BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa
Kajian mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para ahli atau Sinolog. Masalahnya karena masyarakat Tionghoa di
negeri kita maupun di negara-negara Asia Tenggara lainnya, dipandang sebagai warga pendatang atau perantau yang dikenal dengan istilah: ‘Huakiau’, ‘Tionghoa
Perantau’ atau ‘Perantau Tionghoa’ dalam bahasa Inggerisnya ‘Overseas Chinese’. Umumnya karya-karya tulis mengenai orang-orang Tionghoa ini erat berkaitkan
dengan cara pandang, selera, maupun motivasi yang ingin disampaikan oleh penulisnya sendiri. Masing-masing para ahli atau penulis dalam mengkaji kehidupan
warga keturunan Tionghoa ini mempunyai penekanan yang mungkin bisa saling berbeda. Namun demikian, hampir semua para ahli melihatnya dari kaca mata
cakupan kehidupan nasional keindonesiaan, tidak hanya menyangkut masalah ‘Rukun Rumah Tangga’ di dalam negeri, tetapi juga menyangkut ‘Rukun Tetangga’ yang
berhubungan dengan keberadaan Indonesia di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya Wangania, 1976: 41-56.
Kalau kita perhatikan dengan cara menganalisis isi dari berbagai tulisan kepustakaan mengenai deskripsi kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
pengungkapan yang telah dibuat oleh para ahli dapat dikelompokan menjadi tiga tipologi.
Pertama, para ahli yang berupaya mengkaji keberadaan orang-orang
Tionghoa dengan mengkaitkannya terhadap kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan dimaksud adalah produk berupa Undang-undang, kebijaksanaan
berupa hukum, peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan mengenai keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia.
Tipologi kedua, adalah para ahli yang berupaya mengkaji keberadaan warga
masyarakat Tionghoa di tengah-tengah kehidupan warga masyarakat lainnya yang bukan-Tionghoa. Peneliti atau penulis dalam hal ini, melihatnya dengan perspektif
keterkaitan hubungan atau interaksinya antara masyarakat Tionghoa dengan
masyarakat lain, yang diakibatkan oleh dampak tipologi pertama. Diantaranya ada
ahli atau penulis yang berupaya mengkaji mengenai masalah asimilasi, integrasi, stereotype, bahkan konflik sosial yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan
warga etnis lainnya yang bukan-Tionghoa. Ada pula ahli atau peneliti yang berupaya melakukan studi komparatif mengenai kemampuan kehidupan sosial-ekonomi yang
dimiliki antara warga Tionghoa dan warga yang bukan-Tionghoa. Hasil penelitian
maupun tulisan yang berkaitan dengan tipologi kedua ini ternyata sangat banyak
dilakukan orang, lebih-lebih dimasa pemerintahan Orde Baru. Hal ini mereka lakukan karena sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam usahanya untuk
membina kerukunan hidup antar golongan, Warga Negara Indonesia Asli dan Warga
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Negara Indonesia keturunan Asing, terutama etni Tionghoa Indonesia, dengan tujuan agar terciptanya stabilitas nasional.
Ada kalanya kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak pemerintah tersebut, tidak hanya dapat memberikan pengaruh hubungan atau interaksi sosial, antara warga etnis
Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Namun bisa jadi, kebijaksanaan pemerintah tersebut sengaja diproduk sedemikian rupa, sering kali di dalamnya tersirat demi
kepentingan warga pribumi. Sebagaimana disinyalir dalam tulisan oleh Parsudi Suparlan http:www.scripps.ohiou.edunewscmddartikel_ps2.htm
: “…bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap
orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional
dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. ”
Sedangkan tipologi ketiga, adalah tulisan-tulisan para ahli atau peneliti yang
berupaya mendeskripsikan keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam bentuk etnografis dengan tanpa mengkaitkannya dengan perspektif tipologi yang
pertama maupun yang kedua. Ada kalanya tulisan-tulisan yang bersifat etnografis
tersebut cakupannya bersifat lebih umum, dalam konteks keindonesiaan, atau dapat juga bersifat parsial, hanya mencakup salah satu unsur budaya yang dimiliki etnis
Tionghoa tersebut. Oleh karena itu, ada peneliti yang hanya menyoroti segi-segi kehidupan religi saja, atau sistem kekerabatannya saja atau lebih khusus lagi
mengenai sistem istilah kekerabatannya saja. Ada juga peneliti yang hanya melihat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
sistem keseniannya saja, atau sistem perekonomiannya saja. Namun pada umumnya,
tulisan-tulisan yang termasuk dalam tipologi ketiga ini, belum banyak upaya yang
melakukan suatu kajian komparatif antara kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia pada suatu daerah tertentu, dengan membandingkannya orang-orang
Tionghoa yang hidup dan berada di daerah Indonesia lainnya, kecuali tulisan J.L.Vleming Jr. 1989. Vleming berupaya melakukan perbandingan tentang
kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa di pelbagai daerah di Indonesia pada masa kolonial Belanda.
Mengapa para ahli atau peneliti cenderung mengungkapkan jenis kajiannya
jenis tipologi yang pertama dan kedua bukan yang ketiga. Mungkin para ahli masih menganggap masalah tipologi pertama maupun yang kedua dipandang lebih penting
atau mendesak dan merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan secara mendasar, sehingga banyak mengundang perhatian dan prioritas untuk mengkajinya.
2. 2. Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan