Putusan Peradilan Agama dan Upaya Hukum Kasasi
66 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
67 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Dari seluruh perkara kasasi perdata agama dari tahun 1991 sd 2007, putusan yang diambil sebagai sampel adalah putusan yang dikabulkan,
ditolak, dan ditolak dengan perbaikan, karena ketiga bentuk putusan tersebut bermuatan dasar-dasar pertimbangan hukum materiil baik hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, qaul ulama, kaidah fikih, maupun peraturan perundang-undangan. Dikecualikan dari itu, perkara izin
perkawinan, pembatalan talak, rujuk, dan mahar tidak diambil sebagai sampel. Keempat jenis perkara tersebut tidak mengandung pemikiran
hukum Mahkamah Agung disebabkan dari sejak tingkat pertama kasusnya sebagian cacat formil dan sebagian lainnya mengandung alasan-alasan yang
tidak dapat dibuktikan. Di samping itu, perkara wakaf, hibah, wasiat, nazar, dan perlawanan eksekusi tidak diambil sebagai sampel dengan
pertimbangan bahwa perkara perlawanan eksekusi tidak mengandung hukum materiil, melainkan hukum formil, sedangkan empat perkara lainnya
walaupun berhubungan dengan hukum kewarisan akan tetapi tidak murni mengenai hukum kewarisan.
Untuk lebih menggambarkan kinerja Mahkamah Agung dalam menyelesaikan perkara bidang hukum perdata Islam, sebelum menganalisa
pemikiran hukum Mahkamah Agung, perlu dideskripsikan beberapa hal berikut; Pertama, mengenai waktu penyelesaian perkara di Mahkamah
Agung; Kedua, putusan-putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dikuatkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung; dan Ketiga,
jenis-jenis dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung.
Pertama, asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dimuat dalam Pasal 2 ayat 4 UU Kekuasaan Kehakiman adalah sederhana, cepat
dan biaya ringan.
97
Mahkamah Agung menjabarkan asas cepat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1998 bahwa setiap perkara
harus diselesaikan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sejak perkara didaftar.
98
Berdasarkan data perkara perkawinan dan waris, batas waktu penyelesaian perkara tersebut secara umum sudah dapat dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Akan tetapi, Mahkamah Agung belum dapat memenuhi asas cepat yang dimaksud dalam
undang-undang tersebut. Gambaran perbandingan jangka waktu penyelesaian perkara hukum keluarga dan hukum waris di Pengadilan
97
UU Nomor 48 Tahun 2009, dalam http:www.theceli.comdokumenproduk196419-1964.htm, diakses tanggal 1452010
98
Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung RI Tahun 1955 sd 2009 Jakarta: Sekertariat Jenderal
Mahkamah Agung RI, 2009, 704.
68 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung dapat dilihat dalam diagram 3.1:
Diagram 3.1 Perbandingan Waktu Penyelesaian Perkara dalam Hukum Perkawinan
Rata-rata Per Tahun dalam Satuan Bulan antara Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
Diagram tersebut menunjukkan bahwa jangka waktu penyelesaian perkara dalam bidang hukum perkawinan di Pengadilan Agama sejak tahun
1991 sd 2007 relatif konstan di bawah enam bulan, kecuali pada tahun 1995 dan 1997 mengalami penundaan mencapai rata-rata tujuh bulan. Demikian
halnya di Pengadilan Tinggi Agama, jangka waktu penyelesaian perkara pada umumnya di bawah enam bulan, kecuali pada tahun 1992, 1993 dan
1996 mengalami perlambatan mencapai waktu 11 bulan dan 7 bulan. Sedangkan penyelesaian di Mahkamah Agung tidak konstan dan naik turun
antara 11 bulan dan 39 bulan.
Penyelesaian perkara di bidang hukum kewarisan dapat dilihat dalam diagram 3.2:
5 3
4 3
7 5
7 4
4 4
4 5
4 4
5 4
5 6
11 11
6 6
7 6
5 6
5 5
5 4
5 4
5 4
13 11
11 20
24 19
22 19
19 31
39 36
20 19
12 14
14 29
30 30
32 40
35 37
32 32
44 50
50 40
33 25
27 27
19911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007 PA
PTA MA
PA-MA
69 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Diagram 3.2 Perbandingan Waktu Penyelesaian Perkara Waris Rata-rata Per
Tahun antara Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan
Mahkamah Agung
Dalam diagram di atas dapat dibaca bahwa proses penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama rata-rata di bawah sepuluh bulan secara
konstan, demikian halnya proses penyelesaian di Pengadilan Tinggi Agama. Bahkan Pengadilan Agama dapat menyelesaikan perkara dalam waktu 1-6
bulan sebanyak 56,40 dan Pengadilan Tinggi Agama sebanyak 49,74 , kecuali pada periode antara tahun 1992-1993 yang melampaui sepuluh
bulan. Lain halnya di Mahkamah Agung, penyelesaian perkara menghabiskan waktu rata-rata 32 bulan, bahkan pada tahun 2000 rata-rata
mencapai di atas 60 bulan. Perkara yang dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung dalam jangka waktu enam bulan ke bawah hanya mencapai 2 .
Akan tetapi, sejak tahun 2005 mulai nampak percepatan penyelesaian di bawah 20 bulan, bahkan pada tahun 2007 rata-rata hanya membutuhkan 12
bulan. Peningkatan percepatan penyelesaian perkara di Mahkamah Agung
9 5
14 7
11 9
6 6
6 6
6 7
7 6
5 7
8 9
11 16
8 9
8 9
8 7
5 6
7 9
4 5
6 6
19 36
20 25
30 25
31 22
31 62
59 51
39 25
16 19
12 41
59 54
47 53
48 49
45 51
77 72
70 59
38 30
36 30
19911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007 PA
PTA MA
PA-MA
70 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
tersebut cukup positif bagi pencari keadilan, walaupun belum memenuhi standar 6 bulan. Sedangkan waktu yang dibutuhkan para pencari keadilan
dari sejak proses di Pengadilan Agama sampai dengan di Mahkamah Agung membutuhkan rata-rata 52 bulan, dan mencapai puncaknya pada tahun 2000
mencapai rata-rata 70 bulan. Perbedaan percepatan penyelesaian perkara di PA, PTA dan MA menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk mengetahui
secara rinci faktor apa yang menyebabkan lambatnya penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Apakah faktor human error atau faktor sistem
manajemen yang terlalu berbelit-belit.
Kedua, salah satu tugas Mahkamah Agung adalah memeriksa dan mengadili perkara kasasi. Tugas tersebut merupakan fungsi pengawasan
Mahkamah Agung terhadap pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dalam penerapan hukum. Putusan pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tingkat banding dapat dikuatkan, dibatalkan atau dikuatkan dengan perbaikan pertimbangan hukum danatau amar putusan.
Persentase putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang dibatalkan sangat kecil
dibandingkan dengan putusan di bidang kewarisan. Hal ini menunjukkan masih tingginya kesalahan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama dalam menerapkan hukum, baik hukum formil maupun hukum materil, dalam kasus kewarisan. Untuk lebih jelasnya, perbandingan putusan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang dibatalkan dan dikuatkan oleh
Mahkamah Agung dapat dilihat dalam diagram 3.3 di bawah ini:
71 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Diagram 3.3 Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
dalam Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan yang Dikuatkan dan Dibatalkan oleh Mahkamah Agung
Diagram tersebut menggambarkan perbandingan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang
dikuatkan oleh Mahkamah Agung berjumlah 71 , sedangkan putusan dalam bidang kewarisan sebanyak 54 . Gambaran lainnya, putusan
Pengadilan Agama danatau Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang dibatalkan sebanyak 29 dan di bidang kewarisan
sebanyak 36 .
Pembatalan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan disebabkan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama salah menerapkan hukum formil danatau hukum materiil. Dalam bidang hukum perkawinan,
71
54
4 14
12 22
12 10
Bidang hukum Perkawinan Bidang hukum kewarisan
Put.PA dan PTA dikuatkan Put.Pa dan PTA dibatalkan
Put.PA.dibatalkan Put.PTA dibatalkan
72 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
pembatalan disebabkan karena kesalahan penerapan hukum formil sebanyak 55 dan kesalahan penerapan hukum materiil 45 . Sedangkan dalam
bidang hukum waris, pembatalan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama disebabkan kesalahan hukum formil 72 dan
kesalahan menerapkan hukum materil 28 . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram 3.4:
Diagram 3.4 Persentase Kesalahan Hukum Formil dan Hukum Materiil dalam
Putusan PA dan PTA di Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan
Jumlah putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dibatalkan sejak tahun 1991 sd 2007 tidak menunjukkan penurunan
secara linear. Hal tersebut dapat dilihat dalam diagram 3.5:
55 72
45
28
Putusan bidang hukum perkawinan Putusan bidang hukum waris
Kesalahan hukum formil Kesalahan hukum materiil
73 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Diagram 3.5 Perbandingan Putusan PA dan PTA yang Dikuatkan dan yang
Dibatalkan Oleh Mahkamah Agung Sejak 1991 sd 2007
Diagram di atas menunjukkan bahwa baik putusan Pengadilan Agama dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama tidak bergerak menurun
secara linear, akan tetapi bergerak naik-turun dan tidak konstan. Hal tersebut dapat disebabkan dua hal. Pertama, Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama selama 17 tahun tidak melakukan perbaikan dalam proses mengadili – seharusnya dalam jangka 17 tahun Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mempelajari kesalahan-kesalahan dan koreksi dari Mahkamah Agung sehingga tidak terulang kembali
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam penerapan hukum. Kedua, kemungkinan putusan Mahkamah Agung yang tidak konsisten sehingga
sulit diprediksi kriteria penerapan hukum yang benar menurut Mahkamah Agung. Dari data-data yang digunakan terdapat indikasi faktor kedua sangat
mempengaruhi putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung mengenai
10 20
30 40
50 60
70 80
1991 1992
1993 1994
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 K.PA-PTA
B.PA-PTA B.PA
B.PTA
74 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
pengertian kurang pihak dalam putusan waris dan pengesahan nikah yang tidak konsisten.
Dalam beberapa kasus, permohonan pengesahan nikah yang dilakukan secara volunter dibenarkan, dalam beberapa kasus lainnya
dibatalkan karena dianggap tidak tepat. Demikian dalam kasus waris, gugatan waris yang tidak mendudukkan seluruh ahli waris sebagai pihak,
dalam sebagian putusan Mahkamah Agung menyatakan gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil, namun dalam beberapa putusan lainnya
kekurangan pihak tersebut tidak dipermasalahkan. Contoh lainnya dalam kasus pengesahan perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakuknya UU
Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, beberapa putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang
mengabulkan permohonan pengesahan nikah dimaksud dikuatkan oleh Mahkamah Agung, tetapi sebagian putusan lainnya dibatalkan oleh
Mahkamah Agung.
Selanjutnya berkaitan dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang tidak tepat dan kurang
sempurna, pada umumnya tidak diperbaiki oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya melihat substansi putusan, jika substansi putusan
sudah tepat dan benar, pertimbangan yang masih kurang sempurna dan tidak tepat tidak diperbaiki. Mahkamah Agung lebih banyak memperbaiki amar
putusan yang tidak tepat dibandingkan dengan perbaikan pertimbangannya.
Dasar hukum yang diterapkan dalam kasus hukum kewarisan meliputi Al-Qur’an, Hadis, kaidah fikih, qaul ulama, peraturan perundang-
undangan, KHI dan yurisprudensi. Frekuensi penggunaan dasar hukum yang paling tinggi dalam perkara kewarisan adalah KHI, disusul Al-Qur’an,
Hadis, qaul ulama, peraturan perundang-undangan, dan yang paling rendah adalah kaidah fikih. Dasar hukum dalam perkara bidang perkawinan yang
paling tinggi frekuensi penggunaannya adalah peraturan perundang- undangan, disusul KHI, qaul ulama dan yang paling rendah adalah
yurisprudensi. Dalam kasus yang menyangkut hukum perkawinan, penggunaan qaul ulama menduduki porsi lebih sering diterapkan
dibandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan kasus perkawinan, dalam kasus kewarisan Mahkamah Agung lebih banyak
menerapkan hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis dibandingkan qaul ulama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram
3.6:
75 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Diagram 3.6 Persentase Penggunaan Dasar Hukum
dalam Perkara Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan
Sejalan dengan lebih seringnya penggunaan qaul ulama dalam bidang perkawinan di banding dengan bidang kewarisan, demikian halnya
kitab yang dirujuk dalam bidang perkawinan lebih banyak dan lebih tinggi frekuensi penggunaannya dibanding dengan bidang kewarisan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi lembaga peradilan dalam tradisi Islam sudah dimulai sejak masa Nabi
Muhammad SAW. Pada masa Nabi, bentuk lembaga peradilan masih sangat sederhana, tidak ada gedung khusus untuk melaksanakan penyelesaian
perkara, sehingga proses penyelesaian perkara pada umumnya dilakukan di mesjid atau di kediaman Nabi.
Kendati demikian, asas-asas pokok dalam peradilan diterapkan dengan baik, seperti memperlakukan para pihak
berdasarkan prinsip kesetaraan. Pada masa khalifah empat, bentuk lembaga peradilan mengalami perkembangan yang lebih kompleks sesuai dengan
perkembangan struktur kekuasaan pemerintahan. Pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah, bentuk lembaga peradilan mulai mengalami perluasan
6 38
5 20
5 20
5 79
8 67
40
3 3
Perkara perkawinan perkara waris
al-Quran Hadits
Qaidah Fiqh Qaul Ulama
Per.Per.U.U. Kompilasi Hukum Islam
Yurisprudensi
76 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
sesuai dengan jenis perkara dan lingkup kompetensi yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga peradilan. Pada masa itu telah
berkembang beberapa jenis lembaga peradilan, antara lain maz}alim sebagai
lembaga peradilan militer, h}isbah sebagai lembaga peradilan yang bertugas
menertibkan tindak pidana pelanggaran, dan shurt}ah sebagai lembaga
peradilan yang bertugas melakukan penuntutan kasus tindak pidana dan melaksanakan eksekusi putusan pidana yang telah dijatuhkan pengadilan
serta melakukan pembinaan residivis.
Para fuqaha juga tidak merumuskan jenjang peradilan sebagaimana lembaga peradilan modern yang mengenal peradilan tingkat pertama,
tingkat banding dan tingkat kasasi. Namun demikian, asas pemeriksaan ulang terhadap putusan hakim dapat dilakukan oleh hakim yang memutus
sendiri atau hakim lain yang menggantikannya di kemudian hari jika dalam putusan tersebut terdapat kesalahan menerapkan hukum. Di samping itu,
asas keadilan senantiasa menjadi landasan pokok para ulama dalam merumuskan lembaga peradilan. Dalam fikih mazhab empat terdapat dua
topik pokok bahasan yang berhubungan dengan lembaga peradilan, yakni syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hakim berikut kode etik hakim dan
rumusan hukum acara yang menjadi pedoman dalam proses peradilan. Kedua topik tersebut merupakan pangkal bagaimana lembaga peradilan
dibangun untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, eksistensi lembaga Peradilan Agama sebagai pranata formal di Nusantara telah berjalan seiring dengan
perkembangan umat Islam. Institusionalisasi Peradilan Agama telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Nusantara yang mengadopsi Islam sebagai
dasar pemerintahan. Meskipun demikian, kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang
surut.
Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup kompetensi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu.
Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang
ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Sungguhpun demikian, pada akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum negara dapat menempatkan
posisi Peradilan Agama dalam sistem peradilan nasional secara lebih proporsional. Konfigurasi dialektika Peradilan Agama antara peluang dan
tantangan yang niscaya saling bersitegang itu pada dasarnya muncul dalam bentuk pro dan kontra atas pelbagai kebijakan regulasi, terutama dalam
kaitannya dengan status, kedudukan dan kewenangannya dalam sistem peradilan nasional.
Perubahan kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan
77 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
asal usul anak, dan izin menikah. Kompetensi Peradilan Agama kemudian diperluas ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12. Bahkan, pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama kembali mendapatkan perluasan, tidak lagi
sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan undang-undang ini tidak saja memberikan keluasaan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan
kemandirian kepada Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Akhirnya, setelah berjalan selama 15 tahun, UU tentang
Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi
kompetensi Peradilan Agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi Peradilan Agama diperluas dengan memasukan antara lain
ekonomi syariah sebagai salah satu bidang kompetensinya. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi Peradilan Agama sebagaimana diatur
dalam undang-undang tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat
Muslim.
Sesuai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, Peradilan Agama memutus perkara perkawinan,
kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah. Terhadap putusan Pengadilan Agama, pihak yang tidak puas dapat mengajukan banding
kepada Pengadilan Tinggi Agama. Jika ada pihak berperkara yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama, maka dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Perkara kasasi terhadap putusan dari lingkungan Peradilan Agama terdiri dari perkara yang berkaitan dengan
hukum perkawinan, kewarisan, ekonomi syariah dan pidana syariah. Dari empat kelompok perkara tersebut yang paling banyak adalah perkara yang
berkaitan dengan hukum perkawinan, disusul dengan perkara kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah.
78 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
79 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
B
AB
IV D
INAMIKA
P
UTUSAN
M
AHKAMAH
A
GUNG DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWINAN
Bab ini akan membahas dinamika pemikiran Mahkamah Agung dalam bidang hukum perkawinan. Tujuan dari pembahasan ini adalah
berupaya menelisik pola-pola pergeseran hukum dalam putusan-putusan Mahkamah Agung dari berbagai sumber hukum yang ada – yakni Al-
Qur’an, Hadis, fikih, dan peraturan perundang-undangan – dan pola-pola pergeseran dari aspek substansi hukum. Pembahasan ini juga akan
mengidentifikasi bentuk ijtihad dan kaidah usul fikih yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutus perkara perkawinan. Di samping itu,
pembahasan ini juga berupaya menggambarkan tingkat responsif Mahkamah Agung terhadap isu-isu keadilan, terutama hak asasi manusia,
hak asasi anak, kesetaraan gender dan pluralisme serta menelisik sejauh mana pengaruhnya terhadap dinamika pemikiran hukum Mahkamah Agung
dalam bidang perkawinan. Dari data yang diperoleh sejak tahun 1991 sd 2007, perkara perkawinan dalam putusan-putusan Mahkamah Agung
meliputi 12 kategori, yakni pencegahan perkawinan, wali
‘ad}al, isbat perkawinan, pembatalan perkawinan, izin poligami, perceraian,
hadanahpemeliharaan anak, nafkah istri, nafkah anak, nafkah idah, mut’ah, dan harta bersama. Dari 12 kategori perkara perkawinan ini, perkara
pencegahan perkawinan tidak merepresentasikan pemikiran hukum Mahkamah Agung karena semua perkara yang diajukan ke tingkat kasasi
tidak memenuhi syarat formal sehingga permohonan kasasi dari perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.