3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau

pertunjukan. Kemudian pada masa pemerintahan presiden Megawati pada tahun 2002 perayaan Imlek diakui oleh negara sebagai hari libur nasional Budhiyanto, 2004. Sebagai kesimpulan sementara, ternyata kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak- pihak penguasa pemerintahan, sejak zaman kolonial Belanda, mungkin juga hingga pemerintahan saat ini, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Tionghoa pada umumnya, termasuk mereka yang berada di Medan. Pengaruh tersebut dapat sebagai peluang ataupun sebaliknya dapat menjadi penekan. Namun faktor penekan ini adalah daya energi yang dapat berubah menjadi pendorong pula dikalangan masyarakat Tionghoa dalam kehidupan berbisnis.

2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau

Perbandingannya Dengan Warga Masyarakat Setempat. Dampak dari kebijaksanaan pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga pada masa pemerintahan Orde Baru telah pula memberikan pengaruh terhadap keberadaan orang-orang Tionghoa di daerah-daerah tertentu, termasuk warga masyarakat yang tinggal di kota Medan. Kenyataan semacam itu memberi inspirasi kepada peneliti-peneliti lain untuk mengkaji hubungan atau interaksi sosial antara warga Tionghoa di Medan, dengan warga setempat yang bukan Tionghoa. Diantaranya seperti yang terdapat dalam tulisan: Chalida Fachruddin, Penanggulangan Masalah Cina di Kotamadya Medan dan daerah Sekitarnya, Suatu tinjauan historis tentang masalah yang dihadapi dalam menanggulangi dominasi Cina terhadap kehidupan masyarakat Indonesia Skripsi, 1975, yang menyatakan Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. bahwa pembangunan sosial ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya menghadapi rintangan disebabkan oleh monopoli warga masyarakat Tionghoa itu sendiri dalam sektor-sektor penting dalam perdagangan dan perekonomian. Hal ini dilatar belakangi pada kenyataan historis dari kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak zaman Belanda sebagai peletak dasarnya. Mereka membuat kantong- kantong pemukiman yang khusus di daerah perkotaan, sehingga menyebabkan warga Tionghoa dapat mempertahankan kehidupan yang eksklusif. Tradisi semacam itu terus dapat bertahan karena didukung pula dengan cara hidup yang berkelompok- kelompok. Cara menanggulangi kehidupan sosio-ekonomi Tionghoa yang merintangi perkembangan sosio-ekonomi masyarakat pribumi di Indonesia dibutuhkan campur tangan pihak pemerintah yang berkuasa, agar memberikan dukungan berupa bimbingan, pengarahan, serta kemudaha-kemudahan kepada warga pribumi 1975:8. Pada tahun 1986 Usman Pelly pernah melakukan penelitian mengenai asimilasi dikalangan pelajar pada tingkat SMP dan SMA yang terdapat di kota Medan. Hal itu dilakukannya pada sekolah yang dianggap merupakan tempat pembauran, yakni: Perguruan Sutomo, Perguruan Budi Murni, Perguruan Methodis, Perguruan Kalam Kudus, dan Perguruan Amir Hamzah. Setiap perguruan ditetapkan 50 orang murid SMP dan 50 orang murid SMA yang duduk di kelas III. Dalam hal ini Usman Pelly menggunakan tujuh variabel yaitu: budaya, struktural, amalgamasi, identifikasi, sikap, perilaku, dan civics. Tujuan dalam peneltian tersebut untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat keberhasilan asimilasi di bidang pendidikan. Hasil dari penelitian itu dikatakan bahwa tingkat keberhasilan asimilasi mengalami kemajuan Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. dibidang pendidikan. Namun di masing-masing perguruan saling bervariasi tingkat asimilasinya jika dilihat dari ketujuh variabel tersebut Pelly, 1986. Subanindyo Hadiluwih juga pernah melakukan kajian di kota Medan mengenai stereotype orang-orang Tionghoa terhadap dirinya sendiri, dan penilaian warga masyarakat lain Jawa, Melayu, Batak, Mandailing, Karo, Minangkabau, dan Aceh terhadap orang-orang Tionghoa. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui sifat-sifat negatif dan positif mengenai perilaku kehidupan warga Tionghoa maupun yang bukan warga Tionghoa. 15 Hasil dari kajian tersebut telah membuktikan bahwa masih terdapat sikap yang salah, berupa kecurigaan, kecemburuan serta sikap ekslusif baik dari pihak warga Tionghoa sendiri maupun yang berasal dari warga masyarakat lainnya. Masyarakat Tionghoa di Medan masih belum mampu untuk merasa menjadikan orang Indonesia sebagai in-group-nya. Mereka belum dapat merasakan bahwa sesungguhnya yang bernama bangsa Indonesia termasuk adalah diri mereka sendiri. Sebaliknya, dikalangan pribumi juga tidak pernah berhasil menganggap bahwa sesungguhnya warga Tionghoa itu sudah menjadi warga negara Indonesia dan merupakan in-group-nya juga. Hal ini karena tidak adanya sikap terbuka dari kedua belah pihak Hadiluwih, 1994:248-249. Sebuah tesis S2 yang berupaya mengkaji kehidupan etnis Tionghoa khususnya di derah Sumatera Timur dengan pendekatan sejarah dibuat oleh Azhar Djohan 15 Yang termasuk nilai positif seperti: kerja kerasulet, rajin, ramah, jujur, hemat, disiplin, berani ambil resiko, menghargai waktu, teliti, dan serius; yang bernilai negative seperti: santai, malas, ketus, curang, boros, tidak tepat janji, takut resiko, ceroboh, ingin cepat untung, suka ngompas, suka menyuap, cari yang mudah Subanindyo Hadiluwih, 1994:217. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. dengan judul: ‘Imigran Cina Di Sumatera Timur, Pada Pertengahan Abad ke 19 Sampai Perempatan Awal Abad ke 20 Suatu Studi Perkembangan Ekonomi Mereka dan Pengaruhnya Bagi Orang Melayu’, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981. Peneliti dengan menggunakan metode pendekatan sejarah, berupaya mengkaji selain pengaruh faktor kebijaksanaan politik kolonial Belanda yang telah memberi peluang meningkatnya kehidupan sosial-ekonomi bagi masyarakat Tionghoa juga berupaya mengkaji faktor-faktor lainnya, seperti: potensi yang dipunyai oleh orang-orang Melayu sebagai penduduk setempat maupun kondisi sosio-kultural yang dimiliki oleh warga Tionghoa sendiri. Dalam pembahasannya memang punulis tidak menyangkal, bahwa kebijaksanaan politik kolonial Belanda telah memberi peluang bagi para warga pendatang seperti orang Batak termasuk juga orang-orang Tionghoa yang datang ke Sumatera Timur. Orang Melayu sebagai penduduk setempat tidak memiliki kemampuan untuk berdagang. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi sosio-kulturalnya, sehingga mereka lebih tertarik pada kegiatan pertanian dan nelayan. Pekerjaan sebagai pedagang dianggap merupakan pekerjaan kelompok bangsawan dan kaum aristokrat atau golongan orang kaya saja. Kondisi semacam ini telah menjadikan peluang pula bagi para pedagang etnis Tionghoa yang datang kemudian. 16 Faktor lain yang juga cukup menentukan kesuksesan orang-orang Tionghoa di Sumatera Timur adalah kegigihan dan ketekunan kerja serta sistem kekerabatan dan filasafat hidup masyarakat Tionghoa itu sendiri Djohan, 1981. 16 faktor itu adalah merupakan respons di mana masyarakat Tionghoa itu berada, yang penduduk pribuminya sendiri tidak gigih melakukan kegiatan disektor perdagangan Tan, 1996. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Sentosa Tarigan dkk pada tahun1992, dengan judul: Integrasi Masyarakat Etnik Cina di Kotamadya Medan Studi Kasus di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat, dengan lokasi yang lebih kecil, tingkat kelurahan, ternyata juga menyatakan bahwa konstelasi politik kolonial Belanda telah mengakibatkan sulitnya integrasi masyarakat golongan etnis Tionghoa ke dalam kesatuan bangsa Indonesia, sehingga tidak terjadi satu kesatuan yang harmonis. Kasus di kelurahan Petisah Tengah ini menunjukan bahwa warga masyarakat Tionghoa masih bersikap eksklusif dan kurang mau bergaul dengan masyarakat etnis lainnya.. Untuk mengupayakan pengintegrasian dari etnis Tionghoa ini, disaran agar mereka benar-benar sadar dan mau mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Indonesia Tarigan, dkk., 1992. Menurut hasil penelitian dengan menggunakan data yang berasal dari Departemen Perdagangan Sumatera Utara dan dinas-dinas lainnya serta interviu terhadap 200 pedagang yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith di Medan, pada tahun 1976, menjelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8 dari jumlah penduduk di kota Medan, namun mereka dapat menguasai 58 sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84 dari jumlah penduduk di kota Medan, namun hanya 40 saja yang mau bergerak di sektor ekonomi Jasin, 1978: 165-173. Termasuk juga dalam tipologi kedua ini adalah hasil kajian berupa sebuah disertasi S3 yang dilakukan oleh Suwardi Lubis. Gambaran uraian ringkasnya merupakan tulisan artikel yang telah dimuat dalam: Wawasan, Jurnal Ilmu-ilmu, Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. halaman 61-80; diterbitkan atas kerjasamaYayasan Bina Mitra Wawasan dengan FISIP-USU Medan, Vol.8 No.1, 2001. Inti dari disertasi tersebut menyatakan bahwa kota Medan penduduknya memiliki keanekaragaman etnis dan budaya dan merupakan masyarakat yang sedang berkembang. Pada dasarnya belum merupakan suatu kesatuan, karena itu integrasi sosial merupakan masalah pokok yang sering menjadi perhatian. Untuk mewujudkan suatu integrasi sosial, dengan menggunakan pendekatan komunikasi antarbudaya dapat memberikan landasan pemahaman dan kesadaran etnik menuju integrasi sosial. Dengan kata lain integrasi sosial tersebut tidak menghilangkan rasa identitas sosial masing-masing etnis maupun budayanya. Sebagai bentuknya merupakan suatu proses adanya saling keseimbangan pada masing-masing kelompok sosial tertentu guna mewujudkan kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan lain-lain. Metode penelitian yang dilakukan dengan melaksanakan survei. Pengumpulan data menggunakan sample, dengan pengujian hipotesis: analisa jalur dan korelasi serta uji coba. Populasinya adalah warga etnik Batak dan etnik Tionghoa. Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh jawaban bahwa integrasi sosial antar etnik di kota Medan masih diwarnai adanya unsur-unsur prasangka sosial, stereotipe, dan adanya jarak sosial. Setiap etnik tetap mempertahankan norma dan nilai etniknya, tetapi secara terbuka juga mau menerima norma dan nilai positif dari etnik lainnya. Peranan etnik memang tidak menonjol namun yang menonjol adalah “rasa aku” yang menganggap superior dari “rasa kau” yang lain Lubis, 2001. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Kajian-kajian ataupun tulisan-tulisan berupa biografi mengenai tokoh-tokoh yang berasal dari etnis Tionghoa juga masih termasuk dalam tipologi kedua. Logikanya karena hal itu dilakukan oleh para penulis dengan tujuan untuk menunjukan atau membuktikan bahwa tokoh tersebut telah berjasa dan sangat peduli untuk berintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tulisan- tulisan biografi mengenai salah seorang tokoh yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa ini kebanyakan berbentuk artikel yang termuat dalam majalah ataupun koran. Kecuali biografi terdapat juga sebuah buku otobiografi menganai kenang- kenangan akan kejayaan, keunikan dan kehidupan budaya di Medan pada masa lampau. Otobiografi tersebut ditulis oleh puteri kandung Tjong A Fie Chang Hung- nan, yaitu Queeny Chang. Sedangkan Tjong A Fie sendiri dikenal sebagai tokoh Tionghoa yang pernah menjadi Kapitan dan sangat berpengaruh di kota Medan pada zaman kolonial Belanda. Judul otobiografi tersebut adalah Memories of Nonya, diterbitkan oleh Eastern Universities Press ASD.BHD, Singapura, 1981 dan telah dicetak ulang pada tahun 1982 dan 1984. Dalam buku tersebut memberi gambaran mengenai kehidupan keluarga Tjong A Fie yang termasuk keluarga elite pada masa zaman kolonial di Medan. Otobiografi tersebut ditulis untuk menunjukan kekaguman penulis terhadap ayahnya pada masa lampu yang dirasakan tidak mungkin terulang kembali pada saat ini. Ada suatu hal yang cukup menarik terutama menganai hubungan dan interaksi sosial di antara kelompok-kelompok ras yang berbeda terdapat di kota Medan pada masa zaman kolonial. Menurut penulis hbungan sosial Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. ketika itu bersifat cukup fleksibel terutama di kalangan elite. Terdapat kesan tidak adanya pemisahan yang jelas di antara berbedanya ras, antara elite Tionghoa dan elite Belanda. Mereka saling mengunjungi dan bergaul secara sosial maupun di tempat- tempat pesta juga mereka sering bertemu Chang, 1984. Sebagai kesimpulan sementara, hubungan antara warga masyarakat Tionghoa dengan warga lainnya seakan-akan belum begitu harmonis sesacara sosial. Orang- orang Tionghoa sejak dahulu bergaul secara sosial hanya dengan kalangan warga elite saja, terutama pada mereka yang memiliki wewenang atau kekuasaan.

2. 4. Tulisan Bersifat Etnografis Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa di