2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat 2. 1. Pengalaman Peluang

4. 2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat

Bila ditinjau dari latar belakang sejarah keberadaan mereka, sebagaimana yang tertulis dalam berbagai literatur, ada dua hal pengalaman yang melatar belakangi kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia termasuk yang ada di kota Medan . Di satu sisi berupa pengalaman yang bersifat peluang yang berfungsi sebagai faktor penarik bagi kehidupan orang-orang Tionghoa, dan di sisi lain berupa pengalaman yang bersifat penekan yang berfungsi juga sebagai faktor pendorong bagi kehidupan orang-orang Tionghoa. Kedua pengalaman tersebut dapat ditinjau dari konteks posisi keberadaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan perjalanan sejarahnya secara temporal. Dalam hal ini dimulai sejak awal kedatangan orang-orang Tionghoa ke daerah Sumatera Timur oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan.

4. 2. 1. Pengalaman Peluang

Kebijaksanaan politik kolonial Belanda pada awalnya memberikan peluang bagi migran Tionghoa, diantaranya mengenai kebijaksanaan yang dikeluarkan dalam tahun 1854, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan status sivil terhadap orang asing termasuk orang-orang Tionghoa pada waktu itu. Orang-orang Tionghoa diposisikan sebagai warga kelas dua, orang Eropa berada pada lapisan kelas yang pertama, sedangkan penduduk pribumi waktu itu diposisikan sebagai kelas ketiga, lapisan yang terbawah. Bagi mereka yang menduduki lapisan kedua dalam ketentuan Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. hukum dagang maupun hukum perdata disamakan pula dengan orang kulit putih Eropa yang menduduki lapisan teratas. Penyamaan ini bertujuan agar para pedagang Eropa memiliki kepastian hukum dalam mengadakan jual beli berskala besar dengan para pedagang yang umumnya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa. Dalam pelaksanaannya pedagang Tionghoa diberi fasilitas khusus sebagai pengumpul pajak, dapat memonopoli penggadaian garam, dan perdagangan candu atas nama pemerintah kolonial Belanda. Mackie, 1976:12 Fasilitas dan dana yang diberikan pemerintah kolonial Belanda bagi orang- orang Tionghoa pedagang pada waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk memperluas jaringan perdagangannya hingga ke Cina seperti: peminjaman uang, pembelian bahan-bahan pokok untuk pemasaran eksport. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh perintah Belanda kepada mereka dengan tujuan agar pihak pemerintah kolonial dapat memperoleh tenaga kerja buruh yang akan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan. 35 Para pedagang Tionghoa ini dijadikan sebagai perantaranya. Sebagai kompensasi tentu saja mereka mendapatkan kemudahan fasilitas guna kelancaran peranan bisnisnya, seperti tandil kepala atau kordinator kuli-kuli Tionghoa untuk membuka kedai-kedai dengan tujuan dapat melayani para pekerja perkebunan. Dengan pengarahan dan anjuran pihak Belanda, semua karyawan diwajibkan untuk berbelanja dan berhutang di kedai tandil ini. Walaupun dengan harga yang cukup tinggi. Secara tidak langsung pihak Belanda telah memberikan 35 Termasuk gerakan Pao An Tui, suatu organisasi Cina yang dipersenjatai oleh Belanda Husodo, 1985: 59 Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. peluang dalam kegiatan bisnis orang Tionghoa untuk perkembangan selanjutnya Djohan, 1981:92-98. Pada tahun 1908 Pemerintah kolonial Belanda mulai mengizinkan berdirinya sekolah modern bergaya Eropa dengan berbahasa pengantaranya bahasa Belanda, yakni Holland Chineeshe School untuk sekolah orang-orang Tionghoa. Pihak pemerintah Belanda memberikan dukungan dengan mendatangkan tenaga pengajar dari Singapura untuk mengajar bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Di kota Medan sekolah semacam itu dibuka pada akhir abad ke-19. Setelah tamat dari sekolah tersebut beberapa warga Tionghoa boleh melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Belanda untuk alih profesi menjadi dokter atau ahli hukum Susanto, 1996:21. Pada hal waktu itu, pihak pemerintah Belanda belum ada menyediakan sekolah bagi anak- anak pribumi sendiri Bangun, 1976:84-86. Nilai-nilai moral feodalisme yang terdapat pada orang-orang Melayu pribumi pada masa lalu, seperti bujukan untuk menyenangkan hati pemimpin atau raja, berupa pemberian upeti maupun sumbangan-sumbangan lainnya, sehingga dapat melemahkan aktivitas kerja untuk kepentingan pribadi penduduk pribumi sendiri. Mereka bekerja keras semata-mata hanya demi kesenangan pemimpin raja, akibatnya mereka kurang dinamis untuk berusaha dan menggunakannya membentuk modal demi kepentingan masa depannya. Pemikiran yang menyatakan bahwa, asalkan pemimpin raja senang, membuat sikap mental untuk berjiwa hemat menjadi pupus. Hal ini menjadi kesempatan pula sebagai peluang para migran Tionghoa yang datang ke daerah ini. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. “Sikap mental yang kurang giat untuk perjuangan masa depan penduduk pribumi orang Melayu, merupakan salah satu kelemahan mereka dalam bersaing, sehingga sesudah kedatangan orang-orang Cina ke daerah Sumatera Timur merupakan kesempatan yang baik untuk menyaingi penduduk setempat. Kerja rutin yang dilakukan orang Melayu sebagai bakti untuk mendapat balas kasih raja, adalah merupakan akibat dari kepercayaan mereka yang mana sudah dijelmakan pula ke dalam bentuk hukum adat yang mereka anuti. Menurut kepercayaannya, bahwa tanah dan kekayaan alamnya adalah milik raja. Dengan terpusatnya hak milik tanah pada raja merupakan jalan mempermudah bagi orang-orang asing mendapatkannya, karena hak milik tanah hanya berada pada turunan raja.” Djohan, 1981: 61. Selain itu, anggapan para warga pribumi orang-orang Melayu di daerah ini bahwa, orang yang dapat dan pantas menjadi pedagang adalah golongan kaum bangsawan atau golongan aristokrat. 36 Namun sebaliknya, para kaum bangsawan sendiri banyak mencurahkan perahatiannya di bidang birokrasi pemerintahan , sehingga tidak berminat untuk bergerak di bidang bisnis perdagangan. Dirinya merasakan hadiah maupun upeti dari rakyat sudah mencukupi kebutuhan hidupnya. Kesempatan ini digunakan orang-orang Tionghoa sebagai peluang untuk mengembangkan aktivitas bisnis di daerah ini. Menurut pendekatan yang bersifat sosiologis, orang-orang Tionghoa bisa berkembang melakukan kegiatan berbisnis di daerah tertentu, disebabkan di daerah tersebut memang memiliki peluang. Di daerah tersebut masyarakat pribuminya tidak 36 Sebagaimana pendapat Onghokham, pada umumnya di masa lalu Perdagangan adalah monopoli Raja, lihat Prisma, Agustus, 1983: 3-19. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. ada atau kurang mampu untuk mengolah sumber daya alamnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Mely G.Tan: “…orang-orang Tionghoa kurang berperan dalam perdagangan di daerah seperti Minangkabau, Batak dan Aceh selain di ibukotanya, yang penduduk pribuminya sendiri terkenal giat dalam usaha-usha perdagangan. Gejala ini sudah diamati sejak zaman kolonial” Tan, 1996: 52-56 Peluang dalam dunia bisnis tidak hanya dialami oleh orang-orang Tionghoa di masa pemerintahan kolonial Belanda saja, bahkan dalam kehidupan di masa pemerintahan Orde Lama mereka juga memperoleh peluang-peluang tidan hanya peluang untuk bisnis tetapi juga peluang untuk berpolitik dalam pemerinthan. Di masa pemerintahan Orde Lama, dalam Kabinet 100 menteri, terdapat tiga orang keturunan Tionghoa yang menjabat sebagai menteri--- Mr.Oei Tjoe Tat, H.Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, dan Ir.David Cheng. Presiden Soekarno sendiri menyatakan warga keturunan Tionghoa itu sebagai: “suku peranakan Tionghoa” yang sama kedudukannya seperti semua orang, persis seperti kita sekarang menyebutnya sebagai: “suku Sunda”, “suku Jawa”, “suku Batak”, “suku Minang”, “suku Ambon” Tempo, 16-22 Agustus 2004: 17-33. Di masa pemerintahan Orde Baru, dalam rangka berupaya mengadakan rencana pembangunan nasional dengan fokus dasarnya adalah kehidupan ekonomi telah melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Karena minyak dan gas bumi sebagai lokomotifnya tidak bisa diandalkan lagi maka diperlukan lokomotif pengganti. Pemerintah membutuhkan peran swasta yang kuat, sementara kaum pribumi belum Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. dapat menyusun barisan bisnis yang andal. Pada hal pemerintah memberikan pelbagai fasilitas dan peluang di bidang finansial terhadap swasta baik pribumi maupun non-pribumi keturunan Tionghoa. Ternyata dalam hal ini merupakan peluang bagi pihak kalangan pengusaha swasta, terutama warga etnik Tionghoa. Sehingga para pebisnis dikalangan Tionghoa meningkat bagai deret ukur jumlahnya. Sedangkan, para pebisnis dikalangan kaum pribumi hanya tumbuh bagaikan deret hitung jumlahnya Greif, 1994: xxix. Kekuatan ekonomi non-pribumi Tionghoa jauh di atas kemampuan kaum pribumi. Terjadilah kesenjangan yang makin lebar dalam kehidupan pribumi dan non-pribumi Tionghoa Suryohadiprojo, 1991:7-14. “…Kesempatan berusaha dibuka lebar-lebar dan berbagai kemudahan diberikan pemerintah kepada para pengusaha etnis Tionghoa. Jika kita telusuri sejarah konglomerat di Indonesia, maka boleh dikatakan bahwa hampir semuanya mulai berkembang pada awal Orde Baru. Kalaupun mereka sudah memulainya sebelum itu, kebijaksanaan ekonomi pada Orde Baru memberikan ‘boost’ bagi perkembangannya” Tan, 1996:54. Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya kebijaksanaan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina, karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan orang- orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam pemerintahan Orde Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Tionghoa pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Tionghoa sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baru Nuranto 1999.

4. 2. 2. Pengalaman Penekan