Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan

sistem keseniannya saja, atau sistem perekonomiannya saja. Namun pada umumnya, tulisan-tulisan yang termasuk dalam tipologi ketiga ini, belum banyak upaya yang melakukan suatu kajian komparatif antara kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia pada suatu daerah tertentu, dengan membandingkannya orang-orang Tionghoa yang hidup dan berada di daerah Indonesia lainnya, kecuali tulisan J.L.Vleming Jr. 1989. Vleming berupaya melakukan perbandingan tentang kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa di pelbagai daerah di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Mengapa para ahli atau peneliti cenderung mengungkapkan jenis kajiannya jenis tipologi yang pertama dan kedua bukan yang ketiga. Mungkin para ahli masih menganggap masalah tipologi pertama maupun yang kedua dipandang lebih penting atau mendesak dan merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan secara mendasar, sehingga banyak mengundang perhatian dan prioritas untuk mengkajinya. 2. 2. Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan Pemerintah Para ahli yang telah mengkaji membicarakan mengenai kehidupan orang- orang Tionghoa di Indonesia dan yang mengkaitkannya dengan kebijaksanaan pemerintah, sejak pemerintahan kolonial Belanda hingga dimasa Orde Baru, contohnya seperti dalam tulisan: Leo Suryadinata yang berjudul: Political Thingking of Indonesian Chinese: 1900-1977 Singapore: 1979, Singapore University Press. Termasuk juga di dalam tulisannya yang lain dengan judul: Kebudayaan Minoritas Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Tionghoa di Indonesia diterjemahkan oleh Dede Oetomo dari judul aslinya: The Culture of the Chinese Minority in Indonesia, Jakarta: 1988, Gramedia. Menurut Suryadinata, kebijaksanaan pemerintah dianggap telah mempengaruhi orang-orang Tionghoa terutama pemikiran politiknya, sehingga mendorong masyarakat ini untuk bermotivasi mengembangkan kehidupan ekonomi, pendidikan, pers dan status kewargaan negara mereka di Indonesia; Sementara di dalam kesempatan lain juga, Melly G. Tan editor dalam bukunya Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Jakarta: 1979, Gramedia berupaya memfokuskan kajiannya terhadap masalah pembinaan bangsa, yang masih erat berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Demikian pula yang dilakukan Stuart W.Greif dalam bukunya: “WNI”, Problematik Orang Indonesia Asal Cina Jakarta:1994, Grafiti, yang menggunakan studi kasus dengan mewawancarai sebanyak 25 orang keturunan etnis Tionghoa di Jawa dan Bali pada tahun 1985; dalam kajiannya juga mengkaitkan kebijaksanan pemerintah yang pada saat itu masih dalam kekuasaan pemerintahan Orde Baru, dalam prakatanya ia menyatakan, bahwa: “Pertemuan saya dengan orang Indonesia keturunan Cina yang pertama terjadi di Bali. Walaupun sudah dewasa ia tak bisa berbahasa Cina…Ketika memberikan kartu namanya kepada saya, terbacalah sebuah nama Jawa- Sanskerta yang indah. Ia telah mengubah namanya pada tahun 1966. Ia sendiri berdarah setengah Jawa dan isterinya seorang wanita Toraja dari Sulawesi yang beragama Kristen. Akan tetapi di bawah hukum Indonesia pen: masa Orde Baru, yang meneruskan tradisi Belanda, anak-anak orang itu masih dianggap Cina. Sedikit sekali ciri-ciri rasial dan bekas-bekas budaya Cina yang tertinggal dalam dirinya. Secara tak sadar saya merasa tertarik sekali karena pertemuan itu.” 1994: xxxiv-xxxv . Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa pada masa Orde Baru ketentuan- ketentuan pokok yang dikeluarkan negara menurut H.Junus Jahja antara lain Jahja, 1998:82-92: 1. Resolusi MPRS No.IIIMPRS1966, tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa tanggal 5 Juli. Hal-hal yang relevan dalam Keppre ini antara lain: merealisasikan dengan konsekuen larangan perangkapan kewarganegaraan; mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warganegara keturunan asing; dan menghilangkan segala hambatan- hambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonisnya hubungan mereka dengan warga negara asli. 2. Keputusan Presidium Kabinet N0.127UKep121966, mengenai ganti nama bagi warganegara Indonesia yang memakai nama Cina. Keputusan ini berkaitan dengan prosedur yang sangat mempermudah etnik Cina yang ingin ganti secara sukarela dengan nama Indonesia. Hampir semua WNI-Cina mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia setelah keputusan ini dikeluarkan. Namun dalam kenyataannya, walaupun WNI sudah ganti nama dan tidak bisa lagi berbahasa Cina, acapkali masih tetap dianggap ‘orang luar’, misalnya masalah KTP dengan kode-kode khusus serta keharusan menunjukan formulir K-1. Termasuk juga Instruksi Menteri Dalam Negeri No.X01 tahun 1977 tentang Petunjuk Pelaksanaan pendaftaran Penduduk masih terdapat ‘kebiasaan’ membeda-bedakan sesama warga negara. Termasuk juga Peraturan Menteri Kehakiman RI No.M.01-HC.03.01 tahun 1987yang mengharuskan WNI keturunan menyertakan Surat Tanda Bukti Kewarganegaraan RI pada saat pendaftaran ciptaan. Tidak hanya itu, Surat Edaran Medgri No.47775054 tahun 1978 mengenai petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, pada hal hanya ada lima agama yang diakui pemerintah. Sedangkan Kong Hu Cu tidak diakui oleh pemerintah. 3. Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967. Kebijakan pemerintah ini dibuat dengan pertimbangan bahwa agam, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina di Indonesia, dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril bagi warga negara Indonesia lainnya. Hal ini dinilai dapat menghambat jalannya proses asimilasi. Adapun isi instruksi tersebut adalah: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menuanikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. afinitas cultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorang; perayaan- perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga; instruksi ini dianggap sangat penting untuk mengurangi jarak antara etnik Cina dan warga negara lainnya. Selain itu, dengan adanya instruksi ini, maka pertunjukan seperti Barong say, arak-arakan Toapekong, dan perayaan Imlek sejak tahun 1960 memang sudah kurang popular dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga saja. 4. Keppres 2401967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing. Dalam kebijakan ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing adalah sama kedudukannya di dalam hukum dengan bangsa Indonesia lainnya. Pembinaannya dijalankan melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial. Dinyatakan pula, bahwa perbedaan perlakuan antara warga negara Indonesia keturunan asing dan warga negara Indonesia asli ditiadakan dan tidak dibenarkan. 5. GBHN 1978 dan 1988 mengenai kebijaksanaan pembauran terhadap etnik Cina yang dinyatakan bahwa: ‘Usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilanjutkan di segala bidang kehidupan, baik dibidang ekonomi maupun sosial, dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan nasional.’ Kendatipun sebelumnya, dimasa pemerintahan Orde Lama khususnya Presiden Soekarno, adakalanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat bernada memberikan peluang bagi etnik Tionghoa di Indonesia. Agar diakui sebagai ‘suku bangsa’ yang sederajat dengan suku-suku bangsa yang ada lainnya, seperti Jawa, Sunda dan lain sebagainya. Perwujudannya dibentuklah lembaga Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Baperki. Karena Baperki menjadi organisasi politik kekiri-kirian dan anggotan nyaris 100 adalah etnik Tionghoa, Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. berakhir pula cita-cita mereka dalam peristiwa politik GetapuPKI 1965, yang berakibat diskriminasi terhadap mereka timbul kembali. Demikian pula yang diungkapkan dalam sebuah buku, yang merupakan kumpulan dari 13 tulisan mengenai konfusianisme, yang dianggap sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan keimanan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Buku tersebut merupakan terbitan interfidei Yogyakarta, 1995. Banyak peristiwa sejarah yang melibatkan golongan etnis Tionghoa ini secara tidak disadari sudah turut memperkaya khazanah kehidupan budaya bangsa Indonesia. Sehubungan proses pembentuk bangsa yang telah dan terus berlangsung, bagaimanapun keberadaan etnis Tionghoa ini mencari tempat secara proposional. Pada dasarnya semua kelompok termasuk etnis Tionghoa ini ingin diakui eksistensinya, selaku bagian integral dari sebuah bangsa. Namun hubungan antar kelompok ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ sering kali jadi kendala, dan dipicu pula oleh masalah kesenjangan ekonomi antara ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’. Mungkinkah ajaran konfusianisme dapat memberikan suatu pandangan yang bersifat kreatif bagi etnis Tionghoa dalam pergulatannya untuk mencari jati diri di Indonesia. Semua pemikiran para ahli yang terkumpul di dalam buku tersebut selalu memberikan harapan dan peluang yang bersifat positif. Memang dalam kenyataannya, ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia, ajaran konfusianisme diakui sebagai salah satu ajaran agama di negara Indonesia ini. Ditandai dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No.6, tahun 2000 yang mencabut instruksi presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atraksi ‘barongsai’ mulai bebas melakukan Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. pertunjukan. Kemudian pada masa pemerintahan presiden Megawati pada tahun 2002 perayaan Imlek diakui oleh negara sebagai hari libur nasional Budhiyanto, 2004. Sebagai kesimpulan sementara, ternyata kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak- pihak penguasa pemerintahan, sejak zaman kolonial Belanda, mungkin juga hingga pemerintahan saat ini, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Tionghoa pada umumnya, termasuk mereka yang berada di Medan. Pengaruh tersebut dapat sebagai peluang ataupun sebaliknya dapat menjadi penekan. Namun faktor penekan ini adalah daya energi yang dapat berubah menjadi pendorong pula dikalangan masyarakat Tionghoa dalam kehidupan berbisnis.

2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau