Latar Belakang Masalah Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN 1.

1. Latar Belakang Masalah

Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun O’Malley, 1983:30-49. Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal Said, 1990. Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” Sinar, 1994: 25. “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” Koentjaraningrat, 1982: 246. Untuk pusat kegiatan administrasi perkatoran perkebunan, pada mulanya Jacob Nienhuys memusatkannya di kampung Labuhan, pusat perkantoran itu Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. dinamakan Deli Maatschappij Deli Mij. Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung Medan Putri pada tahun 1869. Lambat-laun kampung Medan Puteri akhirannya lebih dikenal dengan sebutan Medan saja. Sungguh sulit menjelaskan asal usul nama Medan, sebab tidak ada dokumen ilmiah yang dapat menjelaskannya. Menurut Wahid dkk, yang dikutip dari Djawatan Penerangan Kotapradja-I Medan 2005: 40, terdapat dua versi mengenai asal-usul kata “Medan”. Ada versi yang mengatakan asal usul kata “Medan” diambil dari kata ‘Medan-peperangan’, karena dahulu merupakan dataran hutan rimba, tempat dimana telah terjadi arena peperangan antara Kerajaan Deli dengan Kerajaan Aceh. Versi lain mengatakan bahwa, kata “Medan” berasal dari India “maiden”, yang artinya ‘tanah dataran’. Sedangkan kata Deli itu sendiri barasal dari kata “Delhi” yang ada di India, dan yang diduga masih ada hubungannya dengan sultan pertama, yang memerintah di kesultanan Deli, yaitu: Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Mataruludin, termasuk masih keturunan bangsawan yang memerintah di kerajaan Delhi Hidustan. Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orang- orang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung Baru dan lain sebagainya. Masing-masing wilayah kampung biasanya dipimpin oleh Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883, 1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909. 2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya Passchier, 1995: 56. Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, Medan telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota Medan. Medan terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah Medan pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah Medan menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota Medan yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 Breman, 1997. 1 Sekarang stasiun kereta api tersebut dikenal dengan stasiun kereta-api titi gantung. 2 Sekarang menjadi Bank Indonesia. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Kalau dahulunya kota Medan, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat suku-bangsa Melayu, yaitu kampung Medan Putri. Letak kampung Medan Putri ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini wilayah kampung Medan Putri sudah berubah menjadi kota Medan, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. Medan berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya. Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang Koentjaraningrat, 1982: 251. Kota Medan merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan Nas, 1979: 97-98. Pada saat ini perluasan kota Medan sudah sampai pada daerah Sunggal, Binjai, Tanjung Morawa, Tembung, Labuhan Deli, Belawan, Pancur Batu dan daerah di sekitarnya. Medan sedang menuju menjadi sebuah kota metropolitan yang terletak Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah Membidang Metropolitan Area MMA Sirojuzilam, 2005. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota Medan dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan traveltourism. Medan kini bukan hanya perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. Medan merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang Wahid, dkk., 2005: 7-8. Kendatipun perkembangan kota Medan telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan perkembangan kota-kota” Menno, 1992: 13 Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota Medan, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan. 3 Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di Medan dengan jumlah 3 Dalam hal ini saya menggunakan istilah Tionghoa sebagaimana yang disampaikan Leo Suryadinata, adalah sebutan yang mengandung pernyataan rasa sayang dan hormat untuk orang-orang Cina di Indonesia yang sudah menjadi bagian etnis dari penduduk di Indonesia. Sedangkan istilah Cina adalah sebutan yang tidak bisa dilepas dan masih berkaitan dengan tempat atau negara leluhurnya Cina Husodo, Siswono Yudo: 1985, hal.ix . Bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia kurang senang dengan istilah Cina, mereka lebih menyukai istilah Tionghoa. Banyak para sarjana yang berasal dari etnis ini dalam tulisannya dominan menggunakan istilah Tionghoa seperti: Melly G. Tan dan Leo Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys. 4 Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu dari propinsi Kwantung, Cina Selatan. Mereka dikumpulkan oleh broker-broker Keh tau, dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana Sinar, 1994:58. Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita Vleming Jr, 1989:185. Suryadinata misalnya. Disamping itu istilah Cina bagi mereka mengandung konotasi bangsa yang tidak beradab, bangsa ‘Hua-na’. Dengan menggunakan istilah Tionghoa, menurut konsepsi mereka adalah manusia yang sudah berpegang teguh pada aturan peradatan yang dianggap cukup baik Nio Joe Lan, Djakarta, 1961:34. 4 Orang-orang dari negeri Cina sebelumnya juga pernah melakukan kunjungan ke daerah ini tetapi untuk tujuan perdagangan dengan penduduk setempat. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Ada pendapat yang menyatakan orang-orang Tionghoa mau meninggalkan daerah asalnya, karena pada saat itu, suasana politik dan kondisi sosial di tempat asalnya sedang memburuk. Perebutan dinasti tengah terjadi yang menimbulkan perang saudara diantara mereka, salah satu diantaranya adalah gagalnya pemberontakan Taiping Soetriyono, 1989: 5 Kehidupan mereka di tempat asalnya dirasakan serba sulit, tanah kurang subur, penduduknya sangat padat terutama di daratan Cina bagian Selatan. Di samping itu, daerah asal mereka kerap kali terjadi bencana alam banjir. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk bermigrasi ke daerah Nan-Yang. 5 Peluang semacam itu, memberi keuntungan pula bagi pihak kolonial untuk merekrut tenaga kerja yang murah, terampil dan rajin. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda selama beberapa dekade mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian Selatan daratan Cina. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian, didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda terutama untuk dijadikan buruh perkebunan ke daerah Sumatera Timur, sedangkan orang-orang Hakka untuk dijadikan sebagai buruh tambang di daerah pertambangan timah di pulau Bangka dan Bilitung. Namun, banyak juga orang- orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Terutama ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh tentera Jepang ke daerah Cina sekitar tahun 1937-38, membuat rakyat Cina Selatan 5 Sebuah ungkapan yang menurut orang-orang Tionghoa sendiri pada waktu itu, untuk menyatakan daerah-daerah yang letaknya berada di laut di sebelah Selatan Cina, termasuk Indonesia. Menurut mereka daerah ini adalah daerah yang sangat menyenangkan, kaya akan anekaragam flora dan faunanya Siswono Yudo Husodo, 1985: 56 dan Stuart W. Greif, 1994: 1. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. selalu dicekam ketakutan. Mereka pun pada mengungsi ke daerah lain, bahkan diantara mereka berupaya meninggalkan negerinya untuk merantau Soetriyono, 1989: 30. Karena tujuan mereka memang untuk memperbaiki nasib, oleh karena itu kesungguhan untuk menduduki posisi yang dominan dalam bidang perekonomian memang mereka harapkan. Kesempatan ini diberi peluang pula oleh pemerintah kolonial.Chalida, 1975:4. Sejak kuli-kuli Tionghoa tidak lagi terikat kontrak dengan pihak perkebunan, atau pertambangan, sebagian besar dari mereka tidak pula kembali ke daerah asalnya. Mereka kebanyakan tinggal menetap di wilayah tanah Deli Sumatera Timur, terutama tinggal di daerah perkotaan seperti Medan. Mereka diberi peluang kesempatan oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu untuk bergerak di dunia bisnis. Dalam waktu yang cukup singkat mereka sudah beralih ke berbagai sektor perdagangan dan jasa Sinar, 1980, disertai dengan kegigihannya yang sungguh-sungguh sehingga sebagian besar dari mereka telah pula meningkat dan berhasil dalam usahanya. Di kota Medan, masyarakat Tionghoa telah banyak memberikan corak tertentu, yang khas terhadap perkembangan kehidupan kota Medan itu sendiri. Kendatipun masyarakat Tionghoa yang jumlahnya hanya minoritas saja, bila dibanding dengan penduduk asli pribumi, tetapi mereka sering kali dapat menguasai berbagai posisi yang strategis dan dapat pula menggerakan kehidupan sosio-ekonomi penduduk lain yang non-Tionghoa di kota ini. Baik yang bergerak di sektor produsen maupun mereka yang bergerak disektor distributor dan jasa. Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan saat ini merupakan ‘The Godfather’, khususnya di bidang ekonomi. Di Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Medan yang heterogen dan serba kompleks kehandalan mereka membuat kota Medan “menjadi suatu yang lain”. Suatu fenomena yang menarik untuk dicermati Bergerak, 1994: 4. Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota Medan, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawankaryawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota Medan dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk Medan yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota Medan tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif a creative society dalam membangun kota Medan itu sendiri. Namun di sisi lain dengan adanya “dominasi-ekonomi” orang-orang Tionghoa terhadap jaringan-jaringan perdagangan di kota Medan, yang telah memberikan keuntungan yang besar bagi mereka, dan sulit untuk diterobos, ternyata hal ini memberikan kesan yang bersifat ekslusif. Kenyataan semacam itu, menjadi pemicu pula terhadap peristiwa-peristiwa rasialis yang cukup serius. Terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa ini tidak hanya pernah terjadi di kota Medan saja Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut Husodo: 1985, hal.42: Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa. 6 Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda. 10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963. Peristiwa Aceh tahun 1966. 5 Agustus 1973 di Bandung. 7 November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur. Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984. Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta . 8 Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah 6 Huru-hara anti Cina di Solo dan Surabaya pada tahun 1912, di Kudus pada tahun 1918, di Kebumen dan tangerang pada tahun 1946 Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71. 7 Peristiwa Malari di Jakarta pada tahun 1974 Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71. 8 Sebelumnya juga pernah terjadi huru-hara anti Cina di Medan pada bulan April 1994 Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi non-Tionghoa menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orang- orang Tionghoa secara eksklusif Husodo: 1985, hal. 43. Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di Medan, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8 dari jumlah penduduk di kota Medan, namun mereka dapat menguasai 58 sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84 dari jumlah penduduk di kota Medan, hanya 40 saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi Jasin, 1978: 165-173. Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota Medan masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi, baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas Pelly, 1983:6. Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi Bergerak, 1994: 4 Pengamat lain berpendapat bahwa, keberhasilan orang-orang Tionghoa, walaupun mereka memiliki kepercayaan religius yang kuat, namun mereka tetap dapat menampilkan nilai-nilai kehidupan kota yang majemuk, moderen dan serba Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. kompleks. Mereka berhasil karena memiliki karakter hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sesuai dengan tuntutan persyaratan agar dapat menjadi sukses Husodo, 1985: 75 dan Greif, 1994: 4. Senada dengan hal itu, Mattulada juga menyatakan bahwa mereka berhasil karena mereka memiliki sikap mental yang responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman Mattulada,1980:5-18. “Bangsa Cina merupakan suatu kelompok yang penuh dengan segala macam legenda, misteri dan tradisi yang telah tua usianya…Beberapa aspek kepercayaan mereka sudah dibuktikan sesuai dengan standar ilmiah yang sangat penting bagi Dunia Barat, tetapi di antaranya masih dalam proses pengujian. Sering kali kita temukan bahwa orang Cina sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya mendasari tingkah laku dan kebiasaan mereka tersebut. Semua itu sudah terbentuk sejak berabad-abad yang lalu, dan mereka tetap mempertahankan ajaran yang menerangkan gaya hidup yang bersangkutan … Mereka tergolong bangsa yang paling tidak dikenal dan paling kurang dimengerti … mereka merupakan etnik langka yang masih dapat mempertahankan tradisi dan kepercayaannya yang telah berusia ribuan tahun, namun pada waktu bersamaan telah mampu menyesuaikan diri dalam abad computer sekalipun… “ Bloomfield, 1986: 20. Para ahli lain pun berpendapat bahwa kendatipun budaya Eropa yang memacu kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan moderen, serta kegiatan ekonomi yang pesat, namun etos Timur yang diwarnai ajaran Konfusius dirasakan masih tetap kuat menguasai kehidupan perekonomian Sudiarja, 1996:1. Upaya pengkombinasian antara nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai yang moderen semacam itu, mirip dengan logika yang terdapat di dalam bentuk sistem kepercayaannya. Dalam kehidupan religius, mereka mengenal sinkretisme. Mereka Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. penganut lebih dari satu kepercayaan sekaligus sinkretisme, seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau San Chiao Wei Yi ketiga agama adalah satu Hadiluwih, 1994: 207-208. Mereka juga tetap mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, yang dikenal dengan kepercayaan shenisme. 9 Selain itu mereka mempercayai adanya “Pe’ Kong”, mereka juga percaya akan adanya “Datuk Kong”. Pada hal ”Datuk Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal dan dianggap Muslim pula. Sedangkan “Pe’ Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas Konfusianis, namun keduanya baik “Pe’ Kong” maupun “Datuk Kong” keduanya ternyata mereka percayai secara terkombinasi. Keduanya dapat harmonikan dalam sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi khas dan unik. Seni sinkretisasi semacam itu, merupakan seni kearifan filosofis hidup mereka, yang mereka warisi dari gerasi sebelumnya. Logika yang semacam itu merupakan hal yang wujudnya abstrak dan tersembunyi seakan-akan tanpa disadari oleh mereka sendiri. Namun aplikasinya dalam perilaku kehidupan sehari-hari dapat menjadi daya energi bagi prinsip-prinsip hidupnya. Hal semacam itu juga pernah dilakukan oleh To Thi Anh, yang berupaya merajut antara pemikiran Barat dan pemikiran Timur dalam karyanya. 10 Kasus seni mengkombinasikan semacam itu adalah upaya ekspresi yang dilandasi oleh latar belakang nilai filosofis kulturalnya, yakni kerangka pikir filosofis 9 Cheu Hock-Tong, 1982-83:203, Bloomfield, 1986:39, Gondomono, 1995:91. 10 To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni ?, Jakarta: Gramedia, 1984. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. yin-yang. Sebab nilai-nilai filosofis yin-yang, memiliki logika daya kemampuan untuk mendorong terjadinya perubahan tetapi tetap memiliki kekhasan aslinya. Logika yin-yang mengandung dinamika-akumulasi semacam akulturasi. Kombinasi semacam itu bertujuan dalam rangka mencari keseimbangan harmoni, terhadap dua nilai atau lebih yang saling berbeda dan bertentangan, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Menurut J.C. Cooper nilai yin maupun nilai yang dalam filosofis yin-yang dapat berkembang lagi menjadi nilai yin-minor dan nilai yang-mayor bagaikan hukum matetis seperti deret ukur berkelipatan dua. 11 Warga masyarakat Tionghoa dalam merespon pembangunan, pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di kota Medan seringkali memperoleh keberhasilan dalam hidupnya. Kendatipun status sosial mereka seringkali termarjinalisasi. Namun prinsip so untuk sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi tidak pernah pupus dalam hidupnya walau dimanapun mereka itu berada. Hal ini dimungkinkan karena adanya dorongan semacam daya energi ch’i sebagaimana layaknya hukum li yang terkandung dalam nilai-nilai yin-yang. Pada satu pihak, mereka tetap dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan warisan leluhurnya. Sedangkan di lain pihak, mereka harus terbuka terhadap kemungkinan yang ada, agar dapat merespons berbagai perobahan yang bakal dan yang sedang terjadi. 12 11 J.C. Cooper, 1981:33-56. 12 Lihat Bloomfield 1986: 10 yang menerangkan bahwa, ch’i adalah energi yang mendorong gerakan yin-yang menjadi hukum atau li sehingga menimbulkan prinsip yang matematis atau so. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan yang demikian patuhnya. merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yang. Sedangkan respons terhadap kemungkinan yang ada dan terjadi untuk diadopsi sehingga terjadi perobahan mirip dengan nilai Yin. Pengalaman sejarah adalah pelajaran, yang tidak mudah untuk dilupakan, dan merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yang. Masa depan, merupakan aplikasi dari nilai- nilai Yin, adalah harapan yang harus diraih dan harus diperjuangkan agar dapat mencapainya. Kombinasi antara nilai Yang dan nilai Yin inilah, faktor hukum yang menimbulkan reaksi energi sehinga mereka berprinsip untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi adalah upaya mereka merespons kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi dalam kehidupan ini. Termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi pada perkembangan di kota Medan. To Thi Anh berpendapat bahwa: perbedaan antara nilai budaya Timur dan nilai budaya Barat seharusnya tidak dipertentangkan. Tetapi sebaliknya, keduanya harus diharmonikan menjadi pasangan yang saling melengkapi 1984. Dalam hal ini, tawaran yang di sampaikan To Thi Anh bukan didasarkan pada pandangan dan sikap yang bersifat netral, namun justeru dia berangkat dari latar belakang nilai budaya Timur itu sendiri, yakni: nilai-nilai filosofis yin-yang. Yang terdapat di dalam ajaran Kofusius, Budha, dan Tao. Dengan berlandaskan sistem berpikir filosofis yin- yang, To Thi Anh berhasil membangun sebuah sistem pemikirannya, kreativitas intelektualnya. Kasus tersebut membuktikan bahwa, nilai filosofis yin-yang ternyata memiliki kekuatan untuk membentuk sikap mental dan sistem berpikir individu Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. warga masyarakatnya. Termasuk To Thi Anh sendiri, ketika memaparkan pemikirannya dilandasi oleh pemikiran binnary opposition sebagaimana yang terdapat dalam ajaran filosofis yin-yang. Betapa kuat nilai-nilai filosofis yin-yang, sehingga kreativitas berpikirpun seperti—To Thi Anh, salah seorang intelektual— ternyata juga dipengaruhi oleh logika Yin-Yang ini. Namun pendapat dan sikap intelektual To Thi Anh tersebut telah membuktikan bahwa di dalam dirinya sudah menganggap, nilai budaya Barat memiliki keunggulan tersendiri dan merupakan saingan atau ancaman bagi nilai budaya Timur. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik antara kedua nilai budaya tersebut maka solusinya, dia berupaya merespons, dengan cara mengkombinasikan antara keduanya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan penulis sendiri, ternyata masyarakat. Tionghoa di Medan dalam kehidupan religiusnya, juga memiliki logika filosofis yin-yang. Keyakinan kepada Pekong, yang merupakan kepercayaan asli leluhur mereka, tidak pernah dipertentangkan dengan kepercayaan terhadap makhluk supra-alami lokal yang mereka sebut Datuk. Kendatipun Datuk adalah makhluk supra-alami beragama Islam, sedangkan mereka sendiri bukan beragama Islam. Dalam kenyataan seperti ini, jelas masyarakat Tionghoa di Medan juga memiliki sistem berpikir yang bersifat a`la yin-yang. Pekong dan Datuk mereka sintesakan menjadi sistem kepercayaan yang khas dan unik Agustrisno, 2005. Datuk juga dianggap suatu makhluk gaib yang diyakini keberadaannya, setiap saat dapat mengancam kehidupan mereka. Untuk merespons hal tersebut mereka dapat Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. mengadopsinya dengan upaya mengkombinasikannya sehingga menjadi kepercayaan yang baru, khas, dan unik. Keberhasilan mereka dalam merespons kemungkinan- kemungkinan yang bakal ada dan terjadi terutama terhadap proses perkembangan di kota Medan diduga mempunyai indikasi yang sama semacam itu. Kecuali nilai-nilai tradisi, kepercayaan, dan budaya yang mereka warisi dari generasi sebelumnya, mereka juga mewarisi pengalaman sejarah keberadaan status sosial mereka selama di bumi Indonesia. Baik pengalaman suka maupun duka yang dirasakan berupa bentuk tekanan sosial ataupun berupa peluang kesempatan yang pernah dialami sebelumnya. Banyak bukti-bukti yang menjelaskan hal tersebut, yang telah ditulis oleh berbagai kalangan. Apakah tekanan akibat peperangan maupun diskriminasi hukum, politik, ekonomi, dan sosial-budaya terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Salah satu bukti diantaranya adalah dimasa pemerintahan kolonial; orang-orang Tionghoa dipisahkan dari penduduk pribumi. Baik dalam hal hukum maupun perlakuannya oleh pihak kolonial Belanda sesuai dengan Ordonasi dalam Staatsblad Nomor 17 Tahun 1917, yang diberlakukan mulai 1 Mei 1917 Soetriyono, 1989: 9-10. Hal inilah juga melatar belakangi salah satu kenyataan historis dari status sosial kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah Belanda membuat kantong-kantong pemukiman yang khusus untuk mereka, menyebabkan orang-orang Tionghoa mempertahankan kehidupannya secara eksklusif Chalida, 1975: 8. Keadaan semacam itu ternyata terus berlanjut di alam kemerdekaan Negara Indonesia. Walaupun sejak peristiwa reformasi sudah dikumandangkan, dan diskriminasi secara hukum mulai dihilangkan, namun Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. sebagaimana menurut Parsudi Suparlan, ideologi kesukubangsaan ternyata belum sepenuhnya hilang. Etnis Tionghoa masih sering disudutkan dan selalu ditempatkan dalam posisi sebagai etnis asing atau etnis yang berasal dari luar Indonesia Suparlan . 13 Jika nilai-nilai tradisi, kepercayaan, dan budaya merupakan aspek kultural masyarakat Tionghoa, maka yang dimaksud dengan aspek strukturalnya adalah keberadaan, posisi atau status sosial orang-orang Tionghoa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu keberadaannya di dalam masyarakat kota Medan. Kombinasi antara aspek kultural dan aspek struktural inilah yang diduga, telah menimbulkan orientasi teleologis atau arahan bagi masyarakat Tionghoa yang hidup di kota Medan. Mereka memiliki kepandaian untuk menginterpretasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi di kota Medan. Kedua aspek inilah yang menjadikan faktor pendorong kebolehan mereka untuk membentuk pandangan teleologisnya, seperti memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi tersebut. Kendatipun pandangan teleologis tersebut keberadaannya tidak jelas bagi kita, samar-samar, bahkan dapat dikatakan gelap sama sekali bagi kita. Namun bagi mereka seakan-akan sudah dapat terbayangkan kemungkinan- kemungkinan yang ada dan akan terjadi. Sebagaimana menurut pendapat Berkeley, “Esse est percipi” ada itu sama dengan ditanggap, sebenarnya ada itu berarti ada dalam tanggapan dan pikiran mereka Alisjahbana, 1981: 45. Pandangan teleologis semacam itu hampir sama dengan pengertian kebudayaan menurut pendapat Parsudi 13 http:www.scripps.ohiou.edunewscmddartikel_ps2.htm Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008. Suparlan. Dalam hal ini kebudayaan didefinisikan oleh Parsudi Suparlan, sebagai: “keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkuangan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”. Oleh karena itu kebudayaan berfungsi dapat menjadikan seseorang individu membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan yang terjadi, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya 1981. Dengan demikian kebudayaan dipahami sebagai faktor stimulus bagi seseorang individu atau suatu warga masyarakat yang berasal dari pengalaman hidup dalam lingkungannya dan sekaligus juga sebagai faktor pendorong keinginan atau motivasinya. Disebabkan adanya pandangan teleologis inilah, yang menjadikan faktor pendorong ataupun menjadi faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Pandangan teleologis tersebut dapat diperoleh oleh seorang individu, yaitu dengan jalan latihan dan belajar dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya Wahyudi, 1993: 19. Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.

1. 2. Perumusan Masalah.