Campur Kode Landasan Teori

10

2.2.3 Campur Kode

Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom sapaan dan sebagainya Kridalaksana, 1984:32. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi infomal. Dalam situasi bahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing Aslinda, 2010:87. Menurut Rokhman 2013:38 ciri lain dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Suwito yang mengatakan bahwa campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disusupinya . Berdasarkan unsur- unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1985:78 membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain: 1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata merupakan morferm atau kombinasi morferm yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas 11 Kridalaksana, 1984:89. Bahasa Indonesia memiliki empat kategori kata atau kelas kata, yaitu 1 kata nomina, 2 kata verba, 3 kata adjektiva dan 4 kata adverbia. 2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa. Frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa maksudnya penyisipan unsur frasa yang disisipkan ke dalam kalimat inti. Frasa dapat digolongkan menjadi empat yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa adverbial dan frasa preposisi Ramlan, 1980:128. 3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster. Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan bahasa yang dimasukinya. 4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata. Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata artinya pengulangan kata ke dalam bahasa inti dari suatu kalimat. 5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom. Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing- masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya . Penyisipan unsur-unsur 12 yang berwujud ungkapan atau idiom merupakan penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi dari sepihan bahasa inti yang dimasukinya. 6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa. Klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari predikat yang dapat disertai dengan Subjek, Objek, Pelengkap,dan Keterangan. Subjek, Objek, Pelengkap dan Keterangan pada klausa bersifat mana suka yang dapat muncul ataupun tidak. Suwito 1985: 75 membedakan campur kode menjadi dua golongan, yaitu campur kode ke dalam inner code-mixing dan campur kode keluar outer code- mixing . Campur kode ke dalam adalah campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau serumpun dan campur kode ke luar adalah campur kode yang unsurnya bersumber dari bahasa asing. Penelitian ini akan mengkaji berdasarkan bentuk dan jenis campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Hal ini dilakukan karena teori tersebut cocok dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2.3 Tinjauan Pustaka