Putusan Peradilan Agama dan Upaya Hukum Kasasi

66 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM 67 P ENGAD ILA N A GAMA Dari seluruh perkara kasasi perdata agama dari tahun 1991 sd 2007, putusan yang diambil sebagai sampel adalah putusan yang dikabulkan, ditolak, dan ditolak dengan perbaikan, karena ketiga bentuk putusan tersebut bermuatan dasar-dasar pertimbangan hukum materiil baik hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, qaul ulama, kaidah fikih, maupun peraturan perundang-undangan. Dikecualikan dari itu, perkara izin perkawinan, pembatalan talak, rujuk, dan mahar tidak diambil sebagai sampel. Keempat jenis perkara tersebut tidak mengandung pemikiran hukum Mahkamah Agung disebabkan dari sejak tingkat pertama kasusnya sebagian cacat formil dan sebagian lainnya mengandung alasan-alasan yang tidak dapat dibuktikan. Di samping itu, perkara wakaf, hibah, wasiat, nazar, dan perlawanan eksekusi tidak diambil sebagai sampel dengan pertimbangan bahwa perkara perlawanan eksekusi tidak mengandung hukum materiil, melainkan hukum formil, sedangkan empat perkara lainnya walaupun berhubungan dengan hukum kewarisan akan tetapi tidak murni mengenai hukum kewarisan. Untuk lebih menggambarkan kinerja Mahkamah Agung dalam menyelesaikan perkara bidang hukum perdata Islam, sebelum menganalisa pemikiran hukum Mahkamah Agung, perlu dideskripsikan beberapa hal berikut; Pertama, mengenai waktu penyelesaian perkara di Mahkamah Agung; Kedua, putusan-putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dikuatkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung; dan Ketiga, jenis-jenis dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung. Pertama, asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dimuat dalam Pasal 2 ayat 4 UU Kekuasaan Kehakiman adalah sederhana, cepat dan biaya ringan. 97 Mahkamah Agung menjabarkan asas cepat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1998 bahwa setiap perkara harus diselesaikan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sejak perkara didaftar. 98 Berdasarkan data perkara perkawinan dan waris, batas waktu penyelesaian perkara tersebut secara umum sudah dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Akan tetapi, Mahkamah Agung belum dapat memenuhi asas cepat yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Gambaran perbandingan jangka waktu penyelesaian perkara hukum keluarga dan hukum waris di Pengadilan 97 UU Nomor 48 Tahun 2009, dalam http:www.theceli.comdokumenproduk196419-1964.htm, diakses tanggal 1452010 98 Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung RI Tahun 1955 sd 2009 Jakarta: Sekertariat Jenderal Mahkamah Agung RI, 2009, 704. 68 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung dapat dilihat dalam diagram 3.1: Diagram 3.1 Perbandingan Waktu Penyelesaian Perkara dalam Hukum Perkawinan Rata-rata Per Tahun dalam Satuan Bulan antara Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung Diagram tersebut menunjukkan bahwa jangka waktu penyelesaian perkara dalam bidang hukum perkawinan di Pengadilan Agama sejak tahun 1991 sd 2007 relatif konstan di bawah enam bulan, kecuali pada tahun 1995 dan 1997 mengalami penundaan mencapai rata-rata tujuh bulan. Demikian halnya di Pengadilan Tinggi Agama, jangka waktu penyelesaian perkara pada umumnya di bawah enam bulan, kecuali pada tahun 1992, 1993 dan 1996 mengalami perlambatan mencapai waktu 11 bulan dan 7 bulan. Sedangkan penyelesaian di Mahkamah Agung tidak konstan dan naik turun antara 11 bulan dan 39 bulan. Penyelesaian perkara di bidang hukum kewarisan dapat dilihat dalam diagram 3.2: 5 3 4 3 7 5 7 4 4 4 4 5 4 4 5 4 5 6 11 11 6 6 7 6 5 6 5 5 5 4 5 4 5 4 13 11 11 20 24 19 22 19 19 31 39 36 20 19 12 14 14 29 30 30 32 40 35 37 32 32 44 50 50 40 33 25 27 27 19911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007 PA PTA MA PA-MA 69 P ENGAD ILA N A GAMA Diagram 3.2 Perbandingan Waktu Penyelesaian Perkara Waris Rata-rata Per Tahun antara Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung Dalam diagram di atas dapat dibaca bahwa proses penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama rata-rata di bawah sepuluh bulan secara konstan, demikian halnya proses penyelesaian di Pengadilan Tinggi Agama. Bahkan Pengadilan Agama dapat menyelesaikan perkara dalam waktu 1-6 bulan sebanyak 56,40 dan Pengadilan Tinggi Agama sebanyak 49,74 , kecuali pada periode antara tahun 1992-1993 yang melampaui sepuluh bulan. Lain halnya di Mahkamah Agung, penyelesaian perkara menghabiskan waktu rata-rata 32 bulan, bahkan pada tahun 2000 rata-rata mencapai di atas 60 bulan. Perkara yang dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung dalam jangka waktu enam bulan ke bawah hanya mencapai 2 . Akan tetapi, sejak tahun 2005 mulai nampak percepatan penyelesaian di bawah 20 bulan, bahkan pada tahun 2007 rata-rata hanya membutuhkan 12 bulan. Peningkatan percepatan penyelesaian perkara di Mahkamah Agung 9 5 14 7 11 9 6 6 6 6 6 7 7 6 5 7 8 9 11 16 8 9 8 9 8 7 5 6 7 9 4 5 6 6 19 36 20 25 30 25 31 22 31 62 59 51 39 25 16 19 12 41 59 54 47 53 48 49 45 51 77 72 70 59 38 30 36 30 19911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007 PA PTA MA PA-MA 70 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM tersebut cukup positif bagi pencari keadilan, walaupun belum memenuhi standar 6 bulan. Sedangkan waktu yang dibutuhkan para pencari keadilan dari sejak proses di Pengadilan Agama sampai dengan di Mahkamah Agung membutuhkan rata-rata 52 bulan, dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 mencapai rata-rata 70 bulan. Perbedaan percepatan penyelesaian perkara di PA, PTA dan MA menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk mengetahui secara rinci faktor apa yang menyebabkan lambatnya penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Apakah faktor human error atau faktor sistem manajemen yang terlalu berbelit-belit. Kedua, salah satu tugas Mahkamah Agung adalah memeriksa dan mengadili perkara kasasi. Tugas tersebut merupakan fungsi pengawasan Mahkamah Agung terhadap pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dalam penerapan hukum. Putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dapat dikuatkan, dibatalkan atau dikuatkan dengan perbaikan pertimbangan hukum danatau amar putusan. Persentase putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang dibatalkan sangat kecil dibandingkan dengan putusan di bidang kewarisan. Hal ini menunjukkan masih tingginya kesalahan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam menerapkan hukum, baik hukum formil maupun hukum materil, dalam kasus kewarisan. Untuk lebih jelasnya, perbandingan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang dibatalkan dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung dapat dilihat dalam diagram 3.3 di bawah ini: 71 P ENGAD ILA N A GAMA Diagram 3.3 Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan yang Dikuatkan dan Dibatalkan oleh Mahkamah Agung Diagram tersebut menggambarkan perbandingan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung berjumlah 71 , sedangkan putusan dalam bidang kewarisan sebanyak 54 . Gambaran lainnya, putusan Pengadilan Agama danatau Pengadilan Tinggi Agama dalam bidang perkawinan yang dibatalkan sebanyak 29 dan di bidang kewarisan sebanyak 36 . Pembatalan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan disebabkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama salah menerapkan hukum formil danatau hukum materiil. Dalam bidang hukum perkawinan, 71 54 4 14 12 22 12 10 Bidang hukum Perkawinan Bidang hukum kewarisan Put.PA dan PTA dikuatkan Put.Pa dan PTA dibatalkan Put.PA.dibatalkan Put.PTA dibatalkan 72 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM pembatalan disebabkan karena kesalahan penerapan hukum formil sebanyak 55 dan kesalahan penerapan hukum materiil 45 . Sedangkan dalam bidang hukum waris, pembatalan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama disebabkan kesalahan hukum formil 72 dan kesalahan menerapkan hukum materil 28 . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram 3.4: Diagram 3.4 Persentase Kesalahan Hukum Formil dan Hukum Materiil dalam Putusan PA dan PTA di Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Jumlah putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dibatalkan sejak tahun 1991 sd 2007 tidak menunjukkan penurunan secara linear. Hal tersebut dapat dilihat dalam diagram 3.5: 55 72 45 28 Putusan bidang hukum perkawinan Putusan bidang hukum waris Kesalahan hukum formil Kesalahan hukum materiil 73 P ENGAD ILA N A GAMA Diagram 3.5 Perbandingan Putusan PA dan PTA yang Dikuatkan dan yang Dibatalkan Oleh Mahkamah Agung Sejak 1991 sd 2007 Diagram di atas menunjukkan bahwa baik putusan Pengadilan Agama dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama tidak bergerak menurun secara linear, akan tetapi bergerak naik-turun dan tidak konstan. Hal tersebut dapat disebabkan dua hal. Pertama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama selama 17 tahun tidak melakukan perbaikan dalam proses mengadili – seharusnya dalam jangka 17 tahun Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mempelajari kesalahan-kesalahan dan koreksi dari Mahkamah Agung sehingga tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam penerapan hukum. Kedua, kemungkinan putusan Mahkamah Agung yang tidak konsisten sehingga sulit diprediksi kriteria penerapan hukum yang benar menurut Mahkamah Agung. Dari data-data yang digunakan terdapat indikasi faktor kedua sangat mempengaruhi putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung mengenai 10 20 30 40 50 60 70 80 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 K.PA-PTA B.PA-PTA B.PA B.PTA 74 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM pengertian kurang pihak dalam putusan waris dan pengesahan nikah yang tidak konsisten. Dalam beberapa kasus, permohonan pengesahan nikah yang dilakukan secara volunter dibenarkan, dalam beberapa kasus lainnya dibatalkan karena dianggap tidak tepat. Demikian dalam kasus waris, gugatan waris yang tidak mendudukkan seluruh ahli waris sebagai pihak, dalam sebagian putusan Mahkamah Agung menyatakan gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil, namun dalam beberapa putusan lainnya kekurangan pihak tersebut tidak dipermasalahkan. Contoh lainnya dalam kasus pengesahan perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakuknya UU Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, beberapa putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang mengabulkan permohonan pengesahan nikah dimaksud dikuatkan oleh Mahkamah Agung, tetapi sebagian putusan lainnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya berkaitan dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang tidak tepat dan kurang sempurna, pada umumnya tidak diperbaiki oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya melihat substansi putusan, jika substansi putusan sudah tepat dan benar, pertimbangan yang masih kurang sempurna dan tidak tepat tidak diperbaiki. Mahkamah Agung lebih banyak memperbaiki amar putusan yang tidak tepat dibandingkan dengan perbaikan pertimbangannya. Dasar hukum yang diterapkan dalam kasus hukum kewarisan meliputi Al-Qur’an, Hadis, kaidah fikih, qaul ulama, peraturan perundang- undangan, KHI dan yurisprudensi. Frekuensi penggunaan dasar hukum yang paling tinggi dalam perkara kewarisan adalah KHI, disusul Al-Qur’an, Hadis, qaul ulama, peraturan perundang-undangan, dan yang paling rendah adalah kaidah fikih. Dasar hukum dalam perkara bidang perkawinan yang paling tinggi frekuensi penggunaannya adalah peraturan perundang- undangan, disusul KHI, qaul ulama dan yang paling rendah adalah yurisprudensi. Dalam kasus yang menyangkut hukum perkawinan, penggunaan qaul ulama menduduki porsi lebih sering diterapkan dibandingkan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan kasus perkawinan, dalam kasus kewarisan Mahkamah Agung lebih banyak menerapkan hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis dibandingkan qaul ulama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram 3.6: 75 P ENGAD ILA N A GAMA Diagram 3.6 Persentase Penggunaan Dasar Hukum dalam Perkara Bidang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan Sejalan dengan lebih seringnya penggunaan qaul ulama dalam bidang perkawinan di banding dengan bidang kewarisan, demikian halnya kitab yang dirujuk dalam bidang perkawinan lebih banyak dan lebih tinggi frekuensi penggunaannya dibanding dengan bidang kewarisan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi lembaga peradilan dalam tradisi Islam sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa Nabi, bentuk lembaga peradilan masih sangat sederhana, tidak ada gedung khusus untuk melaksanakan penyelesaian perkara, sehingga proses penyelesaian perkara pada umumnya dilakukan di mesjid atau di kediaman Nabi. Kendati demikian, asas-asas pokok dalam peradilan diterapkan dengan baik, seperti memperlakukan para pihak berdasarkan prinsip kesetaraan. Pada masa khalifah empat, bentuk lembaga peradilan mengalami perkembangan yang lebih kompleks sesuai dengan perkembangan struktur kekuasaan pemerintahan. Pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah, bentuk lembaga peradilan mulai mengalami perluasan 6 38 5 20 5 20 5 79 8 67 40 3 3 Perkara perkawinan perkara waris al-Quran Hadits Qaidah Fiqh Qaul Ulama Per.Per.U.U. Kompilasi Hukum Islam Yurisprudensi 76 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM sesuai dengan jenis perkara dan lingkup kompetensi yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga peradilan. Pada masa itu telah berkembang beberapa jenis lembaga peradilan, antara lain maz}alim sebagai lembaga peradilan militer, h}isbah sebagai lembaga peradilan yang bertugas menertibkan tindak pidana pelanggaran, dan shurt}ah sebagai lembaga peradilan yang bertugas melakukan penuntutan kasus tindak pidana dan melaksanakan eksekusi putusan pidana yang telah dijatuhkan pengadilan serta melakukan pembinaan residivis. Para fuqaha juga tidak merumuskan jenjang peradilan sebagaimana lembaga peradilan modern yang mengenal peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. Namun demikian, asas pemeriksaan ulang terhadap putusan hakim dapat dilakukan oleh hakim yang memutus sendiri atau hakim lain yang menggantikannya di kemudian hari jika dalam putusan tersebut terdapat kesalahan menerapkan hukum. Di samping itu, asas keadilan senantiasa menjadi landasan pokok para ulama dalam merumuskan lembaga peradilan. Dalam fikih mazhab empat terdapat dua topik pokok bahasan yang berhubungan dengan lembaga peradilan, yakni syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hakim berikut kode etik hakim dan rumusan hukum acara yang menjadi pedoman dalam proses peradilan. Kedua topik tersebut merupakan pangkal bagaimana lembaga peradilan dibangun untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Dalam konteks Indonesia, eksistensi lembaga Peradilan Agama sebagai pranata formal di Nusantara telah berjalan seiring dengan perkembangan umat Islam. Institusionalisasi Peradilan Agama telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Nusantara yang mengadopsi Islam sebagai dasar pemerintahan. Meskipun demikian, kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan, namun lingkup kompetensi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Sungguhpun demikian, pada akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum negara dapat menempatkan posisi Peradilan Agama dalam sistem peradilan nasional secara lebih proporsional. Konfigurasi dialektika Peradilan Agama antara peluang dan tantangan yang niscaya saling bersitegang itu pada dasarnya muncul dalam bentuk pro dan kontra atas pelbagai kebijakan regulasi, terutama dalam kaitannya dengan status, kedudukan dan kewenangannya dalam sistem peradilan nasional. Perubahan kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan 77 P ENGAD ILA N A GAMA asal usul anak, dan izin menikah. Kompetensi Peradilan Agama kemudian diperluas ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama dalam ketentuan Pasal 12. Bahkan, pada tahun 1989, kompetensi Peradilan Agama kembali mendapatkan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan undang-undang ini tidak saja memberikan keluasaan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Akhirnya, setelah berjalan selama 15 tahun, UU tentang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi Peradilan Agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi Peradilan Agama diperluas dengan memasukan antara lain ekonomi syariah sebagai salah satu bidang kompetensinya. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kompetensi Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim. Sesuai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, Peradilan Agama memutus perkara perkawinan, kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah. Terhadap putusan Pengadilan Agama, pihak yang tidak puas dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama. Jika ada pihak berperkara yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama, maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Perkara kasasi terhadap putusan dari lingkungan Peradilan Agama terdiri dari perkara yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, ekonomi syariah dan pidana syariah. Dari empat kelompok perkara tersebut yang paling banyak adalah perkara yang berkaitan dengan hukum perkawinan, disusul dengan perkara kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah. 78 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM 79 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM P ERKAWI NA N B AB IV D INAMIKA P UTUSAN M AHKAMAH A GUNG DALAM P ERKARA H UKUM P ERKAWINAN Bab ini akan membahas dinamika pemikiran Mahkamah Agung dalam bidang hukum perkawinan. Tujuan dari pembahasan ini adalah berupaya menelisik pola-pola pergeseran hukum dalam putusan-putusan Mahkamah Agung dari berbagai sumber hukum yang ada – yakni Al- Qur’an, Hadis, fikih, dan peraturan perundang-undangan – dan pola-pola pergeseran dari aspek substansi hukum. Pembahasan ini juga akan mengidentifikasi bentuk ijtihad dan kaidah usul fikih yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutus perkara perkawinan. Di samping itu, pembahasan ini juga berupaya menggambarkan tingkat responsif Mahkamah Agung terhadap isu-isu keadilan, terutama hak asasi manusia, hak asasi anak, kesetaraan gender dan pluralisme serta menelisik sejauh mana pengaruhnya terhadap dinamika pemikiran hukum Mahkamah Agung dalam bidang perkawinan. Dari data yang diperoleh sejak tahun 1991 sd 2007, perkara perkawinan dalam putusan-putusan Mahkamah Agung meliputi 12 kategori, yakni pencegahan perkawinan, wali ‘ad}al, isbat perkawinan, pembatalan perkawinan, izin poligami, perceraian, hadanahpemeliharaan anak, nafkah istri, nafkah anak, nafkah idah, mut’ah, dan harta bersama. Dari 12 kategori perkara perkawinan ini, perkara pencegahan perkawinan tidak merepresentasikan pemikiran hukum Mahkamah Agung karena semua perkara yang diajukan ke tingkat kasasi tidak memenuhi syarat formal sehingga permohonan kasasi dari perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.

A. Wali ‘ad}al

Perkara wali ‘ad}al yang sampai ke tingkat kasasi dari tahun 1991- 2007 berjumlah 50 perkara, dengan perincian sebagai berikut: putusan tolak 10 perkara, putusan kabul 2 perkara, putusan tidak dapat diterima 36 perkara dan putusan tolak perbaikan 2 perkara. Dari 50 perkara tersebut, hanya 14 80 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM perkara yang diambil sebagai sampel, yang terdiri dari 10 perkara putusan tolak, 2 perkara putusan kabul dan 2 perkara putusan tolak perbaikan. Berdasarkan perkara-perkara yang dijadikan sampel ini dapat diketahui bahwa wali yang enggan mengawinkan adalah ayah sebanyak 11 78,6, kakak kandung sebanyak 2 14,3 dan adik kandung 1 7,1. Alasan yang dijadikan dasar penolakan wali untuk melaksanakan perkawinan anaknya sangat beragam, antara lain karena calon mempelai laki-laki cacat fisik, 1 mengidap penyakit degeneratif, 2 perbedaan budaya, tidak mempunyai pekerjaan, 3 berperilaku buruk, 4 dan berlatar belakang keluarga klenik. 5 Persentase perkara permohonan kasasi wali ‘ad}al yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung hanya 6,1. Ini menunjukkan bahwa tingkat kekeliruan putusan Pengadilan Agama porsinya sangat kecil. Persentase selebihnya 93,9 terdiri dari 71,4 dinyatakan tidak dapat diterima, 20,4 ditolak dan 2,1 ditolak dengan perbaikan redaksi diktum putusan yang kurang tepat. Permohonan kasasi yang dinyatakan tidak dapat diterima pada umumnya karena tidak memenuhi syarat formil, yaitu pihak pemohon kasasi bukan pihak yang terlibat dalam perkara yang dimohonkan kasasi sewaktu proses pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama danatau permohonan kasasi diajukan setelah lewat jangka waktu 14 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UU Mahkamah Agung. Dasar hukum yang diterapkan dalam putusan perkara wali ‘ad}al bersumber dari Al-Qur’an, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 – selanjutnya disebut PMA 21987, Kompilasi Hukum Islam KHI, kaidah fikih, dan qaul ulama. Semua sumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang dinyatakan benar dan tepat oleh Mahkamah Agung. Pengadilan Agama mengabulkan permohonan wali ‘ad}al sebanyak 12 perkara. Dari jumlah sampel 14 perkara dengan pertimbangan bahwa calon mempelai suami memiliki perbedaan budaya dari calon mempelai istri, tidak mempunyai pekerjaan, berperilaku buruk, dan berlatar belakang keluarga klenik tidak dapat dijadikan alasan wali untuk menolak mengawinkan anak perempuannya. Perkara yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan Pengadilan Agama sudah tepat menerapkan hukum. Dua perkara lainnya 1 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 295 KAG2005. 2 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 276 KAG1995. 3 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 KAG2006. 4 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 KAG1995. 5 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 32 KAG2005. 81 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM P ERKAWI NA N ditolak oleh Pengadilan Agama dengan pertimbangan bahwa wali berhak untuk menolak menjadi wali perkawinan karena calon mempelai laki-laki cacat fisik dan mengidap penyakit degeneratif, sehingga permohonan pihak mempelai perempuan untuk menyatakan wali berlaku ‘ad}al harus ditolak. Kedua putusan Pengadilan Agama tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan bahwa cacat fisik dan mengidap penyakit degeneratif tidak dapat dijadikan alasan wali untuk menolak mengawinkan anak perempuannya, sehingga permohonan mempelai perempuan untuk menyatakan wali berlaku ‘ad}al harus dikabulkan. Peran wali perkawinan dalam sebuah perkawinan menjadi perdebatan para ulama. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa wali perkawinan bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan. Perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa wali dengan laki-laki yang sekufu perkawinannya dianggap sah. Sedangkan mazhab Malikiyah, Shafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa wali perkawinan merupakan rukun dalam perkawinan, oleh karena itu akibat hukum perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri atau mengawinkan perempuan lain perkawinannya tidak sah. Akan tetapi, terdapat sedikit perbedaan antara mazhab Malikiyah dengan Shafi’iyah, Hanabilah, dan Zahiriyah dalam hal perempuan janda dengan perempuan yang masih perawan. Menurut mazhab Zahiriyah, perempuan janda boleh mengawinkan dirinya sendiri dan perkawinannya sah, sedangkan perempuan yang masih perawan tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri – perempuan perawan yang mengawinkan dirinya sendiri perkawinannya tidak sah. Pendapat keempat tentang wali perkawinan diriwayatkan oleh Ibn Ish}aq dari Imam Anas ibn Malik, yakni bahwa wali perkawinan hukumnya sunah dan bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan melainkan hanya syarat untuk kesempurnaan perkawinan. 6 Setiap mazhab memiliki dalil dan metode istidlal masing-masing untuk memperkuat pendapatnya. 7 6 Lihat ‘Abd al-Rah}man al-Jaziri, al-Fiqh} ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah Kairo: al- Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969, vol. 4, 11, 12 dan 51; Ibn Rushd, Bidayat al- Mujtahid wa Nihayat al-Muqtas}id , 399; Ibn H{ajar al-Haitami, Tuh}fat al-Muh}taj bi Sharh} al-Minhaj , vol. 7, 236; Ibn H}azm, al-Muh}alla fi Sharh} al-Muh}alla bi al-H{ujaj wa al-Atsar , 1600. 7 Ulama yang berpendapat wali perkawinan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan mendasarkan diri pada Q.S. Al-Baqarah [2] : 232: 82 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM                                      “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang maruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Menurut mereka, khit}ab dalam kata    ditujukan kepada wali. Jika wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan perempuan yang di bawah perwaliannya dan perempuan dapat mengawinkan dirinya sendiri tidak mungkin wali dilarang bersikap ‘ad}al . Dalil lainnya adalah Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan dari ‘Aisyah: “Setiap perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batil tidak sah, pernikahannya batil, pernikahannya batil. Jika seseorang menggaulinya, maka perempuan itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sultan penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali.” Menurut al-Tirmidhi, derajat Hadis tersebut h}asan s}ah}ih} . Ulama yang berpendapat wali perkawinan bukan syarat sahnya suatu perkawinan berargumentasi berdasarkan Q.S. Al-Baqarah [2] : 234:                             “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri- isteri hendaklah Para isteri itu menangguhkan dirinya beriddah empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Kalimat    dalam ayat tersebut menunjukan bahwa perempuan memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik bagi dirinya termasuk melakukan akad perkawinan. Di samping itu masih terdapat beberapa kata kerja dalam ayat A l-Qur’an yang menunjukkan bahwa pelaku akad perkawinan bukan wali perkawinan, melainkan perempuan, seperti kata dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 230 dan

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122