1. 2. Perilaku Irrasional 1. 2. a. Hopeng

☯ Kaji dengan teliti setiap perjanjian. ß Ingkar menghancurkan kepercayaan. ☯ Bijaksana dan jujur dalam usaha. ß Manajemen yang buruk membuka peluang korupsi. ☯ Tunjukkan rasa tanggung jawab. ß Sikap tak bertanggung jawab mengundang kesulitan. ☯ Bersikap tenang dan penuh percaya diri. ß Sikap nekat menghambat perkembangan.

4. 1. 2. Perilaku Irrasional

Disamping menggunakan hal-hal yang bersifat rasional, tidak jarang pula diantara pelaku bisnis keturunan Tionghoa ini menggunakan cara-cara yang bersifat irrasional. Dalam hal ini mereka memanfaatkan jasa hopeng maupun dengan menggunakan hokie.

4. 1. 2. a. Hopeng

Hopeng diartikan sebagai menjaga hubungan yang baik terhadap relasi atau koneksi bisnis. Bagi orang Tionghoa bisnis tidaklah semata-mata hal yang seluruhnya bersifat rasional. Dalam dunia bisnis hubungan dengan relasi atau koneksi sangatlah penting. Hal itu bisa saja terjadi dalam interaksi di luar bisnis itu sendiri. Membangun relasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berperan dalam dunia bisnis pada umumnya. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. “Membangun koneksi dari lini paling bawah dan sederahana hingga paling atas yang terkadang rumit, seakan sudah menjadi ‘keahlian’…dan hal ini sepertinya menjadi kunci utama dalam dunia bisnis mereka,…sangat sulit berdagang …bila tidak ada koneksi…..Sebaliknya semua akan lancar bila ada koneksi.” Ongkowijoyo, 1995:115. Demikian pula menurut informan Sudi Wei Shio Bei: “Saya mengembangkan usaha dangan cara memperkuat dan memperluas jaringan saya untuk mencari modal, dan biasanya saya bergabung dalam suatu jaringan adalah kerabat dekat atau bisa orang yang bis dipercaya, baik orang pribumi atau kalangan birokrat. Kalau kita mau maju dalam usaha kita kita harus banyak bergaul agar dapat mengembangkan bisnis kita dan memperoleh modal untuk membuka usaha, kalau sudah ada modal dan pergaulan yang luas maka usaha apapun bisa kita lakukan. Kita harus giat dalam dalam bekerja dan berusaha juga dapat modal dalam mengembangkan bisnis dan harus tekun serta sabar saat merintis bisnis. Misalnya saya dulunya sebelum menjalankan usaha terlebih dahulu belajar dan bekerja dengan orang pribumi, kemudian setelah merasa mampu mencoba usaha sendiri.” Begitu juga ungkapan Yenti: “Jadi dalam budaya Tionghoa, nanti ada hari-hari baik kita harus kumpul dalam satu keluarga terutama hari imlek. Kalau ada kesalahan berma’afan, kalau ada masalah dirembukakan bersama, kalau dia lagi gak ada modal jadi disanalah salain membantu dalam satu keluarga.” Pengusaha keturunan Tionghoa tidak tergesa-gesa untuk memulai pembicaraan atau perundingan dalam hal bisnis. Mereka lebih dahulu ingin saling mengenal sebelum mengadakan hubungan bisnis, dengan berupaya melakukan hubungan secara pribadi. Terutama hubungan-hubungan yang bersifat persahabatan yang saling menguntungkan satu sama lain. Berdasarkan pengertian tersebut, Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. wajarlah dalam bisnis orang Tionghoa pada umumnya, dalam melibatkan usahanya lebih mengutamakan keluarga atau teman-teman dekatnya dari pada orang lain yang sama sekali baru dikenalnya. Sebab keluarga maupun teman dekat tidak mungkin lagi diragukan kesetiaannya. Kesetiaan pada keluarga dan teman dekat begitu tinggi dan ini diturunkan terus-menerus. 31 Orang Tionghoa selalu mengingat setiap bantuan yang pernah mereka berikan ataupun yang mereka terima, sehingga pendekatan yang biasa mereka lakukan atas dasar pendekatan hutang budi. Suhanda, 1996:84-92. Dalam pengamatan Vleming 1989:84, juga mengakui hal tersebut: “Selama berabad-abad bangsa Cina mempunyai pandangan bahwa individu adalah sebagian dari keluarga, kelauarga bagian dari clan, dan clan bagian dari bangsa. Karena itu, dapat dimengerti mengapa dalam berdagang pengusaha Cina selalu bermitra dengan anggota keluarga dan sahabatnya”. Hopeng dapat juga diartikan sebagai modal sosial. Kerjasama sukarela yang berintikan saling adanya kepercayaan trust, toleransi, solidaritas, dan nilai-nilai kebersamaan. Dengan modal sosial hubungan sosial antara individu di dalam kelompok dapat saling membantu dan bekerjasama. 32 Modal sosial yang paling berarti bagi orang-orang Tionghoa dalam hal ini adalah anggota keluarganya sendiri, kemudian meluas kepada kaum kerabat clan, teman dekat, atau bangsa. Belakangan ini fungsi hopeng juga memasukkan kalangan 31 Solidaritas yang paling kuat hanya dapat dibangun atas dasar guanxi hubngan kekerabatan dekat, orang semarga, atau sesama golongan keturunan Cina. Mereka percara bahwa shin yung hungan saling percaya atau solidaritas menurut mereka hanya dapat dibangun di antara golongan keturnan Cina Mazali, dalam Prisma, 24 Agustus 1994: 68-69. 32 Badaruddin, 2005: 23-59. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. “kenalan”, asalkan dapat memudahkan proses urusan berbisnis bagi mereka. Sebagai contoh misalnya, para pejabat yang memiliki kekuasaan politk dalam birokrasi. Menurut T.Hani Handoko 1996:51-62, keberhasilan pengusaha-pengusaha Tionghoa seperti: Mohammad Bob Hasan, Liem Sioe Liong, Ciputra, Eka Tjipta Wijaya, Prajogo Pangestu memiliki Hopeng semacam itu. “…mudah dipahami bahwa karakter dagang menuntut sikap ‘bijak’ prudent dan kecermatan. Mencari dan menjalin hopeng adalah cerminan dari sikap kehati-hatian. Hopeng adalah salah satu cara untuk mengurangi resiko dagang yang sering kali bersifat sangat spekulatif. Bisa juga diartikan bahwa hopeng merupakan usaha untuk mengurangi rintangan-rintangan dagang.” Handoko, 1996:55. “Hopeng dipakai untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar terhadap pemasok dan pembeli, dan mengurangi ancaman…hopeng dipakai untuk menjamin relasi agar perusahaan terlindung dari peraturan-peraturan yang sangat merugikan.” Handoko, 1996:60. Dengan adanya nilai hopeng inilah diduga ada kaitannya dengan timbulnya persekutuan-persekutuan dagang orang-orang Tionghoa yang disebut ‘kong-si’, Guanxi atau Quanxi. Kong-si dapat diartikan sebagai ikatan-ikatan antar manusia yang bersifat pribadi, khas, dan non ideologis, tetapi yang didasarkan pada kesamaan identifikasi, seperti: kekerabatan, kesamaan daerah asal-usul qingqi, tahun kelahiran, asal satu pendidikan atau alumni tongxue, sahabat ketika di perguruan tinggi tongshi, kesamaan minat tonghao, budaya, bahasa yang sama, dan lain sebagainya. Berdasarkan itulah mereka saling berhubungan dan membuat suatu jaringan bisnis yang bersifat khas, berdasarkan keyakinan dan saling percaya Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Budhiyanto, 2004, 279-302. Namun, latar belakang terbentuknya kong-si tidaklah identik dengan kekeluargaan familialism dan paternalism, melainkan lebih menitik beratkan pada adanya aturan tidak tertulis unwritten codes yang melindungi perilaku opotunistik anggotanya Warta Ekonomi, No.13, 2007: 25. Kong-si merupakan salah satu kunci sukses bisnis etnik Tionghoa di negerinya maupun di perantauan. Kong-si tidak hanya memberi pelindungan anggotanya dalam berbisnis, teapi juga memberikan ruang bagi hubungan pribadi antar pelaku bisnis yang dikombinasikan dengan karakter pribadi trait dan kesetiaan loyalty. Juga dapat membentuk pertukaran sosial berdasarkan sentiment primordial dan emosi budaya yang ditandai dengan saling percaya trust. Ketika orang berhutang, pembayarannya tidak semata-mata tepat waktu saja dan sesuai perhitungan, tetapi terkandung pula ikatan sosial di luar rasio ekonomi. Di dalamnya mengandung unsure non-ekonomi, seperti: motivasi politik, kekuasaan, status, dan sebagainya. Oleh karena itu jika seandainya seseorang telah berbuat kesalahan, dengan mudah citra negatif akan tersebar dan habislah masa depan bisnisnya Warta Ekonomi, No.13, 2007: 25. Dari konsepsi hopeng maupun kong-si atau hui inilah timbul istilah ‘cukong’, yang berasal dari kata ‘tsu-kung’, adalah orang yang tertua di dalam per- kong-si-an tersebut dan biasanya adalah kakek atau tsu-kung mereka sendiri dalam ikatan kekeluargaan. Oleh karena itu orang yang berkedudukan sebagai ‘tsu-kung’ adalah orang yang memiliki pengaruh besar seperti ‘boss’, dan umumnya sangat Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. dihormati oleh seluruh keluarganya. Dengan perubahan dan perkembangan masa kini istilah tsu-kung berubah juga menjadi ‘cukong’Handoko, 1996:54.

4. 1. 2. b. Hokie