Kebijakan Hakim Dalam Menetapkan Perkara

C. Analisis Penulis

Permohonan Itsbat Nikah dengan nomor 0244Pdt.P2012PA.JS. apabila kita kaji dengan seksama, terdapat suatu yang kurang pas dalam penetapan perkara tersebut. Karena memang rukun dan syarat perkawinan telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 14 yang berbunyi: Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1. Calon Suami 2. Calon Isteri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul. Para Pemohon untuk mengajukan istbath nikah karena memang mereka ingin nikahnya tercatatkan di KUA, pernikahan mereka belum tercatatkan karena memang mereka tidak mempunyai akan biaya untuk itu. Pemohon I umur 56 tahun, beragama Islam, Pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan Pemohon II umur 36 tahun, beragama Islam, pekerjaan ibu rumahtangga, tempat tinggal di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Mereka telah dikaruniai 3 tiga orang anak: a. Anak I, lahir pada tanggal 30 September 1998; b. Anak II, lahir pada tanggal 12 September 1999; c. Anak III, lahir pada tanggal 22 September 2003 Apabila kita melihat seperti itu memang sungguh memprihatinkan, karena mereka mempunyai 3 tiga orang anak yang belum mempunyai akta kelahiran yang sah menurut hukum. Karena Pemohon I dan Pemohon II nikahnya belum dicatatkan dan belum mempunyai akte nikah yang sah, sehingga akte lahir anak pun belum dibuat. Oleh karena itu, Pemohon I dan Pemohon II mengajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan berharap untuk dapat disahkan, sehingga nanti akan mempunyai akte nikah yang sah, dan apabila sudah disahkan oleh Pengadilan maka anak merekapun akan mudah dalam mengurus akta lahirnya. Di dalam salinan penetapan perkara No. 0244Pdt.P2012PA.JS. terdapat Posita dan Petita Petitum yang telah diberikan keterangan oleh Para Pemohon dengan yang sebenar-benarnya. Hakimpun seharusnya lebih analisis dan cermat, dalam hal membandingkan hukum-hukum fikih yang ada dan lebih kaya akan literatur-literatur kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer terutama kitab fikih ulama-ulama Mutaqaddimin dan kitab fikih ulama-ulama Muta’akhirin, sehingga dikomulasikan kebijakan yang akan tercipta dari berbagai ilmu-ilmu fikih, khususnya untuk Hakim Pengadilan Agama. Hakim tidak dapat menerima itsbat nikah Para Pemohon, karena beralasan pada pasal 14 mengenai rukun dan syarat perkawinan belum memenuhi syarat sahnya. Sehingga beliau berbeda haluan yang diinginkan Para Pemohon, itulah hasil ijtihad Majelis Hakim. Adapun yang menjadi titik tolak yang menyebabkan tidak diterimanya itsbat nikah Para Pemohon yakni karena kesaksian yang kurang memenuhi syarat dan ijab dan kabul kurang jelas di mata hakim. Majelis Hakim mengacu kepada kitab Qolyubi: “Tidak dapat diterima kesaksian perempuan di dalam masalah jinayah dan juga di dalam perkawinan dan talak.” Penulis tidak setuju dengan Majelis Hakim menetapkan tidak dapat diterima isbath nikah dengan alasan syarat dan rukun nikah belum terpenuhi, yaitu satu saksi laki-laki dan selebihnya perempuan dua perempuan, apabila kita melihat Undang-Undang Ahwal Syakhshiyyah Syria Pasal 12 mengambil pendapat Mazhab Hanafi dalam masalah persaksian, “Dalam sahnya akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang perempuan. Majelis Hakim harus lebih bijaksana dalam menetapkan perkara dan tidak bertitik tolak pada satu mazhab sekaligus melihat maslahahnya. Dalam suatu pernikahan di bawah tangan tidak diisbathkan lagi oleh Pengadilan akan menimbulkan dampak negatif, dan mendatangkan kemadharatan di masa yang akan datang kelak. Karena apabila perkawinan sudah dicatatkan kelak akan mempunyai kekuatan hukum, dan para pihak terlindungi, baik pihak isteri maupun anak, sehingga akan memperoleh hak-haknya di kemudian hari. Perkawinan yang sudah dicatat oleh pegawai pencatat nikah, maka perkawinannya diakui oleh negara. 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Itsbat nikah adalah penetapan oleh Pengadilan atas ikatan atau akad yang membolehkan terjadinya hubungan suami isteri. Perkawinan di bawah tangan seringkali menimbulkan mudharrat terhadap istri danatau anak yang dilahirkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan lain sebagainya. Secara sosial, pasangan suami isteri pelaku nikah bawah tangan cenderung sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai isteri simpanan atau isteri tidak sah. Adapun alasan hakim tidak menerima Itsbat Nikah para pemohon yaitu karena kesaksian yang kurang memenuhi syarat dan Ijab Kabul kurang jelas di mata hakim. Majelis Hakim mengacu kepada Kitab Qolyubi, isinya adalah sebagai berikut: “Tidak dapat diterima kesaksian perempuan di dalam masalah jina yah dan juga di dalam perkawinan dan talak”. Sehingga di kemudian hari apabila Majelis Hakim tidak menerima permohonan itsbat nikah para pemohon, maka akan menimbulkan dampak negatif mudlarah terhadap isteri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak- hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.