6.3.4. Pengaruh Inflasi Terhadap TB ... 75

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Rumah Sehat Terhadap TB Paru ... 76

5.2. Pengaruh Kendaraan Bermotor Terhadap TB Paru ... 79

5.3. Pengaruh Kepadatan Penduduk Terhadap TB Paru ... 81

5.4. Pengaruh Inflasi Terhadap TB Paru ... 84

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 90

6.2. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan Tahun 2015 ... 52

Tabel 4.2 Analisis Penderita TB Paru BTA+ di Kota Medan 2005-2015 ... 58

Tabel 4.3 Analisis Jumlah Rumah Sehat di Kota Medan 205-2015 ... 60

Tabel 4.4 Analisis Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan 205-2015 ... 62

Tabel 4.5 Analisis Kepadatan Penduduk di Kota Medan 205-2015 ... 64

Tabel 4.6 Analisis Inflasi di Kota Medan 205-2015... 66

Tabel 4.7 Statistik Deskriptif dari Kemiskinan, Pendidikan, Anggaran Kesehatan, Jumlah Penduduk, jumlah dokter dan Penderita TB ... 67

Tabel 4.8 Uji Multikolinearitas dengan Matriks Korelasi ... 70

Tabel 4.9 Nilai Statistik dari Koefisien Determinasi, Uji F, dan Uji t ... 71

Tabel 4.10 Koefisien Regresi Beserta Interpretasinya ... 72


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Analisis Grafik Rumah Sehat di Kota Medan dari Tahun 2005 hingga

2015 ... 5

Gambar 1.2 Analisis Grafik Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan dari Tahun 2005 hingga 2015 ... 7

Gambar 1.3 Analisis Grafik Kepadatan Penduduk di Kota Medan dari Tahun 2005-2015 ... 9

Gambar 1.4 Analisis Inflasi Kota Medan dari Tahun 2005-2015 ... 11

Gambar 2.1 Model Terjadinya Penyakit ... 24

Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... 39

Gambar 4.1 Populasi Penduduk 10 Kota Besar di Indonesia Tahun 2013 ... 51

Gambar 4.2 Analisis Grafik Jumlah Penduduk Miskin di Kota Medan dari tahun 2005-2015 ... 53

Gambar 4.3 Peta Kota Medan ... 55

Gambar 4.4 Penemuan Jumlah Seluruh Kasus TB Paru di Kota Medan dari tahun 2011-2015 ... 57


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Sekunder ...103

Lampiran 2 Analisis Jumlah Rumah Sehat yang ada di Kota Medan pada tahun 2005-2015 ...103

Lampiran 3 Analisis Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Medan tahun 2005-2015 ...104

Lampiran 4 Analisis Kepadatan Penduduk Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015 ...104

Lampiran 5 Analisis Inflasi Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015 ...105

Lampiran 6 Statistik Deskriptif dari penderita TB, rumah sehat, jumlah kendaraan bermotor, kepadatan penduduk dan inflasi ...105

Lampiran 7 Uji Normalitas dengan Uji Jarque-Bera ...106

Lampiran 8 Uji Multikolinearitas dengan Matriks Korelasi ...106

Lampiran 9 Nilai statistik dari Koefisien Determinasi, Uji F, dan Uji t ...106


(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Rani Annisa

Tempat Lahir : Aekkanopan

Tanggal Lahir : 31 Desember 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 6 dari 6 Bersaudara

Nama Ayah : Alm. Miswar Guci

Nama Ibu : Wardewita

Alamat : Aekkanopan Lorong 6 Kec. Kualuh Hulu, Kab. Labuhan Batu Utara

Riwayat Pendidikan

Tahun 2000-2006 : SD Muhammadiyah 01 Aekkanopan

Tahun 2006-2009 : SMP Muhammadiyah 24 Aekkanopan

Tahun 2009-2012 : SMA Muhammadiyah 09 Aekkanopan

Tahun 2012-2016 : Fakultas Kesehatan Masyarakat,