Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah
kemunculan individu-individu konglomerat Tionghoa pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur
Orde Baru, tetapi kemunculan orang Tionghoa sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baru
Nuranto 1999.
4. 2. 2. Pengalaman Penekan
Peraturan yang dibuat oleh Pemerintahan kolonial Belanda, yang dikeluarkan dalam tahun 1870 adalah undang-undang agraria yang telah membatasi orang-orang
Tionghoa untuk memperoleh hak milik tanah secara leluasa. Bagi orang-orang Tionghoa yang ingin memiliki rumah atau tanah sering kali dihalangi dengan
bermacam-macam kesukaran administratif. Untuk menyewa tanah harus ada uang jaminan maupun harta yang digaransikan kepada penguasa setempat. Orang Tionghoa
dilarang melakukan kegiatan di bidang pertanian, walaupun ada tanah yang telah mereka beli Greif, 1994:4.
Kebanyakan orang-orang Tionghoa terpaksa tinggal di rumah-rumah sewaan dan ada juga diantaranya mendiami rumah hak guna pakai di kota-kota. Sedangkan
tanahnya adalah miliki penguasa setempat. Dengan adanya pembatasan tersebut, disatu pihak menguntungkan penduduk pribumi setempat, sedangkan dilain pihak
menjadi faktor pendorong pula bagi orang-orang Tionghoa yang telah habis masa
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
kontraknya di perkebunan, untuk melakukan kegiatan berbisnis di kota-kota Djohan, 1981: 99-101. Akibatnya, timbulah kantong-kantong pemukiman orang-orang
Tionghoa yang bersifat eksklusif pecinan di perkotaan. Di kota Medan misalnya, dikenal dengan daerah Kanton.
Di zaman pemerintahan Orde Lama pada tahun 1956 melalui kebijaksanaan Benteng atau ‘sistem Banteng’,
37
adalah upaya untuk mempribumikan sistem ekonomi yang dipelopori oleh Mr.Assaat mantan pemimpin Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat BP-KNIP dan Menteri Dalam Negeri di masa kabinet Natsir, berusaha untuk menciptakan suatu kelas wiraswasta pribumi yang berbentuk
suatu organisasi yang dinamakan Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia KENSI, jelas merupakan peraturan yang menekan bagi orang-orang Tionghoa dalam
melakukan aktivitas berbisnis Greif, 1994: 13; Muhaimin, 1991: 136-141. Gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan “Assaatisme”. Namun dalam kenyataannya
yang dilakukan oleh gerakan Assaat, malah justeru menimbulkan dampak bentuk peluang bisnis yang lebih dikenal dengan istilah ”Ali-Baba”. Ali adalah pengusaha
pribumi yang berhak mendapat lisensi dan kredit impor namun tidak memiliki pengalaman manajemen usaha, sehingga hanya berfungsi sebagai tameng untuk
menyembunyikan Baba, pengusaha Tionghoa. Sedangkan Baba adalah pengusaha Tionghoa yang melaksanakan praktek jalannya usaha tersebut di lapangan.
38
Dalam parkateknya ternyata menimbulkan kolusi dengan para pejabat pemerintah sendiri
37
Greif, 1994: 13
38
Supriatma, 1996: 64—91; Greif, 1994: 13.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
pada waktu itu, sehingga menumbuhkan kembangkan dengan subur sistem bisnis “Ali-Baba”.
Setelah terjadi peralihan pemerintahan, dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, penekanan-penekanan terhadap warga Tionghoa bukannya berakhir tetapi terus
saja berlanjut bahkan semakin keras dirasakan. Tekanan-tekanan dimaksud menyangkut peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Orde Baru mengenai status
keberadaan warga keturunan Tionghoa di Indonesia, diantaranya seperti Jahja, 1991:39-41:
I. Inti Resolusi MPRS 1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa, Bab I
Pasal 4: “Merealisasikan dengan konsekuen larangan perangkapan
kewarganegaraan dan mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warganegara keturunan asing, dengan menghapuskan segala hambatan-
hambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonis dengan warganegara asli.”
II. Inti Instruksi Presiden no.141967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Tionghoa, yang menginstruksikan: “…Tanpa mengurangi jaminan keleluasan memeluk agama dan
menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leuluhurnya pelaksanaan
harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.”
“Perayaan-perayaan pesta agama dan adapt istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum melainkan dilakukan dalam
lingkungan keluarga.”
III. Inti Keppres 2401967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut
WNI keturunan Asing, terutama pada Bab III Pasal 3: “Pembinaan warga Negara keturunan asing dijalankan dengan melalui
proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
IV. Ketetapan MPR yang tertuang di dalam:
GBHN TAPMPR No.IV1978 Bab IVD tentang Pembauran:
“Usaha-usaha pembauran bangsa perlu ditingkatkan di segala bidang kehidupan dalam rangka memperkokoh
kesatuan dan persatuan bangsa.”
GBHN TAPMPR No.II1983 Bab IVD tentang Pembauran: “Usaha-usaha pembauran bangsa perlu lebih ditingkatkan di
segala bidang kehdiupan bai di bidang ekonomi maupun soisal dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh
persatuan dan kesatuan serta memantapkan ketahanan nasional.”
GBHN TAPMPR No.IV1988 Bab IVD tentang Pembauran:
“Usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilnjutkan di segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial
dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan
nasional.”
Priode Orde Baru merupakan masa yang menjadikan sifat “Cina’ kecinaan menjadi semakin tidak memiliki peluang di dalam masyarakat. Pada masa itu terjadi
pelarangan terhadap setiap perwujudan dan ungkapan kecinaan Chineseness. Hal ini merupakan politik cultural exorcism, mulai dari huruf Cina sampai ke pelarangan
pementasan Sampek Eng Tay, Opera Tionghoa, arak-arakan barongsay, upacara-
upacara penguburan yang mewah dan sebagainya. Bahkan tidak satu pun dalam cabinet Orde Baru yang beranggotakan seorang keturunan Tionghoa. Kebijaksanaan
pemerintah mengenai pembauran lebih diutamakan, yang menjadikan masyarakat warga keturunan Tionghoa di Indonesia semakin terpojok di bidang kehidupan sosial
budayanya. Namun di sisi lain penekanan tersebut merupakan daya dorong pula bagi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
warga masyarakat Tionghoa di Indonesia di kehidupan ekonomi. Kebijaksanaan Orde Baru justeru menjadikan orang-orang Tionghoa economical animal Onghokham,
1990:18-30. Kondisi kehidupan sosial-budaya yang dirasakan menekan bagi orang-orang
keturunan Tionghoa itu, justeru mendorong mereka untuk bergiat di bidang perekonomian. Dengan tujuan agar mereka dapat diperhitungkan dan disamakan
sebagaimana layaknya warga masyarakat Indonesia lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Djoenaedi Joesoef, salah seorang taipan yang telah berhasil di Indonesia 1996:
25: “Semangat untuk hidup tinggi, oleh sebab itu kerja keras untuk
menjaga kelangsungan atau meningkatkan usahanya. Mungkin faktor perantauan itulah yang mendorong dan mendasari kerja
keras agar survival, dan bukan ditentukan oleh budaya Cina, seperti yang dikatakan orang, bahwa itulah yang menjadi faktor
utama…Karena merasa sebagai perantau itulah maka tumbuh semangat hidup tinggi, dan mau kerja keras. Saya rasa itulah
yang menjadi salah satu kunci keberhasilannya.”
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dibuat pemerintahan Orde Baru ternyata membawa konsekuensi-konsekuensi yang demikian jauh dirasakan hingga
saat ini, terutama di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara telah memberi dampak timbulnya ideologi kesukubangsaan di kalangan warga masyarakat pribumi
lainnya. Secara kebudayaan dan bahasa lisan dan tertulis, kebudayaan dan ungkapan- ungkapannya, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi
ciri-ciri ketinghoaan mereka, juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
lainnya. Dengan mudah mereka dilihat sebagai orang asing dan diperlakukan sebagai asing dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia yang
majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Tionghoa sebagai orang asing walupun orang Tionghoa
tersebut berstatus sebagai WNI Suparlan, http:www.scripps.ohiou.edunews. Tekanan semacam ini diduga juga menjadi faktor pendorong bagi mereka agar
mereka dapat diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Tionghoa di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat. Karena
mereka itu telah berhasil membawa martabat bangsa dan negara Indonesia di mata dunia internasional dalam kancah persaingan global.
Pendapat tersebut sesuai dengan pengakuan Budiman sebagaimana dikatakannya:
“Pada zaman Suharto, orang Tionghoa tidak diperbolehkan untuk bekerja menjadi PNS, ikut meliter. Peristiwa-peristiwa
seperti itu sangat menekan orang-orang Tionghoa. Mau jadi orang pintar kalau nggak bisa jadi PNS, ataupun meliter ya mau
tidak mau sebagai pedagang. Mau bertani tidak punya lahan.”
Airin mengatakan: “Kalau mengurus KTP harus dengan bayar mahal, kalau tidak selalu mengalami kesulitan.” Sedangkan Muliadi mengatakan pengalamannya:
“Dalam pembuatan KTP, syaratnya harus memiliki akte kelahiran. Namun, sangat sukar mengurus akte kelahiran,
karena harus membayar sebanyak Rp.700.000,-. Untuk mengurus KTP saja harus nyamar, harus nyamar sebagai orang
yang beragama Islam, jika tidak sangat sulit dan akan memakan banyak biaya jadinya.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Begitu pula pendapat Sen-sen: “Membuat KTP sering kali sulit.” Menurut Xiau Xian Chi: “Susah mengurus KTP, tanda bukti nikah dan juga akte kalahiran anak.”
Pengalaman Akan lain lagi, dikatakan: “…ketika rezim Soeharto, pada tahun 1998, warga Tionghoa
merasa terpingirkan dan tidak bebas dalam melakukan kegiatan keagamaan, apalagi di saat terjadi kerusuhan pada waktu itu,
warga Tionghoa sering kali menjadi sasaran amukan massa seperti penjarahan dan penghancuran tempat usaha yang
kebetulan, saya sendiri mengalami hal tersebut. Sampai sekarang pun hal iut masih dapat saya rasakan. Warga
Tionghoa sebagai tempat pengalihan sasaran disebabkan pemerintah yang tidak mampu menanggulangi masalah
ekonomi, keadaan ekonomi carut marut, sehingga terjadi kecemburuan sosial kepada warga Tionghoa, bahkan terjadi
kesenjangan antara agama dan ras.”
Menurut Sri: “ada beberapa gangguan yang tidak mengenakan dari pemuda-
pemuda setempat yang tergabung dalam salah satu organisasi kepemudaan di daerah ini, mereka sering kali meminta uang
sebagai alasan untuk keamanan daerah di sini. Bagi warga Tionghoa hal itu sudah dianggap wajar, tetapi tetap saja hal itu
dapat mengganggu keserasian antara umat beragama khususnya, karena mereka meminta dengan perilaku yang dapat
dikatakan kurang mengenakan seperti memaksa dan mengemis.”
Rony juga mengatakan: “Dahulu di masa Orde Baru, ada yang mengancam dalam
bentuk penindasan, penipuan, dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang freeman.”
Xiau Xian Chi mengatakan: “ Pada masa pemerintahan Soeharto, masyarakat pribumi
memecahkan kaca rumah, jika di depan rumah tidak ada tertuliskan kata: ‘pribumi’. Ketika terjadi kerusuhan, kami
mensiasatinya dengan menggunakan ulos Batak dan berdiri di
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
depan pintu biar kelihatan oleh para perusuh dan agar mereka menyangka bahwa, kami adalah orang pribumi juga. Namun
mereka tetap memaksa untuk masuk kerumah, di dalam rumah mereka membongkar seluruh isi rumah, mengambilnya, ada
yang membuangnya, dan ada juga yang membakar patung- patung Dewa dan Dewi kami.”
Pengalaman Chen-chen menyatakan: “Pada zaman Soeharto, setiap ada acara seperti: kematian,
pernikahan, ataupun acara-acara keagamaan, para preman selalu datang meminta uang.”
Asui mengatakan: “Sering kali dari pihak kepolisian mencari-cari kesalahan
terhadap kegiatan kami yang dilakukan sehari-hari. Biasanya terjadi negoisasi, dan berujung keluarnya materi atau duit.”
4. 3. Pandangan Teleologis Warga Tionghoa Medan