Tidak Ada Kesaksian Kecuali dengan Pengetahuan
memperbolehkannya. Andai aku hadir ketika itu, tentu aku akan merajam para pelakunya.”
43
Menurut Tirmidzi, hal ini diterapkan dengan baik oleh para ulama dari kalangan para sahabat Nabi saw. dan dilanjutkan oleh para tabi’in dan ulama yang
datang setelah mereka. Mereka mengatakan, “Suatu pernikahan tidak sah, kecuali dihadiri oleh
para saksi.”
44
Belum ada pihak yang membantah pendapat di atas, kecuali salah satu golongan dari ulama
muta‟akhirin.
45
d. Kesaksian berhubungan dengan hak pihak lain yang tidak turut melaksanakan
akad, yaitu anak-anak. Karena itu keasksian disyaratkan di dalam sebuah pernikahan agar kelak sang Ayah suami tidak mengingkari keberadaan
keturunannya sehingga anak-anak tidak kehilangan nasab mereka. Sebagian ulama berpendapat bahwa pernikahan tanpa kehadiran para saksi
dianggap sebagai pernikahan yang sah secara hukum. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah ulama dari Mazhab Syi’ah. Selain itu,
Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ibnu Mundzir, dan Dawud juga menganut pendapat yang sama. Pernikahan seperti ini telah dipraktikkan oleh
43
Diriwayatkan oleh Malik di dalam
Muwatha‟ Malik, Kitab an-Nikah, Bab Jami Ma La Yajuzu min an-Nikah, jilid II, h. 535, hadits nomor 26. Hadis ini dan dua hadis sebelumnya
termasuk hadits dhaif, tapi masing-masing hadis itu saling menguatkan antara satu dan yang lain.
44
Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Sunan Tirmidzi, Kitab an- Nikah, Bab Ma Ja‟a La
Nikaha illa bi-Bayyinah, jilid III, h. 403, hadits nomor 1104.
45
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2010, Cet. II, h. 273.
Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Begitu pula, diriwayatkan bahwa Hasan bin Ali menikah tanpa kehadiran saksi. Kemudian, ia mengumumkan pernikahan itu.
46
Ibnu Mundzir mengatakan, “Tidak ada hadits yang menetapkan syarat kehadiran dua orang saksi di dalam pernikahan.”
Yazid bin Harun berkata, “Allah Swt. memerintahkan umat-Nya untuk
menghadirkan saksi di dalam praktik jual beli dan tidak memerintahkan untuk menghadirkan saksi di dalam pernikahan. Para ulama rasionalis mensyaratkan
kesaksian di dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya di dala m jual beli.”
Ketika sebuah akad pernikahan terlaksana, tapi kemudian dirahasiakan, dan para saksi diminta untuk menyembunyikannya, maka akad itu tetap sah,
meskipun dianggap makruh karena melanggar perintah diumumkannya suatu pernikahan. Ini merupakan
pendapat Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Mundzir. Sementara itu, ulama yang menganggap bahwa pernikahan itu sebagai pernikahan
yang makruh adalah Umar, Urwah, Sya’bi, dan Nafi’. Menurut Imam Malik, pernikahan itu harus difasakh dibatalkan.
47
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Kemudian
kedua mempelai meminta para saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka. Imam Malik berkata, “Keduanya harus dipisahkan dengan talak satu dan mereka
tidak boleh melakukan hubungan suami-isteri. Apabila keduanya telah melakukan hubungan itu, maka sang istri berhak secara penuh atas mahar yang diterimanya
dan kedua orang saksi itu tidak dipersalahkan atau dihukum.”
46
Ibid., h. 273.
47
Ibid., h. 273.