Izin Poligami Dinamika putusan mahkamah agung republik Indonesia dalam bidang perdata Islam
145 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
menggambarkan bagaimana pandangan hukum Mahkamah Agung dalam kasus-perkara poligami:
1. Seorang lelaki bernama TRIHASU nama disamarkan – penj. berumah
tanggga dengan SUTIHA sudah berjalan selama 7 tujuh tahun 3 tiga bulan. Selama berumah tangga suami istri belum dikaruniai anak.
TRIHASU berusia 40 tahun dan SUTIHA berusia 53 tahun. TRIHASU mengajukan permohonan izin poligami dengan alasan ingin memperoleh
anak. Permohonan tersebut dilengkapi; 1. Surat pernyataan akan berlaku adil dari TRIHASU; 2. Pernyataan mampu manjamin keperluan hidup
keluarga dengan melampirkan penghasilan TRIHASU dari perusahaan tempat dia bekerja sebesar Rp 1.500.000,00bulan pada tahun 2004.
Akan tetapi permohonan tersebut tidak dilengkapi surat pernyataan istri menyetujui permohonan poligami kecuali secara lisan di dalam sidang
menyatakan silahkan suaminya berpoligami asalkan pihak suami membayar uang Rp 25.000.000,00 sebagai pengganti uang pengobatan
TRIHASU sejak perkawinan sampai ia sehat yang ditanggung oleh istri dan untuk menjamin bahwa suaminya akan berlaku adil. Pengadilan
Agama Yogyakarta mengabulkan permohonan poligami tersebut dengan pertimbangan bahwa “rumah tangga TRIHASU dan SUTIHA sudah
berjalan 7 tujuh tahun lebih tidak dikaruniai anak sedangkan SUTIHA sebagai istri sudah berusia 53 tahun sulit untuk dapat memberikan
keturunan. Di samping itu suami telah membuat surat pernyataan siap berlaku adil dan surat pernyataan sanggup memenuhi kebutuhan hidup
rumah tangga. Tuntutan istri agar suami memberikan uang sebanyak Rp 25.000.000,00 untuk jaminan ia berlaku adil dan sebagai pengembalian
biaya pengobatan suami yang dikeluarkan oleh istri tidak perlu dipertimbangkan karena untuk menjamin suami belaku adil telah dibuat
surat pernyataan suami siap berlaku adil dan mengenai biaya pengobatan suami yang dikeluarkan istri selama ini merupakan kewajiban istri
terhadap suami karena suami istri wajib saling cinta mencintai, setia dan memberi bantuan lahir batin satu sama lainnya sesuai Pasal 33 UU
Perkawinan. Oleh karenanya permohonan izin poligami tersebut telah memenuhi Pasal 3, 4, 5 UU Perkawinan jis. Pasal 41, 42, 43 PP
Pelaksanaan UU Perkawinan dan Pasal 55, 56, 57, 58, 59 KHI serta Q.S. Al-Nisa’ [4] : 3.”
Dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Agama Yogyakarta tersebut dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta dengan perbaikan
pertimbangan dan diktum. Pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta berbunyi “tuntutan istri tentang uang konpensasi biaya
pengobatan suami yang dikeluarkan oleh istri dan sebagai jaminan agar suaminya berlaku adil harus dipertimbangkan karena: 1. Istri telah
146 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
berkorban jiwa raga dan harta mengobati suami sejak mereka belum kawin sampai suami sembuh dari penyakitnya; 2. Sebagai jaminan bagi
istri jika rumah tangga mengalami keretakan. Oleh karenanya suami wajib memberikan uang sebesar Rp 5.000.000,00 yang dianggap sesuai
dengan penghasilan suami sebanyak Rp 1.500.000,00 setiap bulan.” Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, dalam tingkat kasasi,
diperbaiki oleh Mahkamah Agung mengenai besaran jumlah uang yang diwajibkan kepada suami menjadi Rp 10.000.000,00.
133
2. Seorang lelaki bernama SUNOMI berumah tangga dengan TIWANI selama 13 tahun 7 tujuh bulan. SUNOMI mengajukan permohonan
izin poligami kepada Pengadilan Agama Tuban dengan alasan istri tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami, karena jika melakukan
hubungan biologis vagina istri sering mengeluarkan darah. Permohonan tersebut dilengkapi surat pernyataan adil dari pihak suami, surat
keterangan penghasilan suami sebagai wira usahawan yang berpenghasilan Rp 300.000,00 setiap bulan sebagai bukti kesanggupan
suami untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, akan tetapi tidak dilengkapi surat pernyataan persetujuan istri untuk dimadu. Pengadilan
Agama Tuban mengabulkan permohonan tersebut dengan pertimbangan hukum, bahwa “bahwa suami seorang lelaki hiperseksual berdasarkan
keterangan dokter spesialis Andrologi dan istri jika diajak bersenggama sering mengeluh kecapaian. Itikad baik suami untuk berpoligami,
melalui proses aturan perundang-undangan serta upaya suami untuk tidak melakukan hubungan seks di luar perkawinan sah, menunjukkan
kepatuhan dan penghormatan suami terhadap undang-undang yang berlaku dan norma agama, oleh karenanya patut dilindungi dan diberi
jalan keluar sesuai Pasal 4, 5 UU Perkawinan jis. Pasal 55, 56, 57, 58 dan 59 KHI. Sedangkan pernyataan istri yang memberikan kebebasan
suaminya untuk melakukan apa saja dengan pacarnya asal tidak dikawini merupakan sikap yang bertentangan dengan norma hukum dan
agama, karena memberi kesempatan pada suami untuk melakukan poligami liar atau berzinah. Oleh karenanya walaupun tidak ada izin dari
istri, dengan menyimpangi Pasal 4, 5 UU Perkawinan jis. KHI Pasal 55, 56, 57, 58, 59 KHI, akan lebih baik memberikan solusi dengan izin
poligami dari pada pilihan bercerai yang dibenci Allah atau tetap
133
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 180 KAG2005 tanggal 1 Februari 2006 jis. Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 75Pdt.G2004PA.YK. tanggal 9
Juni 2004 dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor 24Pdt.G2004PTA.YK. tanggal 20 Desember 2004.
147 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
berumah tangga dengan adanya penyimpangan perilaku seks karena tidak diizinkan poligami. Hal ini sesuai dengan:
a. Kaidah usul fikih:
“Hukum itu mengikuti berkisar pada ada dan tiadanya illat.”
b.
Q.S. Al-Ma’idah [5] : 2:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar- syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan mengganggu binatang-binatang had-ya, dan binatang- binatang qalaa-id, dan jangan pula mengganggu orang-orang
yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. dan tolong-menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
148 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
c. Q.S. Al-Nisa’ [4] : 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak- hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Putusan Pengadilan Agama Tuban tersebut, dalam tingkat banding, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur. Demikian halnya
dalam tingkat kasasi, putusan Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
134
Dalam perkara pertama, Mahkamah Agung berpendapat bahwa poligami atas alasan tidak mempunyai anak padahal istri sudah berusia 53
tahun yang sulit untuk dapat melahirkan dapat diizinkan jika tiga persyaratan yang diatur dalam Pasal 5 UU Perkawinan dipenuhi, yaitu ada
persetujuan istri, suami sanggup memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan suami akan berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam perkara ini, istri akan
memberikan persetujuan dengan syarat suami membayar konpensasi uang sejumlah Rp 25.000.000,00 sebagai jaminan agar suaminya berlaku adil dan
konpensasi dari biaya pengobatan suami yang dikeluarkan istri. Akan tetapi Mahkamah Agung hanya menetapkan uang yang diminta oleh istri sebesar
Rp 10.000.000,00. Putusan Mahkamah Agung tersebut mengandung beberapa persoalan hukum. Pertama, apakah syarat keharusan adanya
persetujuan istri dalam permohonan izin poligami kepada pengadilan merupakan hak prerogatif istri atau bukan. Kedua, dalam perkara ini tidak
jelas kemandulan ada pada pihak siapa selama berumah tangga, walaupun
134
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 267 KAG2002 tanggal 14 Desember 2005 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agma Jawa Timur Nomor 366Pdt.G2001PTA.SBY.
tanggal 16 januari 2002 dan Putusan Pengadilan Agama Tuban nomor 1675Pdt.G2001PA.Tbn. tanggal 26 Nopember 2001.
149 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
benar saat diajukan perkara ini istri sudah berusia 53 tahun yang menurut pendapat umum kedokteran dalam usia monopous perempuan sulit untuk
dapat melahirkan.
Problem hukum pertama jika diukur dengan asas hukum perkawinan yang dianut oleh UU Perkawinan, yaitu perkawinan monogami dalam
rangka melindungi hak-hak istri, maka persetujuan istri tersebut merupakan hak prerogatif istri sehingga siapapun atau lembaga apapun tidak boleh ikut
campur mempengaruhi kehendak istri. Hal ini sejalan dengan putusan- putusan Mahkamah Agung dalam perkara pengesahan perkawinan kedua,
yang tidak ada persetujuan dari istri pertama, pada umumnya ditolak. Akan tetapi dalam perkara ini Mahkamah Agung menganulir hak istri untuk
memberi persetujuan istri asalkan suami memberikan uang konpensasi sebesar Rp 25.000.000,00, dengan pertimbangan jumlah uang yang diminta
oleh istri dianggap terlalu tinggi jumlahnya sehingga Mahkamah Agung menetapkan besaran uang tersebut sebesar 40 dari yang diminta istri.
Pasal 5 ayat 2 UU Perkawinan mengatur tentang persetujuan dari istri, di mana persetujuan istri tidak diperlukan dalam keadaan istri: a. Tidak
mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; b. Tidak ada kabar dari istri selama sekurang-kurangnya 2 dua
tahun; c. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Yang dimaksud keadaan istri tidak mungkin di minta
persetujuannya adalah kondisi jiwa si istri dalam keadaan on bekwaam tidak cakap berbuat hukum misalkan dalam kondisi sakit ingatan. Sedangkan
aturan huruf b sangat jelas. Dan keadaan istri dalam huruf c sangat bias sehingga hakim memiliki peran besar dalam menilai keadaan istri
diperlukan atau tidak persetujuannya. Bahkan dalam KHI Pasal 59 lebih leluasa hakim diberikan kewenangan untuk memberikan izin poligami
setelah mendengar istri yang bersangkutan dalam persidangan jika si istri tidak mau memberikan persetujuan. Dalam perkara ini Mahkamah Agung
cenderung menerapkan Pasal 5 UU Perkawinan dan Pasal 59 KHI. Kedua pasal tersebut merupakan pasal-pasal bias gender yang banyak dikritik oleh
kaum feminis dan pihak-pihak yang memperjuangkan pengarusutamaan gender.
135
Problem hukum kedua dalam perkara di atas mengenai alasan tidak punya anak, Pengadilan Agama Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta dalam sidang pemeriksaan perkara pemohonan izin poligami
135
Lihat Muhammad Rezfah Omar, Fakta-fakta Poligami dalam Konteks Perubahan Hukum, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya yang
dilaksanakan oleh LBH APIK Jakarta dan Kalyanamitra pada tanggal 29 April 2004 di Jakarta.
150 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
tersebut tidak memeriksa dengan sungguh-sungguh siapa sebenarnya yang mandul, apakah pihak suami atau pihak istri. Dalam persidangan tidak ada
satu buktipun berupa surat keterangan medis yang memberikan keterangan siapa yang mandul. Pengadilan hanya berdasarkan persangkaan hakim
bahwa istri sudah tidak mungkin untuk dapat hamil karena sudah mencapai usia monopouse, yaitu usia 53 tahun. Pengadilan tidak menelusuri lebih jauh
bahwa perkawinan tersebut telah berlangsung selama tujuh tahun. Selama kurun waktu tersebut mereka berdua tidak memperoleh anak, akan tetapi
siapa yang sebenarnya secara medis tidak memungkinkan untuk memberikan keturunan. Sedangkan dalam UU Perkawinan dan Pasal 57
KHI secara eksplisit menyebutkan salah satu alasan untuk mengajukan poligami adalah jika istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam perkara
ini mungkin saja istri sebelum berusia 53 tahun dapat memberikan keturunan, sebaliknya pihak suami yang tidak mungkin dapat memberikan
keturunan. Kekeliruan judex factie tidak dikoreksi oleh Mahkamah Agung sehingga Mahkamah Agung membenarkan putusan judex factie.
Dalam perkara kedua, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan izin poligami atas dasar alasan istri tidak sanggup memenuhi
kebutuhan seks suami dapat dikabulkan, jika dipenuhi syarat-syarat: 1. Suami akan berlaku adil; 2. Suami sanggup memenuhi kebutuhan hidup
rumah tangga; dan 3. Ada persetujuan istri walaupun persetujuan tersebut masih mengandung makna bias
ghayr s}arih. Dalam perkara kedua ini terdapat problem hukum mengenai alasan yang dijadikan dasar permohonan
izin poligami, yaitu apakah dalam keadaan istri yang telah memenuhi kebutuhan seks suami, akan tetapi suami merasa tidak puas karena ia
mengidap hiperseksualitas, istri dapat dikategorikan tidak mampu memenuhi kebutuhan seks suami.
Alasan yang dapat dijadikan dasar pemohonan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 UU Perkawinan adalah: 1. Istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan. Dari tiga alasan tersebut, alasan kedua dan ketiga jelas tidak dapat diterapkan dalam perkara kedua karena istri tidak mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan bahkan yang menurut keterangan suami vagina istri sering mengeluarkan darah jika sedang
melakukan hubungan biologis berdasarkan keterangan medis istri dinyatakan sehat, dan istri dapat melahirkan keturunan karena sudah punya
anak selama berumah tangga. Yang mungkin diterapkan adalah alasan a istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Yang menjadi
pertanyaan lebih lanjut adalah apa saja kewajiban istri terhadap suami.
151 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
Kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30 sd Pasal 34 UU Perkawinan dan Pasal 80 sd 84 KHI. Di antara kewajiban tersebut ada
kewajiban yang bersifat timbal balik antara suami istri dan ada kewajiban sepihak, yaitu kewajiban suami saja atau kewajiban istri saja. Kewajiban
yang timbal balik antara suami istri adalah: a. wajib saling cinta mencintai; b. wajib saling hormat menghormati; c. setia; d. saling memberi bantuan
lahir batin. Kewajiban sepihak dari suami: a. melindungi istri; b. menyediakan kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Kewajiban sepihak dari istri: wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik- baiknya. Dari sekian kewajiban yang diatur dalam UU Perkawinan dan KHI
tersebut tidak ada aturan secara eksplisit mengenai kewajiban memenuhi kebutuhan seks. Memenuhi kebutuhan seks ini hanya mungkin dimasukkan
dalam kewajiban timbal balik, yaitu saling memberi bantuan lahir dan batin.
Jika kita menengok kewajiban suami istri dalam literatur fikih mazhab empat, kewajiban suami kepada istri antara lain: a. suami wajib
memberi nafkah; b. menjalin hubungan suami istri dengan baik; c. memberi mahar; d. berlaku adil jika suami punya istri lebih dari satu. Kewajiban istri
terhadap suami: a. menjalin hubungan suami istri dengan baik; b. istri wajib taat kepada suami; c. istri wajib tinggal di rumah yang ditetapkan sebagai
tempat kediaman berumah tangga.
136
Dari kewajiban-kewajiban tersebut ada kewajiban istri taat kepada suami, di sini termasuk kewajiban istri untuk
memenuhi kebutuhan seks suami jika ia membutuhkan kecuali dalam keadaan sakit. Bahkan Ibn Qudamah
137
berpendapat istri dapat meminta penangguhan permintaan hubungan seks dari suaminya sehari dua hari
dengan alasan keperluan mempercantik dirinya atau dengan alasan sedang berkabung karena ada kematian keluarganya.
138
Kebutuhan seks bukan monopoli hak suami melainkan juga hak istri. Mazhab Malikiyah,
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat suami wajib memenuhi kebutuhan
136
Lihat ‘Abd al-‘Aziz ‘Amir,
al-Ah}wal al-Shakhs}iyah fi al-Shari‘at al-Islamiyah Fiqhan wa Qada’an “al-Zawwaj”
, 134-156; Ibn Rushd,
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al- Muqtas}id
, 437-439; Wahbah al-Zuhayli,
al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, vol. 9, 6589-6598; ‘Abd al-Rah}man al-Jaziri,
al-Fiqh} ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah
, vol. 4, 554; Sah}nun ibn Sa‘id al-Tanukhi,
al-Mudawwanah al-Kubra
, 379 dan 391; Ibn Qudamah,
al-Mughni
, vol. 9, 591 dan vol. 11, 175 dan 239; dan Ibn H{ajar al-Haytami,
Tuh}fah al-Muh}taj bi Sharh} al- Minhaj
, vol. 7, 439 dan vol. 8, 301-320.
137
Nama Lengkapnya Abu Muh}ammad ‘Abd Allah ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Qudamah ibn Miqdam ibn Nas}r al-Maqdisi, dilahirkan di Jamail Nablus tahun 541 H
dan wafat tahun 620. Ia adalah seorang ulama Hanabilah pengarang
al-Mugni
. Lihat Ibn Qaymaz al-Dzahabi,
Siyar al-Nubala
, vol. 2, 2347-2349.
138
Ibn Qudamah,
al-Mughni
, vol. 9, 592; dan Shams al-Din ‘Abd al-Rah}man ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Qudamah al-Maqdisi,
al-Sharh} al-Kabir
, dalam Ibn Qudamah,
al-Mughni
, vol. 9, 595.
152 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
seks istri. Kecuali mazhab Shafi’iyah yang berpendapat kewajiban suami memenuhi kebutuhan seks istri cukup sekali karena seks merupakan hak
laki-laki.
139
Dalam berbagai perundang-undangan hukum keluarga di negara- negara muslim tidak ditemukan pasal yang mengatur secara eksplisit tentang
hubungan memenuhi kebutuhan seks merupakan kewajiban istri terhadap suami atau sebaliknya. Akan tetapi dalam dalam pasal tertentu secara
implisit dapat dipahami ada kewajiban memenuhi kebutuhan seks, seperti undang-undang hukum keluarga Aljazair dalam Pasal 39 angka 1
mengatakan istri wajib taat kepada suami.
140
Undang-undang hukum keluarga Kuwait dalam Pasal 87 huruf a mengatur secara gamblang tentang
istri kehilangan hak nafkah jika ia menolak untuk berhubungan seks tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum.
141
Pasal ini mengindikasikan bahwa istri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Akan tetapi pada umumnya
undang-undang hukum keluarga di negara-negara Muslim Arab dalam bab yang mengatur tentang perkawinan yang dapat dibatalkan, tidak
terpenuhinya kebutuhan seks oleh salah satu pihak suami atau istri karena mengidap penyakit kelamin dapat dijadikan alasan untuk membatalkan
perkawinan, hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan seks bukan hanya merupakan kewajiban istri terhadap suami, akan tetapi juga
merupakan kewajiban suami terhadap istri.
142
Dengan pemetaan hukum fikih dan beberapa perundang-undangan tentang hukum keluarga, putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan
ketetapan hukum yang baru di mana istri yang sudah melayani kebutuhan seks suami, akan tetapi suami masih tidak puas dengan pelayanan seks
tersebut, suami dapat diijinkan untuk melakukan poligami atas dasar kaidah fikih:
“Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan.”
139
Wahbah al-Zuhayli,
al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, vol. 9, 6559-6560.
140
Lihat Dawoud El-Islami and Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab World, 46.
141
Lihat Dawoud El-Islami and Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab World, 130.
142
Negara-negara Arab Muslim dimaksud adalah: Aljazair, Irak, Jordania, Kuwait, Libanon, Libya, Maroko, Yaman dan Syria. Lihat Dawoud El Islami and Doreen
Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of Arab World, 47, 76, 103, 139-140, 164, 165, 192, 209, 232 dan 259; Adib Istanbuli,
al-Murshid fi Qanun al-Ah}wal al-Shakhs}iyah
, 53; dan D.F. Mulla’s, Principles of Mohamedan Law, 271.
153 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
Dengan demikian, perkara permohonan poligami tersebut tidak dapat dikategorikan atas dasar Pasal 4 ayat 2.a yaitu istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, melainkan alasan baru yang ditolelir oleh Mahkamah Agung, yaitu “suami yang hiperseksual dan tidak
bisa puas kebutuhan seksnya dari istri, sehingga dihawatirkan terjerumus dalam perilaku seks yang bertentangan dengan undang-undang dan hukum
Islam.” Hal ini dinyatakan sendiri dalam pertimbangan putusan Pengadilan Agama Tuban yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung bahwa dalam
perkara ini ketentuan alasan alternatif dan persyaratan kumulatif untuk mengajukan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan
jis. Pasal 55-59 KHI dapat disimpangi. Dalam perkara izin poligami Mahkamah Agung banyak menyimpang dari ketentuan fikih maupun
perundang-undangan sebagai ijtihad
insha’i dengan pertimbangan mas}lah}ah.