Itsbat Nikah dan Landasan Hukumnya

tentang isi ijab dan kabul itu, serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah di bentangkan dalam kajian fikih. 14 Oleh ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur-unsur pembentuk bagi akad nikah, apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam syariat Islam itu telah secara sempurna dapat dipenuhi, maka menurutnya akad nikah itu secara syara’ telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami-isteri itu sudah dianggap sebagai anak sah. 15 b. Peraturan yang bersifat Tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat akta nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategi dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi dari adanya pengingkaran adanya akad nikah oleh seorang suami di belakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang itu. Namun demikian, menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali al-Haq, tanpa memenuhi 14 M. Zein Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-2, h. 33. 15 http:www.badilag.netdataARTIKELARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR PERKAWINAN.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2013. peraturan perundang- undangan itu. Secara syar’i nikahnya sudah dianggap sah, apabila melengkapi segala syarat dan rukunnya seperti diatur dalam syariat Islam. 16 Lebih jelas lagi, dalam buku al-fiqh al-islami wa adillatuhu oleh Wahbah az-Zuhaili secara tegas ia membagi syarat nikah menjadi syarat syar‟i dan syarat tawsiqy. Syarat syar‟i, maksudnya suatu syarat di mana keabsahan suatu ibadah atau akad tergantung kepadanya. Sedangkan syarat tawsiqy adalah sesuatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari. 17 3. Landasan Hukum Itsbat Nikah Adapun yang menjadi landasan atau dasar hukum dari itsbat nikah terdapat dalam Bab XIII pasal 64 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. 18 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Buku 1 pasal 7, yang terkandung dalam pasal 64 Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang 16 M. Zein Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-2, h. 34. 17 Ibid., h. 35. 18 http:www.badilag.netdataARTIKELARTIKEL NASAB ANAK DI LUAR PERKAWINAN.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2013. perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “Itsbat Nikah”. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan dan menetapkan sebagai berikut: 19 a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. b. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. c. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: 1 Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian Perceraian 2 Hilangnya Akta Nikah 3 Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan 4 Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan 5 Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. d. Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah ialah pihak suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam 20 mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut: Pasal 5; 1 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2 Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, jo. Undang- Undang No. 32 tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pasal 6; 21 1 Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, sebaliknya akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang telah ditetapkan. Tetapi untuk pernikahan di bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. 21 Ibid., alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain bukan dalam rangka perceraian hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki akta nikah dari Pejabat yang berwenang. 22 Dalam permohonan itsbat tersebut, sebaiknya status anak dimohonkan pula sebagai anak dalam perkawinan sehingga kelak anak dikemudian hari dapat dikatakan secara hukum sebagai anak kandung. Setelah ada penetapan itsbat nikah dari Pengadilan Agama, dapat mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada Kantor Pencatatan Sipil di wilayahnya. Kelak berdasarkan penetapan itsbat tersebut, Kantor Pencatatan Sipil akan menerbitkan Akta Kelahiran istimewa.

C. Fatwa MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan

Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. 23 22 http:Islamiccenterfordemocracyandhumanrightsempowermwntt.net201015pentingny a itsbat-nikah.html. diakses pada tanggal 27 Agustus 2013. 23 Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008, h. 147. Wawancara deng an KH. Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia yang membidangi masalah fatwa keagamaan, sekaligus mantan Ketua Komisi Fatwa MUI, dilakukan pada 2 Februari 2008 di Kantor Majelis Ulama Indonesia, Masjid Istiqlal Jakarta. Penyebutan dengan istilah Nikah di Bawah Tangan untuk membedakan dengan nikah sirri yang mempunyai konotasi lain. Kalau nikah sirri, dalam pengertian nikah yang dilakukan hanya berdua saja, tidak memakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah. Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma’ruf Amin menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian, “Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga ia berdosa karena mengorbankan isteri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya. Dalam menyikapi masalah pernikahan di bawah tangan, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatifmudlarah saddan li adz- dzari‟ah. 24 Disamping pertimbangan sadd adz- dzari‟ah, pelarangan nikah di bawah tangan didasarkan pada keharusan adanya ketaatan terhadap pemimpin negara ulil amri, sebagaimana firman Allah Swt.:                               “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. QS. an- Nisa „ [4]: 59 24 Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008, h. 148. Di tilik dari aspek keteladanan Nabi Saw., nikah di bawah tangan jelas bertentangan dengan petunjuk dan praktek pernikahan yang dilakukan Nabi dan sahabatnya. Dalam beberapa hadis diterangkan tentang adanya tuntunan untuk mempublikasikan pelaksanaan pernikahan, melalui resepsi walimah, sebagaimana sabda Nabi Saw. ketika mengetahui bahwa salah satu sahabatnya, Abdurrahman ibn „Auf menikah: ملسم اخ لا ا اَش ب َلَ م ل أ َمّلَس َ ه َلَع ه ّلَص ه سَ َ اق “Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor kambing”. HR. al-Bukhari Muslim 25 Pada riwayat lain, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mempublikasikan pernikahan dan membolehkan memainkan alat musik pukul dalam rangka resepsi pernikahan tersebut. Sabdanya: ب ه َلَع ا ب ر ضاَ َحاَكِنلا ا ن ل عأ مرّتلا د حأ مكاحلا ا ِفّدلا “Umumkanlah pernikahan, lakukanlah pernikahan dimasjid dan pukullah duff sejenis alat music pukul”. HR. al-Hakim, Ahmad dan at-Tirmidzi 26 Perintah melakukan publikasi pernikahan dimaksudkan agar orang lain mengetahui sebuah pernikahan, untuk memperjelas status, serta agar tidak memungkinkan terjadinya penyimpangan. Secara yuridis, si stem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “kawin bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah 25 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 – 1987, cetakan ketiga, juz 5, h. 1979, hadis nomor 4858. 26 Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1379, juz 9, h. 226. Pada hadis ini, Ibn Hajar menjelaskan bahwa tambahan perintah memukul duff merupakan riwayat Imam at- Turmudzi dan Ibn Majah dari „Aisyah, namun dianggap sebagai riwayat yang dla‟if, sementara perintah publikasi pernikahan mempunyai derajat shahih. peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang- undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Dampak negatif lain akibat nikah bawah tangan dirasakan pada hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami-isteri pelaku nikah di bawah tangan. Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. 27 Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Dari sisi penggunaan dalil sad adz- dzari‟ah dalam penetapan fatwa nikah di bawah tangan, Ijtima’ Ulama menggunakannya secara eksplisit, menggunakan pendekatan manhaji serta corak ijtihadi int iqa‟i. 28 27 Sebagaimana ketentuan dalam pasal 42 dan pasal 43 UU Nomor 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta pasal 100 Kompilasi Hukum Islam KHI. 28 Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008, h. 149.