1. Pengalaman KulturBudaya Warga Tionghoa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Pengalaman KulturBudaya Warga Tionghoa

Berbagai sumber banyak menyatakan bahwa masyarakat etnis Tionghoa memiliki kekhasan dan keunikan budaya. Mereka dapat mengkombinasikan berbagai ajran filosofis ataupun kepercayaan religi yang sekaligus berubah menjadi kemasan yang baru, sehingga menjadi suatu ajaran atau kepercayaan yang khas dan unik. Dalam kehidupan religius, masyarakat Tionghoa di Medan mengenal sinkretisme. Mereka menganut lebih dari satu kepercayaan sinkretisme, seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau San Chiao Wei Yi ketiga agama adalah satu. 19 Ajaran Konfusius, Budhisme, dan Taoisme, banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang-orang Tionghoa Husodo, 1985:56. Disamping itu mereka tetap juga mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, kepercayaan yang semacam itu dikenal dengan kepercayaan shenisme. 20 Kepercayaan shenisme sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Kepercayaan ini tidak memiliki kitab-kitab dan “tidak banyak dibicarakan orang”. 21 Merupakan kepercayaan yang dianggap 19 Hadiluwih, 1994: 207-208. 20 Cheu Hock-Tong, 1982-83:203, Bloomfield, 1986:39, Gondomono, 1995:91. 21 Gondomono, 1995:92. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. masih begitu “rahasia” dan jarang diungkapkan atau dijelaskan oleh orang Tionghoa sendiri, apalagi oleh orang luar non-Tionghoa dan dianggap sebagai tradisi “Hsien” bersifat abadi di dalam kehidupan orang Tionghoa. 22 Diantara makhluk gaib yang dianggap penting adalah makhluk gaib “tokoh bersifat lokal”. 23 Makhluk gaib ini dianggap penting karena sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. 24 Bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan maupun di semenanjung Malaysia makhluk tokoh lokal ini dikenal dengan sebutan “Datuk-Kong” karena identik dengan tokoh lokal setempat. 25 Di Jawa, lebih dikenal dengan sebutan “Mbah” atau “Kiayi”. 26 Sedangkan bagi masyarakat Tionghoa di Taiwan menyebutnya dengan “Bo-Gong” untuk jenis yang laki-laki dan yang perempuan dinamai “Bo Po”. Di Hongkong baik laki-laki maupun perempuan lebih di kenal dengan nama “Tu Di” .27 Orang Tionghoa di Medan, dapat membuat kombinasi sinkretisasi, selain mempercayai adanya “Pe’ Kong” mereka juga percaya pada “Datuk Kong”. Walaupun ”Datuk Kong” makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal yang dianggap Muslim, sedangkan “Pe’ Kong” mempunyai ciri kepribadian khas ketionghoaan atau Konfusianis, namun keduanya dianggap dapat diharmonikan dalam sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi khas dan unik dalam sistem kepercayaan mereka. 22 Bloomfield, 1986:43. 23 Onghokham, 1995: 145. 24 Bloomfield, 1986:36. 25 Agustrisno, 1995; Tan Chee-Beng, 1981; Cheu Hock-Tong, 1982-83: 36. 26 Nio Joe-Lan, 1961: 70; Salmon Denys Lombard, 1985: 76. 27 Bloomfield, 1986:37-38. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Sinkretisasi diartikan sebagai upaya untuk mengolah, menyatukan, mengkombinasikan dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan. Sehingga terbentuklah suatu sistem prinsip yang baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. Akibatnya timbul dan jadilah suatu kerangka penafsiran baru yang lebih komprehensif khas dan unik. Hal ini terjadi pada fenomena kepercayaan mereka, dan berkaitan erat sekali dengan ajaran-ajaran atau pemikiran-pemikiran yang bersifat filsafati. Manifestasinya dapat diketahui melalui bahasa maupun perilaku gerak tubuh kehidupan sehari-hari penganutnya. Proses sinkretisasi berjalan secara perlahan tetapi pasti, dan pada umumnya tidak diketahui atau disadari lagi oleh pelakunya. Sebab, proses ini lebih banyak dilakukan oleh mereka yang belum tergolong sebagai pemikir atau tokoh dalam masyarakat tersebut. 28 Kasus seni meng-sinkretisasi-kan semacam itu adalah upaya ekspresi yang dilandasi oleh latar belakang nilai filosofis kulturalnya, yakni kerangka berpikir filosofis yin-yang. Sebab nilai-nilai filosofis yin-yang, memiliki daya kemampuan untuk melakukan perubahan, dengan pola dinamika-akumulasi semacam sinkretisme. Kombinasi semacam itu bertujuan dalam rangka menuju suatu “keseimbangan” dan “harmoni”, terhadap dua nilai atau lebih yang saling berbeda dan bertentangan, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Menurut J.C. Cooper nilai yin maupun nilai yang dalam filosofis yin-yang dapat berkembang lagi menjadi nilai yin-minor dan 28 Islam Jawa dan Jawa Islam, SinkretisasiAgama Jawa, makalah oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, Balai Kajian Nilai Tradisional, Yogyakarta, 9 Nov.1995. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. nilai yang-mayor bagaikan deret ukur berkelipatan dua. 29 Atau yin-yang dalam keadaan berpermutasi menjadi “citra”. 30 Pada hakekatnya, pembauran agama, filsafat, etika, tata susila, adat-istiadat bagi mereka adalah untuk dapat mampu mengantisipasi setiap perubahan zaman Zhong, 1996: 13. Nilai filosofis yang terdapat di dalam budaya Tionghoa mengajarkan manusia agar menyatukan dirinya dengan realitas, dari sana manusia berusaha merefleksikan inti dirinya dan inti realitasnya. Penguasaan diri adalah usaha untuk penemuan diri, hal ini dapat memberikan keselamatan, mengatasi derita dan duka. Penawarannya tidak disajikan secara memaksa, tetapi disajikan dengan cara kemasan seluruh kebebasan manusia agar terjalin keseimbangan dan harmoni wu-wei dengan segala sesuatu. Dalam hal ini, yang terpenting adalah mengarah pada keseimbangan dan harmoni mengikuti irama perubahan yang ada, bukan menentangnya Cooper, 1981:41. Ajaran-ajaran filosofis ataupun tradisi adalah gumpalan pengalaman hidup yang pernah dirasakan oleh orang-orang tua generasi sebelumnya, hal tersebut dapat terlahir kembali, dan berkembang dalam proses perjuangan yang timbul dihadapan kehidupan masa kini sebagai realitas benda-benda, dunia, masyarakat, dan diri. Pengalaman tersebut disimbolisasikan atau dikonkretisasikan menjadi gambaran peristiwa, menjadi hukum-hukum yang abstrak lagi umum. Harmoni dan keseimbangan adalah merupakan tujuan, sebuah cita-cita hidup yang terdapat dalam 29 J.C. Cooper, 1981:33-56. 30 Murata, 1996:29. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. gumpalan pengalaman kehidupan itu sendiri. Sudah menjadi suatu hukum yang bersifat abstrak. Secara tidak disadari, akibat proses enkulturasi, sosialisasi, dan ter- internalisasi manjadi suatu ajaran, dan hal tersebut tersembunyi di dalam budaya, lebih khusus pada sistem pengetahuan orang-orang Tionghoa di Medan. Filsafat Yin-Yang merupakan salah satu mazhab filsafat Cina yang telah berusia selama berabad-abad. Aliran Yin-Yang Yin-Yang chia, berasalah dari kehidupan budaya Cina kuno. Namun hingga saat ini, belum diketahui dengan pasti siapa pelopornya dan sejak kapan diperkenal Lasiyo, 1992:64; 1993:36. Menurut berbagai ahli, asal mulanya dikembangkan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dalam istana pada zaman dahulu di negeri Cina, yaitu di zaman Dinasti Zhou di antara tahun 1000-250 sebelum Masehi Tan Xiaochum, 1996:xiii; Cooper, 1981:7. Orang-orang yang berkedudukan penting di istana ini adalah para ahli ilmu gaib atau dikenal sebagai fang-shih Fung Yu-Lan, 1953:8; 1990:171, juga para ahli nujum dan ilmu perbintangan Lasiyo, 1993:36. Di istana tugas mereka adalah pemberi nasehat kepada sang raja ketika masa perang, atau untuk menentukan hari perkawinan dan pelangsungan takhta Tan Xiaochum, 1996:xiii. Ajaran filsafa Yin- Yang banyak termuat di dalam kitab tentang perubahan atau I Ching Cooper, 1981:56. Sebagai contoh isi kitab I Ching yang diungkapkan kembali oleh Tan Xiaochum 1996, adalah sebagai berikut: “Yin dan Yang bukan sekedar keadaan yang berlawanan tetapi dapat saling melengkapi dalam alam…Ini disebut persatuan dari yang berlawanan hlm.27. Jika sesuatu dijaga dalam ikatan yang sesuai dan keseimbangan Yin dan Yang dipelihara, maka mereka akan Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. bertahan. Jika Yin dan Yang seimbang, ini disebut ‘jalan tengah’ hlm.33. Hanya bila seseorang berada di tengah ia dapat bergerak dengan bebas ke arah manapun hl.40”. Fung Yu-Lan dalam bukunya The Spirit of Chinese Philosophy juga menyatakan hal yang sama 1967:121: “Hakekat Yin ialah melengkapi Yang, persis seperti isteri melengkapi suami…Tak ada ciptaan tanpa kedua prinsip itu, selalu ada Yin dan Yang di dalam.” Filsafat Yin-Yang mengandung landasan teleologis metafisika yang demikian kokohnya, sehingga sangat berpengaruh dan mewarnai etos budaya Cina Klasik, bahkan terhadap pemikiran orang-orang besar seperti Konfusius maupun Lao tze pencetus ajaran Tao Lasiyo, 1992:64; 1993:36; Tan Xiaochum, 1995:18-22. Lao tze dengan ajaran Taoismenya telah mengambil alih dan mengaplikasikan filsafat Yin-Yang dengan begitu kental ke dalam ajaranya sehingga menjadi suatu kepercayaan yang melebihi ajaran teologis keagamaan Cooper, 1981:13-14. Filsafat Yin-Yang tidak hanya mewarnai etos budaya Cina klasik saja, tetapi juga dapat dirasakan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di saat kini. Sebagai contoh misalnya To Thi Anh, dengan berlandaskan filasafat Yin-Yang telah berhasil membangun sebuah kreativitas intelektualnya, dengan melakukan sintesis antara nilai budaya Timur dengan nilai budaya Barat dalam artian yang bersifat simbolis 1984:87. Konsepsi teleologis metafisika yang terdapat di dalam ajaran filsafat Yin-Yang ternyata demikian besar pengaruhnya terhadap kehidupan budaya masyarakat Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Tionghoa. Sebagaimana dinyatakan oleh Lee T.Oei dalam Pergulatan Mencari Jati Diri 1995: 98 sebagai berikut: “Keselarasan antara Yin dan Yang adalah keselarasan suara dan gerak isyarat dalam musik serta tari-tarian. Akibat mengikuti ‘Tengah Sempurna’ adalah untuk menguasai tempokehidupan individu dan masyarakat. Tritunggal suara yang terdiri dari individu, masyarakat dan kosmos, merupakan dasar sebuah melodi yang bentuknya adalah irama sempurna dari awal hingga akhir yin-yang. Dengan persamaan hidup senada seorang chun-tzu adalah produk terakhir pengorganisasian kehidupan seseorang di sekitar skala ‘Tengah Sempurna’…” Demikian besarnya konsepsi teleologis metafisika di dalam filsafat Yin-Yang, sehingga sama dengan, yang menurut istilah Fowler, disebut dengan faith, yaitu suatu kepercayaan eksistensial. Di mana pribadi secara aktif mengambil posisi dan sikap untuk memberikan arti bagi hidupnya yang berat ini sesuai dengan gambarannya mengenai kenyataan. Hal ini dimungkinkan karena manusia adalah makhluk pencipta arti meaning maker yang memikul tugas berat mengolah sejumlah masalah eksistensial disaat dia ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’ yang mengganggunya, dan menjadikannya suatu susunan dunia hidup yang berarti Fowler, 1995: 20-25. Apa yang berarti dalam hidup ini ? Menurut budaya Tionghoa yang intinya merupakan filsafat Yin-Yang, sudah barang tentu yang dituju dan dicari adalah berada dalam keadaan keseimbangan dan harmoni wu-wei. Dengan kata lain, manusia senantiasa mengarah kepada keadaan dan kondisi yang bersifat bahagia. Sebagaimana dikatakan Widyahartono 1996:78-79: Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. “Yin dan Yang adalah berlawanan, tetapi mereka justru saling mengisi complementary dan merupakan kombinasi yang paling mendukung beneficial combination, serta harus dipelihara dalam keseimbangan dan harmoni. Filsafat Yin-Yang merupakan landasan penting bagi praktek pengobatan, seni masak, teori perang matial art, praktek Hong Shui, dan panduan kegiatan bisnis”. Menurut T.Hani Handoko 1996:51-62 paling tidak terdapat tiga hal atau nilai sebagai penentu perilaku bisnis orang-orang Tionghoa: “Paling tidak ada tiga nilai yang sering disebut sebagai penentu perilaku bisnis golongan Tionghoa: yaitu hopeng, feng shui atau hong shui, dan hokie. Ketiganya merupakan nilai, kepercayaan, dan mungkin juga mitos yang dipakai untuk menjalankan bisnis. Ketiga inilah yang biasanya mewarnai keberanian berspekulasi dalam menjalankan bisnis.” Konsepsi yang dalam filasafat yin-yang, dalam hal ini dapat di asosiasikan sebagai: surga, semua yang positif, pria, cahaya, api, keras, sisi kanan, hidup, bergerak, termasuk juga hal-hal yang dianggap bersifat rasional. Sedangkan konsepsi yin dapat diasosikan dengan arti sebaliknya, sebagai lawannya dari konsepsi yang. Oleh karena itu dapat diartikan sebagai “bumi” earth, semua yang negatif, wanita, kegelapan, air, lunak, dingin, sisi kiri, kemandegan deadly and still, termasuk juga hal-hal yang bersifat irrasional. Secara operasionalnya ketika masyarakat Tionghoa melakukan upaya bisnisnya dapat dibedakan menjadi dua cara. Dengan cara yang bersifat rasional yang ataupun dengan cara irrasional yin. Kedua cara tersebut adalah hal yang lazim di dalam budaya mereka. Adakalanya, mereka mengkombinasikan kedua cara Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. tersebut dalam rangka melakukan usaha bisnisnya dengan tujuan agar cepat memperoleh keberhasilan. Perilaku bisnis yang bersifat rasional dalam hal ini dimengerti sebagai perilaku yang sesuai dengan realitas atau hal-hal yang natural. Sedangkan perilaku bisnis yang bersifat irrasional adalah perilaku dengan menggunakan upaya yang bersifat irrasional atau supra-natural tetapi mengarah kepada tujuan yang rasional. Bagi orang-orang Tionghoa dalam berbisnis dapat melakukannya dengan cara yang rasional atau yang irrasional, ataupun dengan melakukan kombinasi dari kedua cara tersebut sekaligus.

4. 1. 1. Perilaku Rasional