4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji yaitu mengenai penggunaan campur kode yang terdapat dalam sinetron
Ganteng-ganteng Serigala
. Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah bentuk campur kode yang terdapat dalam sinetron
Ganteng-ganteng Serigala
? 2.
Bagaimanakah jenis campur kode yang terdapat pada sinetron
Ganteng- ganteng Serigala
?
1.3 Batasan Masalah
Penelitian campur kode yang terdapat dalam sinetron
Ganteng-ganteng Serigala
dibatasi pada tinjauan terhadap bentuk campur kode yang dikemukakan oleh Suwito, yaitu penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, frasa, baster,
pengulangan kata, ungkapan atau idiom, dan klausa. Selain itu, penelitian ini akan meninjau jenis campur kode yang terdapat dalam sinetron tersebut
.
Peneliti hanya mengkaji unsur bahasa Inggris dan bahasa Betawi. Hal ini dikarenakan unsur
asing yang dominan menyisip ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam
sinetron tersebut adalah bahasa Betawi dan bahasa Inggris.
Mengingat jumlah episode dalam sinetron ini begitu banyak maka peneliti melakukan pembatasan terhadap jumlah episode yang akan diteliti. Episode yang
akan diteliti sebanyak 15 episode. Pemilihan episode dilakukan secara acak dengan memilih episode yang lebih banyak menampilkan tokoh Ibu Galang
5
Mamski karena tokoh tersebut banyak menggunakan campur kode dalam pertuturannya.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1
Mendeskripsikan bentuk-bentuk campur kode dalam sinetron
Ganteng- ganteng Serigala.
2 Mendeskripsikan jenis campur kode yang terdapat dalam sinetron
Ganteng-ganteng Serigala.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi keilmuan bahasa Indonesia mengenai campur kode. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat menjadi bukti
bahwa campur kode juga digunakan dalam tayangan sinetron.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa Departemen Sastra Indonesia mengenai campur kode yang
terdapat dalam sinetron
Ganteng-ganteng Serigala.
6
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut
Kridalaksana, 1984:106.
2.1.1 Kode
Menurut Kridalaksana 1984:102 kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, bahasa manusia
adalah sejenis bahasa kode. Kode adalah sistem bahasa dalam suatu masyarakat. Kode juga dapat berarti variasi tertentu dalam suatu bahasa. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan kode adalah lambang ungkapan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk menggambarkan makna tertentu suatu bahasa.
2.1.2 Campur Kode
Campur kode adalah penggunaan bahasa dengan mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi bahasa itu.
Misalnya, seorang penutur menggunakan bahasa Indonesia dengan menyisipkan kata-kata dari bahasa asing dalam bahasa tersebut. Penggunaan bahasa seperti ini
dapat dikatakan campur kode. Thelender dalam Chaer dan Agustina, 2010:115 mencoba menjelaskan
perbedaan alih kode dengan campur kode. Menurutnya, bila suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka
7
peristiwa tersebut disebut alih kode. Namun apabila suatu peristiwa tutur, klausa- klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran
hybrid clauses, hybrid phrases
, dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur
kode.
2.1.3 Sinetron
Sinetron merupakan film yang dibuat khusus untuk penayangan di media elektronik seperti televisi KBBI, 2008:1312. Sinetron berasal dari singkatan
sinema elektronik. Sinetron di Indonesia mengalami perkembangan, baik yang bertema percintaan, misteri, fantasi, supranatural, dan sebagainya. Hampir semua
stasiun televisi seperti RCTI, SCTV, INDOSIAR, MNCTV dan sebagainya menayangkan sinetron..
Tayangan-tayangan sinetron ini dapat mempengaruhi pola tingkah laku penontonnya sehingga tayangan sinetron seharusnya berisikan motivasi yang baik
dan pengetahuan. Namun seiring perkembangan zaman, sinetron di Indonesia menjadi sangat memprihatinkan karena terdapat beberapa unsur yang
dikhawatirkan dapat merusak tingkah laku dan bahasa. Contohnya, sinetron
Ganteng-ganteng Serigala,
sinetron
Diam-diam Suka,
sinetron
Emak Ijah P engen ke Mekah
menggunakan satu bahasa yang disisipi istilah dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Penggunaan bahasa seperti ini dalam sinetron biasa
dilakukan untuk menaikkan minat penonton terhadap sinetron tersebut.
8
2.2 Landasan Teori
Teori yang relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut.
2.2.1 Sosiolinguistik
Menurut Chaer sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang erat.
Sosiologi merupakan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada, sedangkan linguistik berusaha mempelajari mengenai
bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan pengguna bahasa itu di dalam masyarakat Chaer,
2004:2. Menurut Nancy Parrot Hickerson dalam Chaer 2004:4 sosiolinguistik
merupakan pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik
meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa. Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji hubungan bahasa dengan penutur di dalam lingkungan sosial.
2.2.2 Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Bilingualisme merupakan salah satu gejala kebahasaan yang berkembang dari
masa ke masa karena peristiwa kontak bahasa.
9
Secara harfiah, bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Menurut Chaer 2004:84, bilingualisme diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang
lain secara bergantian.
Prawiroadmodjo dalam Aslinda 2010:25 mengatakan bahwa ciri yang menonjol
dalam sentuhan
bahasa adalah
terdapatnya kedwibahasaan
bilingualisme atau keanekaragaman bahasa multilingualisme. Jadi peristiwa gejala bahasa itu tampak menonjol dalam wujud kedwibahasaan. Kedwibahasaan
adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur
parole
sedangkan kontak bahasa lebih cenderug terjadi pada gejala bahasa
langue
. Pada prinsipnya,
langue
adalah sumber dari
parole,
maka dengan sendirinya kontak bahasa akan terjadi pada kedwibahasaan.
Menurut Oscar dalam Aslinda, 2010:25 kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perorangan, tetapi juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai
alat perhubungan di antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Suwito mengatakan masyarakat yang menggunakan dua
bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bilingualisme merupakan salah satu gejala bahasa yang terjadi karena penggunaan dua bahasa atau lebih oleh
seorang penutur atau kelompok masyarakat.
10
2.2.3 Campur Kode
Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di
dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom sapaan dan sebagainya Kridalaksana, 1984:32.
Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi infomal. Dalam situasi bahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat
campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata
atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing Aslinda, 2010:87. Menurut Rokhman 2013:38 ciri lain dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa
atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan
oleh Suwito yang mengatakan bahwa campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, masing-masing telah meninggalkan
fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disusupinya
.
Berdasarkan unsur- unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1985:78 membedakan
campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata merupakan morferm atau kombinasi morferm yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas
11
Kridalaksana, 1984:89. Bahasa Indonesia memiliki empat kategori kata atau kelas kata, yaitu 1 kata nomina, 2 kata verba, 3 kata adjektiva dan 4 kata
adverbia. 2.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa. Frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa maksudnya penyisipan unsur frasa yang disisipkan ke dalam kalimat inti. Frasa
dapat digolongkan menjadi empat yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa adverbial dan frasa preposisi Ramlan, 1980:128.
3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan bahasa yang
dimasukinya. 4.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata. Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi.
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata artinya pengulangan kata ke dalam bahasa inti dari suatu kalimat.
5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing- masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain
atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya
.
Penyisipan unsur-unsur
12
yang berwujud ungkapan atau idiom merupakan penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi dari sepihan bahasa inti yang dimasukinya.
6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari predikat yang dapat disertai dengan Subjek, Objek, Pelengkap,dan Keterangan. Subjek, Objek,
Pelengkap dan Keterangan pada klausa bersifat mana suka yang dapat muncul ataupun tidak.
Suwito 1985: 75 membedakan campur kode menjadi dua golongan, yaitu campur kode ke dalam
inner code-mixing
dan campur kode keluar
outer code- mixing
. Campur kode ke dalam adalah campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau serumpun dan campur kode ke luar adalah campur
kode yang unsurnya bersumber dari bahasa asing. Penelitian ini akan mengkaji berdasarkan bentuk dan jenis campur kode
yang dikemukakan oleh Suwito. Hal ini dilakukan karena teori tersebut cocok dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai campur kode sudah sering dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Miyerni Sitepu 2007 dalam skripsinya yang berjudul
“Campur Kode dalam majalah
Aneka Yess
”. Teori yang digunakan peneliti tersebut sama dengan teori yang akan digunakan oleh peneliti yaitu teori campur
kode yang dikemukakan oleh Suwito. Dalam hasil penelitiannya, peneliti tersebut menggolongkan datanya berdasarkan bentuk kata, frase, baster, pengulangan kata,
dan ungkapan. Dalam penelitiannya, dia mengatakan bahwa campur kode
13
memiliki pengaruh yang positif dan pengaruh yang negatif terhadap bahasa karena dapat menambah kosakata dan merusak perkembangan bahasa yang ada.
Yuningsih 2012 dalam skripsinya yang berjudul “Campur Kode dalam Tabloid
GAUL
”. Penelitiannya membahas mengenai bentuk dan pengaruh campur kode. Teori yang digunakan peneliti tersebut dalam penelitiannya adalah teori
campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Teori yang digunakan peneliti tersebut relevan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Dalam hasil
penelitiannya, bentuk campur kode ada yang berwujud kata, frasa, baster, dan ungkapan, sedangkan pengaruhnya yaitu berupa interfrensi dan integrasi.
Penelitian mengenai tema campur kode ini juga pernah dilakukan oleh Eko Mandala Putra 2012 dal
am skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan Campur Kode dalam Ceramah Y. M. Bhiksu Uttamo”. Metode yang digunakan
peneliti dalam mengumpulkan data adalah metode simak, kemudian dilanjutkan dengan teknik sadap, teknik rekam dan teknik catat. Metode pengumpulan data
yang dilakukan oleh peneliti tersebut akan digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data karena peneliti tersebut dengan peneliti memiliki kesamaan
sumber data yaitu sumber data lisan. Murliati 2013 dalam artikelnya yang berjudul
Campur Kode Tuturan Guru Bahasa Indonesia dalam Proses Belajar Mengajar: Studi Kasus di Kelas VII SMP
Negeri 20 Padang
. Menggunakan teori campur kode yang dikemukakan oleh Nursaid dan Marjusman Maksan yang mengatakan arah campur kode terbagi dua
jenis yaitu campur kode ke dalam
inner code mixing
dan campur kode ke luar
outer code mixing
. Dalam artikel tersebut, peneliti mengatakan bahwa campur
14
kode terbagi tiga bagian yaitu campur kode ke dalam, campur kode ke luar dan campur kode ke dalam dan ke luar. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa bentuk
satuan bahasa yang dominan mengalami campur kode adalah kata sedangkan bentuk satuan bahasa yang jarang mengalami campur kode adalah satuan bahasa
berupa frasa. Rumusan masalah yang dibahas dalam artikelnya tersebut relevan dengan salah satu rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Selain itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan referensi tambahan dalam mengkaji jenis campur kode yang akan dibahas dalam penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti karena penelitian tersebut mengkaji masalah yang sama dengan apa yangakan diteliti oleh peneliti.
Dari beberapa penelitian yang relevan di atas, dapat digambarkan bagaimana peristiwa kebahasaan khususnya mengenai campur kode itu terjadi.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya.
Namun dari penelitian sebelumnya belum ada yang meneliti peristiwa
campur kode yang terdapat pada sinetron. Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian kali ini merupakan penelitian
lanjutan atau perkembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian