Syarat Formiil Syarat Perkawinan Menurut Hukum Perdata

Adapun nash al- Qur’an disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut ini:      “Maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ”. 17 Ayat di atas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak maka wewenang “menghalangi” dalam ayat di atas tidak punya arti apa-apa bagi seorang wali. Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al- Asy’ari.: ا َحاك ّاإ ّ لَ ب “Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali.” HR. Abu Daud. Maksud dari hadis di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang wanita tidak punya kapasitas unutuk menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: ا أ أَر ما تَحكَ ر َغب إ اَ ِ لَ اَ حاك نف ل طاَب ا بأ د اد “Bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seizing walinya maka nikahnya tidak sah.” HR. Abu Daud. Pendapat kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa wanita berakal yang sudah baligh, baik gadis atau janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang lain. Karena wali dalam 17 Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Dalil pendapat ini adalah Surah al-Baqarah [2]: 230 berikut:            “Kemudian jika si suami mentalaknya sesudah Talak yang kedua, maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. ” Dan Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut:           “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya .” Menurut Hanafiyah, khitab sasaran pembicaraan dala ayat di atas adalah para suami dan bukan para wali sebagaimana pendapat jumhur. Selanjutnya disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 234 berikut:            “Kemudian apabila telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka 18 menurut yang patut. ” Ayat ini sangat jelas menunjukkan kebolehan wanita menikahkan dirinya karena Allah meminta membiarkan mereka berbuat yang patut untuk diri mereka. Selanjutnya Hanafiyah juga berargumen dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra.: 18 Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.