4. Kerangka Pemikiran Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan

3. Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut. Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan, peristiwa-peristiwa yang mungkin timbul, sebaiknya diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangan- kesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.

1. 4. Kerangka Pemikiran

Bagaimanapun sederhananya kultur atau budaya suatu masyarakat, namun di dalamnya tetap memiliki potensi untuk melakukan orientasi maupun mekanisme Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. merespons fenomena kehidupan, atau dapat membentuk pandangan teleologis warga masyarakatnya. Budaya suatu masyarakat, biasanya mengandung potensi daya energi untuk membentuk corak atau warna sikap mental dan watak yang khas etos bagi individu-individu warga masyarakatnya. Rata-rata sikap mental dari suatu warga masyarakat memiliki kesamaan, antara satu individu dengan individu yang lainnya. Namun berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya. Pada gilirannya nanti akan membedakan pula sikap mental individu yang berasal dari satu warga masyarakat, dengan masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain dapat membedakan pula basic personality type tipe kepribadian dasar bagi individu yang berasal dari satu warga masyarakat tertentu, dengan individu dari warga masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan, suatu kebudayaan memiliki potensi kemampuan atau daya energi yang berfungsi sebagai penentu determinasi bagi anggota warga masyarakatnya. Sebuah kebudayaan dapat dimiliki oleh seorang individu dengan proses pembelajaran atau proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisai. Kebudayaan yang sudah menjadi milik dirinya itu dengan sendirinya dapat mengakibatkan seorang individu warga dari suatu masyarakat itu memiliki kekhasan dalam berpikir, memprediksi, membentuk pandangan teleologis, bersikap, berprilaku dan untuk menentukan pilihan-pilihan, maupun dalam upaya mengambil keputusan. Sikap mental individu warga suatu masyarakat dipola oleh budayanya dengan tidak disadari lagi oleh individu tersebut, sebab daya energi yang terkandung dalam budaya itu tidak hanya sebagai milik tetapi sudah menjadi bagian dalam sistem kepribadiannya. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Dengan meminjam istilah Ruth Benedict, di dalam pribadi individu tersebut, daya energi budaya sudah menjadi unconscious canons of choice Benedict, 1960, atau E.Sapir menyebutnya dengan isitilah: unconscious system of meaning sistem makna di bawah sadar. Menurut Claude Levi-Strauss, daya energi budaya tersebut merupakan hukum yang secara tidak disadari atau tanpa dikenalnya lagi sudah membentuk watak atau sikap mental individu warga masyarakat tadi. Sehingga mengikat sistem pemikirannya seperti memaksa, harus ditaati, dan senantiasa selalu mempengaruhi dalam kehidupannya van Baal, 1988:118. Daya energi kebudayaan tersebut menurut Parsudi Suparlan 1981, memiliki kemampuan untuk menjadikan seseorang individu dapat membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, atau membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi teleologis, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya. Menurut Koentjaraningrat, daya energi kebudayaan dapat membentuk metalitas individu warga masyarakat. Daya energi budaya semacam itu bentuknya dapat berupa, sistem nilai budaya, sistem sosial, dan sistem kepribadian. Bentuk budaya yang dinamakan sistem nilai budaya, menurut Sigmund Freud disebut dengan istilah superego Freud, 1987. Bentuk budaya berupa sistem nilai adalah bentuk budaya yang lebih abstrak tetapi memiliki daya energi yang lebih tinggi sifatnya, dari semua sistem budaya manusia. Hal tersebut merupakan konsepsi Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. yang paling abstrak jenjangnya, dalam sistem berpikir manusia, dan yang paling luas pula lingkup jangkauanya dalam kehidupan sebagian besar warga suatu masyarakat Koentjaraningrat, 1984:25-31. Isi yang terdapat di dalamnya mengandung campuran elemen kognitif, afektif, dan direktif sehingga dapat membentuk metalitas warga masyarakatnya. Oleh karena itu setiap individu warga masyarakat dapat menilai tentang sesuatu hal: apakah berupa benda-benda, aktivitas, perilaku, peristiwa-peristiwa, hubungan-hubungan dan lain sebagainya, yang berada di sekitarnya. Berbagai ahli berpendapat bahwa, daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai ini kecuali dapat membentuk sikap mental, juga memberi arah bagi diri individu warga suatu masyarakat. Diri individu tadi dapat membuat configurations konfigurasi-konfigurasi dalam hidupnya kata E.Sapir. Namun, dapat juga membuat tema-tema budaya culture themes sebagaimana menurut M.Opler. Sedang E.A.Hoebel berpendapat bahwa, dengan adanya daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai, manusia dapat membuat postulates postulat-postulat Koentjaraningrat, 1984a:115-169. R.Redfield berpendapat dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, menjadikan manusia mempunyai world view pandangan dunia atau peta mengenai jagad Shri Ahimsa Putra, 1985:103-133. Ruth Benedict menyatakan, manusia dengan daya energi sistem nilai budaya tadi dapat membuat patterns of culture pola-pola budaya Benedict, 1960; Danandjaja, 1988. Clyde Kluckhohn menyatakan, dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, manusia dapat membuat orientasi Kluckhohn, 1961, Koentjaraningrat, 1984:25-31. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Max Weber dan Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa dengan daya energi sistem nilai budaya ini, manusia memiliki dorongan untuk beretika dalam hidupnya Weber, 1958; Franz-Magnis Suseno, 1993. Usman Pelly menyatakan bahwa pada dasarnya para perantau melakukan mobilitas dari daerah asalnya karena dimotivasi oleh daya energi sistem nilai budaya ini. Daya energi sistem nilai budaya tersebut dinamakan oleh Usman Pelly sebagai missi budaya Pelly, 1994. Sedangkan Miyamoto Musashi melukiskan keberhasilan bisnis masyarakat Jepang karena sikap mentalnya didorong oleh daya energi sistem nilai budayanya yang terdiri dari istilah- istilah seperti Zen, Bushido, dan Heiho 1984. Dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, sering kali menjadikan berbedanya karakter antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Ruth Benedict berupaya mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jepang, dengan sikap mental individu yang lembut bagaikan Bunga Seruni dan sekaligus keras bagaikan Pedang Samurai 1946. Sedangkan hasil karyanya yang lain, dengan menggunakan metode content analysis, Benedict berpendapat bahwa pada masyarakat Dobu digambarkan sebagai individu yang memiliki sifat schizophrenian. Di mana warga masyarakatnya selalu bersikap curiga dan penuh ketakutan terhadap sesamanya, tidak suka menolong apalagi bekerja sama bergotong royong dengan orang lain, disamping itu mereka gemar pula dengan ilmu gaib. Masyarakat Indian Kwakiutl digambarkannya sebagai Dionysian, suatu adat kebiasaan bersikap dinamis dan agresif, suka bersaing dan berkelahi, congkak, suka membual, sering mengintoxikasi diri dengan mabuk- mabukan baik dalam kehidupan seharian apalagi di dalam kegiatan-kegiatan upacara. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Dalam melakukan upacara, warga masyarakat Indian Kwakiutl sering kali, para pemimpinnya menonjolkan kekuasaan dan gengsi sosial, suka memamerkan kekayaannya di depan umum. Masyarakat Pueblo Zuni digambarkan berwatak Apollonian, di mana warganya selalu bersikap suka damai, pasif terhadap hidup, gemar bekerja sama secara bergotong-royong Benedict, 1960. Sedang M.Opler misalnya, sistem keperibadian masyarakat Indian Apache Chiricahua di Amerika Serikat, digambarkan sebagai masyarakat yang hidupnya memiliki orientasi tema-tema berpikir. Antara tema pikir yang satu, dengan lainnya, boleh jadi saling bertentangan. Sebagai contoh misalnya, di satu sisi masyarakat Indian Apache Chiricahua menganggap ideal kalau berusia panjang. Oleh sebab itu biasanya orang-orang tua yang berusia lanjut sangatlah di hormati. Pada sisi lain, orang yang berprilaku aktif, agresif dan sibuk kendatipun masih berusia muda, menjadi tipe yang ideal pula. Oleh karena itu, orang tua yang berusia lanjut, tetapi pemalas dalam hidupnya, menjadi orang yang tidak begitu dihormati lagi Koentjaraningrat, 1984a:115-169. Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa sistem nilai budaya Jawa telah membentuk prilaku orang Jawa pada umumnya, sehingga dikalangan orang-orang Jawa, rata-rata mereka memiliki sikap mental: sepi ing pamrih, rame ing gawe 1993. 14 14 Sepi ing pamrih, rame ing gawe: lebih mengutamakan beraktivitas, kreativitas, atau karya ketimbang mengharapkan imbalan atau hasilnya. Orang yang rajin dengan sendirinya akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Sedangkan Clifford Geertz berupaya melukiskan sikap mental pada masyarakat Jawa disebabkan oleh latar belakang pengaruh ajaran agama Islam yang berkembang di Mojokuto desa Pare Jawa Tengah. Masyarakat di Jawa yang dikategorikan menjadi tiga kelompok oleh Geertz, terdiri dari: orang-orang Jawa santri, yaitu orang Jawa yang taat dan menjalankan ajaran agama Islam secara murni; kemudian orang-orang Jawa Priyayi, adalah orang Jawa yang menjalankan ajaran agama Islam disamping masih meyakini ajaran agama Hindu; dan yang terakhir adalah orang-orang Jawa abangan, yaitu orang Jawa yang melaksanakan ajaran agama Islam tetapi bersinkretis dengan keyakinan Kepercayaan Asli Geertz, 1981. Ketiga kelompok masyarakat Jawa ini memiliki karakter hidup yang berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh proses penyerapan sistem nilai Islam yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Max Weber pernah mencoba melukiskan keadaan di kalangan masyarakat Eropa dalam penelitiannya. Ia berpendapat bahwa, diantara warga penganut agama Nasrani Kristen terdapat dua golongan yang berbeda, yaitu: warga penganut Protestan dan warga penganut Katolik. Perbedaan ini disebabkan oleh sistem nilai Kristiani yang berbeda-beda penyerapannya pada masing-masing mereka. Perbedaan tersebut ternyata telah membentuk prinsip dan sikap mental yang berbeda pula. Max Weber berkesimpulan bahwa, ajaran Protestan ternyata telah mendorong semangat kapitalis dikalangan penganutnya. Warga masyarakat Eropa yang berjiwa kapitalis, justeru ditumbuh kembangkan dengan subur oleh sistem nilai ajaran Protestan, bukan ajaran Katolik 1958. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Kesemua pandangan mengenai kebudayaan tadi, pada dasarnya telah mendorong kesadaran manusia untuk menggunakan pikirannya dalam menanggapi atau menghadapi hidup ini. Karena masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan atau perbedaan dalam cara menanggapi kehidupan ini, maka masing-masing kebudayaan pun mengajarkan sistem berpikir yang berbeda-beda pada masing- masing warga masyarakatnya. Kemudian. semua kebudayaan pada hakekatnya mengandung pandangan yang bersifat teleologis, oleh sebab itu manusia yang melakukan perbuatan atau kegiatan tertentu secara sadar dalam hidupnya bukanlah perbuatan atau kegiatan yang kebetulan saja, atau karena dorongan naluri belaka. Namun manusia melakukan suatu kegiatan atau tindakan dalam hidupnya karena tindakannya itu dianggap bermakna atau bernilai. Karena mengandung makna dan nilai inilah, manusia mau melakukannya. Dengan kata lain, tindakan dan kegiatan manusia itu mengandung tujuan teleologis, karena tindakannya bermakna atau bernilai. Pandangan yang menganggap warisan sistem nilai budaya adalah modal personality yang menjadikan satu-satunya faktor pendorong jiwa wira usaha atau interpreneur, telah disangkal oleh Frank Young. Menurut Young, jiwa interpreneur dari suatu warga masyarakat, justeru dapat timbul disebabkan adanya tekanan- tekanan struktur sosial dimana mereka berada. Mereka mau bekerja keras disebabkan kekaburan keberadaan status mereka baik dari sudut kebudayaan maupun status sosialnya di dalam masyarakat. Karena tekanan-tekanan inilah mereka menjadi lebih bersemangat untuk berkreasi memajukan usahanya, dengan tujuan agar status sosial Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. mereka dapat diakui keberadaan di dalam masyarakat. Mereka berusaha untuk melakukan penyesuaian yaitu dengan jalan berkreativitas dalam situasi-situasi perobahan yang terjadi Kilby, 1975: 6-21. Pendapat Young ada relevansinya dengan kenyataan yang pernah dialami oleh berbagai warga masyarakat seperti orang-orang Yahudi pada zaman pertengahan di Eropa, orang-orang Libanon di Afrika Barat, orang-orang India di Afrika Timur dan orang-orang Tionghoa yang terdapat di Asia Tenggara. Dengan demikian pendapat Young dapat dijadikan bahan kontribusi dalam kerangka pemikiran. Sebab orang-orang Tionghoa di Medan pun pernah memiliki pengalaman hidup semacam itu. Status mereka sebagai imigran, diharapkan dapat diterima menjadi bagian salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata mengalami tekanan-tekanan. Hal inilah merupakan salah satu faktor insentif yang membentuk kepribadian kreatif bagi mereka. Respons masyarakat Tionghoa di Medan salah satu diantaranya adalah untuk beralih dari suatu kondisi status sosial yang dianggap tidak menyenangkan dan kabur agar dapat diterima keberadaannya sebagai bagian dari struktur sosial warga masyarakat Medan umumnya. Untuk membuktikan tumbuhnya rasa kepercayaan bagi warga masyarakat lainnya, agar mereka bertahan di perantauan. Dengan kata lain, tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya. Hampir sama dengan pendapat Young, Skinner juga berpandangan demikian, dalam kajiannya terhadap masyarakat Tionghoa yang hidup di Thailand. Orang-orang Tionghoa di Thailand dapat memperoleh kesuksesan dalam usahanya karena Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. didorong oleh keinginannya agar status sosial mereka diterima sebagai orang Thailand. Sedangkan masyarakat Thailand hanya mengenal dua kelompok status sosial, yaitu: Nai dan Phrai. Kedua status sosial tersebut berhubungan secara vertical dyadic alliances. Status sosial kelompok Nai menduduki lapisan yang teratas, dan berfungsi sebagai patron, yang terdiri dari keluarga bangsawan, yang menguasai pemerintahan. Sedangkan status sosial kelompok Phrai menduduki lapisan yang bawah, yang terdiri dari Phrai Luang abdi kerajaan, berfungsi sebagai pegawai administrasi kerajaan, dan Phrai Som rakyat biasa, yang bekerja sebagai petani, dan dikuasai oleh Nai secara individual, sehingga ruang geraknya menjadi terbatas. Sehingga segala aktivitasnya harus berdasarkan persetujuan Nai patronnya. Kekakuan hubungan struktur sosial inilah yang memberikan peluang bagi para migran Cina di Thailand untuk melibatkan dirinya sebagai pedagang dan berbagai kewirausahaan lainnya Skinner, 1960. Berdasarkan hasil kajian Young dan Skinner tersebut, telah membuktikan bahwa keberadaan status sosial ini juga dapat mengilhami terbentuknya pandangan teleologis mereka. Mereka melakukan kegiatan tertentu adalah dalam rangka untuk melegalitaskan kondisi status sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain agar mereka tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya. Pengalaman kultural dan struktural masyarakat Tionghoa di Medan inilah yang membentuk pandangan teleologis-nya. Pertama oleh sistem nilai budaya yang mereka warisi, dan yang kedua adalah keberadaan status sosial mereka. Jika sistem Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. nilai budaya merupakan faktor interen atau aspek kulturalnya, maka status sosial merupakan faktor eksteren atau aspek strukturalnya. Kombinasi antara keduanya telah membentuk pandangan teleologis. Dengan adanya pandangan teleologis inilah yang menentukan daya energi pendorong agar mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Dalam kerangka konseptual, penulispeneliti cenderung menggunakan istilah teleologis sebuah pemikiran filosofis metafisik tentang hukum kausal yang berbeda dengan pemikiran mekanis. Dalam pandangan teleologis, suatu rentetan kejadian mendahulukan akibat dari pada sebab. Dengan kata lain, bukan sebab yang menentukan akibat, bukan karena mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sehingga mereka memperoleh keberhasilan dan kesuksesan berbisnis; melainkan sebaliknya, akibatlah yang menetapkan sebab. Tujuan dan keinginannyalah yang menjadikan mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Gambaran-gambaran tentang keinginankemauan atau tujuan mereka itulah yang menjadi pendorong orang-orang Tionghoa untuk melakukan tindakkannya. Tujuan yang menjadi pendorong dari tindakkannya itu sama dengan yang ditujunya sendiri. “Kalau orang berkata, bahwa segala kejadian menuju ke suatu tujuan, hal itu semata-mata fiksi, yaitu buatan atau pikiran manusia saja…. Tujuan seolah-olah menjadi penarik, menjadi pendorong, mejadi sebab manusia itu bertindak….sesuatu kemauan yang mempunyai atau menimbulkan…tujuan, barulah ada perbuatan…yang menuju kepada tujuan dan akhirnya tercapailah yang dituju itu. Disini nyatalah yang yang menggerakkan ialah sama dengan yang ditujui. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Pikiran dan tanggapannya itulah yang memimpin kemauan dalam memilih alat dan cara bekerja untuk menacapai tujuan. Disini nyataaah kepada kita, bahwa yang dalam perbuatan manusia yang sadar berupa dikuasai oleh sesutau tujuan, dalam lingkungan perbuatan yang tiada sadar berupa ketaklukan kepada sesuatu susunan yang teratur dan lengkap, yang meskipun tiada dengan sadar mempunyai suatu tujuan bersama yang nyata dan pasti. Dalam hubungan ini perkataan tujuan menjadi searti dengan ketaklukan kepada kelengkapan… yang membuat kemungkinan menjadi kenyataan dan selanjutnya membawanya kepada tujuan dan akhir keadaannya Alisjahbana, 1981: 61-67. Secara filosofis hukum kausal sebab-akibat yang di dalamnya terkandung pandangan metafisika teleologis biasanya mengarah kepada keadaan yang determinisma atau serba tertentu. Berbeda dengan pandangan mekanis, suatu rentetan kejadian dapat mengarah kepada keadaan yang serba tertentu determinisma atau dapat juga pada keadaan yang serba taktentu indeterminisma. Para ahli ilmu sosial pada umumnya menamai pandangan teleologis ini dengan istilah orientasi ataupun ethos yang bermakna futurologis. Dimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa Medan itu terdapat ? Tentu saja hal tersebut, ada tersembunyi di dalam khazanah kulturalbudaya maupun di dalam pengalaman struktural kehidupan mereka. Bagaimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa tersebut sehingga menentukan mereka untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi, hal inilah yang menjadi fokus perhatian untuk dikaji dalam penelitian ini. Secara ringkas dengan cara visual kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebegai berikut: Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Tabel Kerangka Berpikir Repons Kulturan dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota Medan Pengalaman Kultural Budaya Pengalaman Struktural Respons Kultural Struktural Sebagai Penentu: Sikap Masyarakat Tionghoa Medan Untuk: ☯ hemat, ☯ ulet, ☯ tekun, ☯ rajin, ☯ gigih, ☯ luwes, ☯ cepat dan tangguh, ☯ serta semangat wira usaha yang tinggi PANDANGAN TELEOLOGIS ORIENTASI ETHOS atau FUTUROLOGIS YANG MENDORONG: Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa