1. 2. b. Hokie Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan

dihormati oleh seluruh keluarganya. Dengan perubahan dan perkembangan masa kini istilah tsu-kung berubah juga menjadi ‘cukong’Handoko, 1996:54.

4. 1. 2. b. Hokie

Pengertian ini masih ada kaitannya dengan feng shui hong shui. Kalau feng shui hong shui merupakan peta strategi peruntungan dan nasib. Konsepsi hokie lebih mengarah pada pengertian upaya atau sikap dalam menentukan strategi menyiasati nasib agar selalu memperoleh nasib yang baik. Kalau dengan feng shui seseorang bersikap pasif atau fatalistik. Dengan hokie, seseorang lebih bersikap aktif untuk mendapat keberuntungannya. Namun dalam hal ini, keberuntungan pada hokie tidaklah hanya dipahami dengan kepemilikan banyak uang, tetapi memiliki makna yang lebih luas lagi. Termasuk keberuntungan terhadap hal-hal lain dalam kehidupan ini dapat dilakukan. Untuk menentukan sikap ini biasanya mereka melakukan konsultasi dengan para ahli feng shui. Kalau di daerah Singkawang, Kalimantan Barat, para ahli feng shui disebut ‘lauya’. 33 Di Medan, dikenal sebagai ‘tang ki’. 34 Baik lauya maupun tang ki biasanya bertugas di klenteng-klenteng. Mereka berfungsi sebagai juru kunci atau penjaga kelenteng dan sekaligus dapat menjadi mediator yang menghubungkan antara dunia gaib dan dunia nyata, antara manusia dengan makhluk supra alami. 33 Majalah Tempo, 24 mei 1986: 45. 34 Agustrisno, 1985 Skripsi; atau Agustrisno dalam: Etnovisi, Medan, LPM-ANTROP, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Vol.I.No.1.,Juni 2005. ‘Tang’ artinya kesurupan, dan ‘ki’ artinya badan. Seorang tang-ki berfungsi sebagai mediator yang badannya dapat dimasuki oleh makhluk supra alami. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Sebagaimana yang diungkapan oleh Go To Yhen: “Kalau usaha mau sukses, kita harus melakukan permalan terlebih dahulu. Terserah percaya atau tidak, hal itu hanya untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan usaha kita. Baik itu hasilnya cerah atau tidak. Dan saya rasa banyak pengusaha atau pebisnis mencari tau tempat atau wilayah yang sesuai dengan kesuksesan dalam berdagang atau bisnis.” Demikian pula ungkapan Yenti: Hio itu berupa sesembahan kepada arwah keluarga untuk bermohon kepada Tuhan di lapangkan rezeki, diberi kesehatan. Dan berguna untuk usaha. Seperti kalau kita bermohon kepada Tuhan. Jadi kalau orang Tionghoa tanggal 1 dan tanggal 15 maka disanalah kami harus ke vihara untuk bermohon pada arwah. Kemudian ada sedikit ramalan kita yang berkaitan dengan shio. Juga digunakan dalam meramal usaha. Shio ini dilambangkan dalam jenis-jenis binatang atau hewan yang bisa diartikan kepribadian dan kelamatan hidup seseorang dalam menjalani hidupnya. Shio ini selain meramal suatu usaha juga meramal tentang perjodohan dalam keluarga, kesehatan, dan nasib seseorang yang semuanya berkaitan, dan ini sering digunakan dengan mencocokkan shionya terutama anak-anak muda dalam menentukan perjodohan mereka. Dalam shionya jadi biasanya yang meramalkan ini adalah seorang suhu peramal. Suhu ini biasanya orang yang pandai dan tidak sembarangan danbenar-benar mengerti dengan hal ini. Jadi kita mengetahui semuanya itu nanti apabila kita mendatangi suku tersebut dengan maksud yang baik. Dari sanalah kita bisa mendapatkan informasi sebenarnya apa yang kita inginkan. Suhu ini biasanya seperti tabib juga bisa menyembuhkan, namun dia masih seperti berpikiran seperti manusia biasa.” Melalui suhu, lauya atau tang ki inilah biasanya mereka meminta petunjuk hokie. Adakalanya jenis hokie selain petunjuk-petunjuk juga berupa benda-benda jimat yang berbentuk kertas merang yang bertuliskan aksara Cina. Untuk dagang disebut patka, sedangkan untuk penangkal segala penyakit disebut phu. Di Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Kalimantan Barat toko-toko Tionghoa rata-rata memasang patkwa ini di atas pintu rumahnya Tempo, 1986:48. Hasil penelitian sebelumnya, yang juga pernah dilakukan penulis, diantara warga masyarakat Tionghoa Medan ada yang menggunakan hal-hal yang bersifat supra-natural. Misalnya mereka meminta bantuan kepada makhluk, yang mereka namai “Datuk” untuk keberhasilan usahanya Agustrisno, 1985: 108: “kita piara Datuk…, dulu orang tua kasih tau sama kita, Datuk kita sembahyangi, supaya jaga ternak, tidak kena penyakit, kita punya tanaman sayur, bias subur, karena kasih Datuk jaga.” Mak A Liong. “Datuk orang Islam, Datuk orang Indonesia. Pe’ Kong orang Budha. Datuk mau dihormati. Tidak makan babi, tidak mau kotor. Sama Datuk bias minta murah rezeki, minta selamat, minta keuntungan, minta lancar dagang. Karena Datuk kasih rezeki, jadi harus dihormati, rumah harus bersih, dijaga. Kalau kita senang, jadi kita harus ingat sama Datuk. Kita pesta, makan besar, Datuk pun harus ikut pesta juga.” Suwandi. “Waktu saya belum dapat kerja, kalau sembahyang sama Datuk, minta supaya mendapat toke yang baik. Minta supaya orang- orang kasihan sama kita.” A Guan. “Macam dia, majikan, mempunyai dua puluh orang karyawannya. Sebelum datang karyawan itu, sudah sedia Datuk, untuk keselamatan.” Cheng Lai. “…yang setiap hari Kamis banyak orang sembahyang Datuk itu, itu dibilang Datuk Darah Putih, ya. Yang tempatnya di Soekamoelia…aaa…itu. Kenapa banyak orang semua ke sana, Itu dia minta. Orang-orang dagang, minta sama dia keselamatan. Akhirnya maju…Kan bias maju, nampakkan. Setiap hari Kamis dia pegi ke situ. Jadi ramai.” A Thu. “Aku kan kerja situ, pabrik sepatu, asal sebulan sekali, sembahyang kambing, potong kambing. Terus nanti ada orang yang kemasukan.” A Heng. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.

4. 2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat