Menurut Hukum Positif Syarat dan Rukun Nikah

d Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibipaman susuan. e Berhubungan saudara dengan istri ipar atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri, lebih dari seorang. f Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 6 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dispensasi oleh Pengadilan. 7 Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 8 Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. 9 Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.

D. Saksi Dalam Perkawinan Menurut Fikih

1. Definisi Kesaksian

Kesaksian berasal dari kata asy-syahadah, diambil dari kata al- musyahadah berarti melihat langsung dengan mata, karena orang yang menyaksikan memberitahu tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maksudnya adalah pemberitahuan tentang apa yang diketahuinya dengan lafal; aku menyaksikan, atau; aku telah menyaksikan. Ada yang mengatakan bahwa kesaksian diambil dari makna kata al- „ilam dalam firman Allah swt., “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan Melainkan Dia.” „Ali „Imran [3]: 18 Maksudnya, mengetahui. Saksi adalah orang yang membawa kesaksian dan melaksanakannya, karena dia menyaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang lain. 36 Salam Madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut: ّقح ا ثإ دا شلا ظ لب مكحلا سل م ف دص ا خإ ع ا ع دا ّشلا لع ر غلا “Kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.” 37 Ibnul Hammam mengemukakan sebagai berikut: ءا قلا سل م ف دا شلا ظ لب ّقح ا ثإ دص ا خإ “Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.” 38

2. Tidak Ada Kesaksian Kecuali dengan Pengetahuan

Tidak boleh seseorang bersaksi kecuali dengan pengetahuan. Pengetahuan didapatkan melalui penglihatan, pendengaran, atau pengetahuan umum terkait apa yang tidak dapat diketahui pada umumnya tanpa pengetahuan tersebut. 36 Al-Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 5. Tahkik dan Takhrij: Muhammad Nasiruddin Al- Albani. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009, h. 459. 37 Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakri, Kamus Arab-Indonesia-Inggris Jakarta: Mutiara, tt, h. 155. 38 Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1996, h. 40. Pengetahuan umum yaitu kemasyhuran yang membuahkan dugaan kuat atau pengetahuan. Kesaksian boleh dilakukan dengan pengetahuan umum menurut M adzhab Syafi’I dalam hal nasab, kelahiran, kematian, pemerdekaan budak, kekerabatan, perwalian, wakaf, pengasingan, pernikahan dan hal-hal terkait, penilaian terhadap integritas dan kapabilitas, wasiat, usia dewasa, kondisi mental yang tidak normal, dan ke pemilikan. Abu Hanifah berkata, “Dibolehkan dalam lima hal; pernikahan, percampuran suami istri, nasab, kematian, dan jabatan kehakiman.” Ahmad berkata, “Dan sebagian penganut Madzhab Syafi’I menyatakan sah dalam tujuh hal; pernikahan, nasab kematian, pemerdekaan budak, kekerabatan, wakaf, dan kepemilikan mutlak.” 39

3. Hukum Saksi Dalam Pernikahan

Jumhur ulama sepakat bahwa pernikahan tidak sah tanpa ada kejelasan di dalam pernikahan itu sendiri. Pernikahan akan sah apabila dihadiri oleh para saksi ketika akad nikah dilangsungkan, meskipun kabar tentang pernikahan itu telah disampaikan melalui sarana yang lain. 40 39 Al-Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 5. Tahkik dan Takhrij: Muhammad Nasiruddin Al- Albani. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009, h. 460. 40 Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa kesaksian bukanlah sesuatu yang diwajibkan di dalam pernikahan. Pernikahan hanya cukup untuk disebarkan dan diumumkan. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari praktik jual beli. Di dalam praktik jual beli, kesaksian tidak termasuk kewajiban yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan praktik itu. Adapun kesaksian di dalam pernikahan yang notabene tidak pernah disinggung secara langsung, lebih leluasa untuk tidak dijadikan sebagai salah satu hal pokok yang harus dipenuhi karena inti dari kesaksian adalah pemberitahuan dan pemberitaan sehingga hal itu dapat menyelamatkan keturunan dari ketidakjelasan nasab. Dalam beberapa keadaan, kesaksian boleh dilakukan setelah akad, apabila para saksi hadir setelah akad selesai kemudian memberikan kesaksian atas pernikahan sebelum kedua mempelai melakukan hubungan suami-isteri, maka pernikahan itu tetap sah. Tetapi, apabila kesaksian diberikan setelah pasangan suami-isteri itu melakukan hubungan suami-isteri, maka keduanya harus dipisahkan. Apabila di dalam suatu pernikahan ada saksi yang menghadiri dan menyaksikan pernikahan itu, tapi pihak yang menikah meminta mereka untuk merahasiakan dan tidak menyebarkan pernikahan itu, maka pernikahan yang dilakukan adalah tetap sah secara hukum. Hal itu berdasarkan dalil-dalil berikut ini. a. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ََغَ لا َنِ َب ر َغب َس أ َ ح كن ت َالا :ا . “Pelacur adalah perempuan-perempuan yang menikahkan diri mereka sendiri tanpa ada saksi.” 41 b. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, دَع َد اَشَ ّ لَ ب ّاإ َحاك ا . “Pernikahan itu tidak sah, kecuali dengan kehadiran seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” 42 Kesaksian merupakan syarat sah pernikahan. Apabila hal itu tidak terpenuhi, maka pernikahan menjadi tidak sah. c. Abu Zubair al-Makki meriwayatkan bahwa Umar bin Khathab r.a. menerima pengaduan tentang pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dia berkata, “Ini adalah pernikahan siri dan aku tidak 41 Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Sunan Tirmidzi, Kitab an- Nikah, Bab Ma Ja‟a La Nikaha illa bi-Bayyinah, jilid III, hlm. 403, hadis nomor 1107. Abu Isa meriwayatkan bahwa Yusuf bin Hamad berkata, “Abdul A’la menjadikan hadis ini sebagai hadis marfu’ di dalam kitab tafsir dan menjadikannya sebagai hadis mauquf di dalam kitab talak.” Menurut Abu Isa, hadis ini tidak terjaga sehingga tida k diketahui siapa yang menjadikannya marfu’, kecuali hadis yang diriwayatkan oleh Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah secara mauquf. 42 Diriwayatkan oleh Daruquthni di dalam Sunan Daruquthni, Kitab an-Nikah,jilid III, h. 225-226, hadits nomor 22.