Fatwa MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan

peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang- undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Dampak negatif lain akibat nikah bawah tangan dirasakan pada hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami-isteri pelaku nikah di bawah tangan. Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. 27 Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Dari sisi penggunaan dalil sad adz- dzari‟ah dalam penetapan fatwa nikah di bawah tangan, Ijtima’ Ulama menggunakannya secara eksplisit, menggunakan pendekatan manhaji serta corak ijtihadi int iqa‟i. 28 27 Sebagaimana ketentuan dalam pasal 42 dan pasal 43 UU Nomor 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta pasal 100 Kompilasi Hukum Islam KHI. 28 Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008, h. 149. 63

BAB IV ANALISIS PENETAPAN Nomor 0244Pdt.P2012PA.JS

A. Deskripsi Penetapan Perkara

1. Alasan Pemohon I dan Pemohon II memohon isbath nikah yang telah melangsungkan akad nikah di Desa Karanganyar, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Slawi dengan wali ayah kandung Pemohon II yang bernama pulan tidak dicatatkan karena tidak mempunyai biaya; 2. Bahwa pada saat perkawinan dilangsungkan Pemohon II berada di kamar sehingga tidak dapat menerangkan prosesi perkawinan; 3. Pemohon I menerangkan ia menikahi Pemohon II menjalani prosesi sebagaimana orang lain melaksanakan perkawinan, yaitu Pemohon I berjabatan tangan dengan ayah kandung Pemohon II lalu dinikahkan; 4. Bahwa yang hadir pada saat pelaksanaan akad nikah Pemohon I dan Pemohon II. Ialah Pemohon I, ayah kandung Pemohon II pulan dan Ustadz serta dua saudara perempuan Pemohon II yang bernama pulan 1 dan pulan 2 dan tidak ada yang lainnya lagi; Tentang Hukumnya: bahwa Para Pemohon mohon agar perkawinan yang telah dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 agar diisbathkan, karena tidak tercatat dengan alasan tidak memiliki biaya; Bahwa untuk mengetahui sah atau tidaknya sebuah perkawinan, maka harus dilihat dari tata cara pelaksanaan perkawinan sudah sesuai dengan agama yang bersangkutan atau tidak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.; Bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam, maka Majelis Hakim harus meneliti tentang pelaksanaan akad nikah tersebut sesuai ketentuan agam yang dianut keduanya, sebagaimana ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam KHI, “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon Suami b. Calon Istrei c. Wali Nikah d. Dua Orang Saksi dan e. Ijab dan Kabul”. Bahwa dalam pernikahan Pemohon I dan Pemohon II rukun nikah huruf a, b dan c sudah terpenuhi, huruf d tidak terpenuhi, karena saksi laki-laki hanya satu orang dan lainnya perempuan, sedangkan huruf e ijab Kabul belum jelas; Bahwa Majelis Hakim mengambil pendapat ulama fiqih dari kitab Fathul Muin IV halaman 253, yang diambil sebagai pendapat Majelis Hakim: هط رش هتّحص هتّحص رك أَر مإ َلَع حاَك ن ب َ عّدلا فَ Artinya: “Di dalam dakwa telah nikah kepada perempuan harus menerangkan shahnya nikah dan syarat- syaratnya.” Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti bahwa pernikahan Pemohon I dan Pemohon II belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud menurut hukum Islam, dan dengan demikian permohonan Para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima Niet Onvankelijk verklaart; Bahwa berdasarkan penetapan sela tanggal 22 Januari 2013, Para Pemohon dibebaskan dari membayar biaya perkara; Hakim Menetapkan: 1. Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima Niet Onvakelijk Verklaart; 2. Membebaskan Para Pemohon dari membayar biaya perkara. Demikian penetapan ini dijatuhkan pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2013 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Akhir 1434 Hijriyyah, oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

B. Kebijakan Hakim Dalam Menetapkan Perkara

Dalam pasal 2 ayat 1, bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab Kabul telah dilaksanakan bagi umat Islam maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Khusus bagi orang Islam pelaksanaannya di KUA dan Khusus bagi non Islam di Catatan Sipil Negara. Dan bagi orang Islam dicatatkan oleh KUA pencatatan perkawinannya, sedangkan orang non Islam dicatatkan oleh Catatan Sipil Pusat, sebagaimana pencatatan diatur dalam Undang- Undang Perkawinan pasal 2 ayat 2: “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.” 1 Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbath nikah Penetapan nikah. Pasal 7 ayat 2 dan 3 mengungkapkan sebagai berikut: Ayat 2, “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.” Lalu kemudian dibatasi dengan ayat 3, “Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: 2 1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; 2. Hilangnya Akta Nikah; 3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; 4. Adanya perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya beliau mengatakan dalam rukun dan syarat perkawinan harus terpenuhi semua dan disebutkan dalam: Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu: 1 Wawancara dengan Hakim Ketua Majelis Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H. pada tanggal 18 September 2013. 2 Ibid., Wawancara.