Nafkah Anak Dinamika putusan mahkamah agung republik Indonesia dalam bidang perdata Islam
197 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
perkawinan, sehingga dengan pertimbangan tersebut majlis hakim menetapkan jumlah nafkah lampau dan nafkah yang akan datang yang
wajib dibayar oleh tergugat adalah 19.000.000,00.”
237
3. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi
sebagai berikut, “bahwa penggugat istri menuntut tergugat suami untuk membayar nafkah anak yang selama 6 bulan terakhir tidak dibayar
oleh tergugat sebesar Rp 200.000,00 setiap bulan untuk kedua anak tersebut. Bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan terbukti
tergugat tidak memberikan nafkah untuk dua orang anak tersebut dan selama itu biaya kebutuhan hidup anak ditanggung oleh penggugat. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 41 huruf b UU Perkawinan jis. Pasal 49 ayat 1 huruf a UU Peradilan Agama dan Hadis Nabi Muhammad yang
tercantum dalam kitab
al-Muhadhdhab vol. 2 hal. 177:
238
“Ya Rasulullah, aku mempunyai uang. Maka Rasulullah bersabda: nafkahkanlah untuk dirimu. Ia berkata: Aku masih mempunyai uang
yang lain. Maka Rasulullah bersabda: nafkahkanlah untuk anakmu. Ia berkata: Aku masih mempunyai uang yang lain. Maka Rasulullah
bersabda: nafkahkanlah untuk keluargamu. Ia berkata: Aku masih mempunyai uang yang lain. Maka Rasulullah bersabda: nafkahkanlah
untuk pembantumu. Ia berkata: Aku masih mempunyai uang yang lain. Maka Rasulullah bersabda: kamu lebih mengetahuinya.”
4. Mahkamah Agung memperbaiki pertimbangan hukum Pengadilan Agama sebagai berikut “Mahkamah Agung akan mengadili sendiri
perkara ini dengan mengambil alih pertimbangan Pengadilan Agama Padangsidempuan sebagai pertimbangan sendiri dengan perbaikan
mengenai nafkah anak bukan merupakan utang karena nafkah anak bersifat
li al-intifa’ bukan li al-tamlik.” Pertimbangan Pengadilan Agama yang diperbaiki Mahkamah Agung berbunyi “bahwa penggugat
237
Lihat Putusan MA No 220KAG1994 tanggal 31 Oktober 1995 dan Putusan PTA Surbaya No. 65Pdt.G1993PTA.SBY. tanggal 28 Oktober 1993 dan Putusan PA
Kediri No. 1231Pdt.G1992PA.Kab.Kediri tanggal 23 Januari 1993.
238
Lihat Putusan MA No. 190KAG1991 tanggal 22 Juni 1994 jis. Putusan PTA Surabaya No. 251991PTA.SBY. tanggal 4 Juni 1991 dan Putusan PA Surabaya No.
969Pdt.G1990PA.SBY. tanggal 13 November 1990.
198 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
menuntut nafkah tiga orang anak dari tergugat suami yang tidak memberi nafkah terhadap anak selama tahun 1989 sd 2005 sejumlah Rp
126.000.000,00 dan selama masa itu biaya kebutuhan tiga orang anak ditanggung oleh penggugat. Bahwa sesuai pemeriksaan dalam
persidangan terbukti tergugat tidak memberi nafkah tiga orang anak selama masa tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 41 huruf c UU
Perkawinan jo. Pasal 105 huruf e, Pasal 149 huruf d dan Pasal 156 huruf d KHI, gugatan penggugat dapat dikabulkan. Bahwa mengenai besaran
jumlahnya majlis dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi suami sesuai Q.S. Al-T{alaq [65] : 7:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.”
dan kewenangan hakim yang diberikan oleh Pasal 156 huruf f KHI sehingga ditetapkan sejumlah Rp 19.500.000,00.”
239
Pertimbangan Mahkamah Agung, dalam beberapa contoh tersebut di atas, terdapat dua pendapat yang berbeda. Tiga contoh pertama, Mahkamah
Agung berpendapat nafkah anak yang tidak diberikan oleh ayahnya dan selama itu nafkah tersebut ditanggung oleh ibunya; ibunya dapat menuntut
nafkah anak yang dilalaikan oleh ayah si anak. Pertimbangan dalam contoh nomor 4, Mahkamah Agung berpendapat nafkah anak yang dilalaikan oleh
ayahnya dan selama itu nafkah anak tersebut ditanggulangi oleh ibunya tidak dapat dituntut oleh ibunya dengan alasan nafkah anak bukan
li al- tamlik melainkan li al-intifa’. Dalam tiga contoh pertama, Mahkamah
Agung menerapkan ketentuan Al-Qur’an, Hadis, qaul ulama dan peraturan perundang-undangan di mana nafkah anak merupakan kewajiban ayah.
Sedang dalam contoh nomor 4, Mahkamah Agung tidak menerapkan ketentuan Al-Qur’an, Hadis, qaul ulama dan peraturan perundang-
undangan. Contoh nomor 4 menggambarkan Mahkamah Agung tidak
239
Lihat Putusan MA No. 472KAG2006 tanggal 29 Maret 2007 jo. Putusan PA Padangsidempuan No. 96Pdt.G2005 PA. Psp tanggal 19 Desember 2005. Lihat pula
putusan Mahkamah Agung Nomor 237KAG2000.
199 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
responsip terhadap rasa keadilan, karena di samping menurut hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan ayah mempunyai kewajiban untuk
membiayai kebutuhan anak walaupun dalam keadaan tertentu istri punya kewajiban juga untuk memenuhi kebutuhan anak.
240
Sangat tidak adil pada saat ayah mampu untuk membiayai nafkah anak akan tetapi pada saat suami
lalai memberi nafkah terhadap anak, ibu dibebani membayar nafkah anak dengan tidak diberi hak untuk menuntut suami agar membayar nafkah
lampau anak. I. Nafkah Idah
Gugatan nafkah idah pada umumnya tidak berdiri sendiri, melainkan digabung dengan perkara perceraian baik perceraian yang diajukan oleh
suami maupun yang diajukan oleh istri. Dari jumlah sampel cerai talak yang berjumlah 156 perkara, terdapat gabungan gugatan nafkah idah sebanyak 81
perkara, setara dengan 51,92. Sedangkan yang digabung dengan cerai gugat sebanyak 45 dari jumlah 146, setara dengan 30,84 . Dasar hukum
yang digunakan dalam memutus perkara nafkah idah adalah KHI, UU Perkawinan, Hadis, dan Al-Qur’an.
Pasca perceraian mantan suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada mantan istri selama ia menjalani masa idah. Kewajiban
mantan suami untuk memberi nafkah kepada mantan istri tercantum dalam Q.S. Al-T{alaq [65] : 6 dan 7. Para fuqaha mazhab empat menetapkan
beberapa syarat terhadap mantan istri untuk mendapat nafkah selama masa idah dari mantan suami: Pertama, istri ditalak raj’i;
241
dan Kedua, mantan istri tidak
nushuz.
242
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
240
Mazhab Shafi’iyah berpendapat jika ayah tidak mampu, maka ibu wajib memenuhi nafkah anak. Mazhab Hanafiyah berpendapat jika ayah tidak mampu, ibu
bersama kekek berkewajiban memenuhi nafkah anak. Mazhab Hanabilah berpendapat jika ayah tidak mampu ibu dan kerabat dekat lainnya berkewajiban memenuhi kebutuhan anak.
Kecuali mazhab Malikiyah yang berpendapat bahwa kewajiban nafkah terhadap anak hanya ayah jika ayah tidak mampu yang lain tidak punya kewajiban. Lihat Wahbah al-Zuhayli,
al- Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, 7416-7417.
241
Menurut mazhab Hanafiyah, istri yang ditalak bain pun berhak untuk mendapat nafkah selama menjalani masa idah. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah, istri yang
ditalak bain tidak berhak mendapat nafkah maupun tempat tinggal selama masa idah. Berbeda dengan mazhab Hanafiyah dan Hanabilah, mazhab Shafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat istri yang ditalak bain berhak mendapat tempat tinggal dari mantan suaminya selama menjalani masa idah, akan tetapi tidak berhak mendapat nafkah. Lihat Wahbah al-
Zuhayli,
al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, juz 10, 7405.
242
Istri dianggap melakukan
nushuz
jika ia melalaikan kewajiban sebagai istri atau sebagai mantan istri. Lihat Wahbah al-Zuhayli,
al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, juz 10, 7364.
200 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
Indonesia, baik dalam UU Perkawinan maupun dalam KHI, istri yang ditalak oleh suaminya berhak memperoleh nafkah selama idah. Dalam Pasal
41 huruf c UU Perkawinan, hakim dapat menentukan biaya hidup untuk istri yang dijatuhi talak oleh suaminya. Demikian halnya dalam Pasal 149 huruf
b dan Pasal 152 KHI, mantan istri yang dicerai suaminya berhak memperoleh nafkah selama masa idah selama mantan istri tersebut tidak
nushuz.
Dalam doktrin fikih mazhab Shafi’iyah, Hanabilah dan Malikiyah, nafkah idah hanya diberikan kepada istri yang ditalak raj’i dan jika istri
tidak berbuat nushuz, sedangkan menurut mazhab Hanafiyah, istri yang
ditalak raj’i maupun talak ba’in tetap berhak untuk mendapat nafkah idah dari mantan suaminya.
243
Dalam putusan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung, yang termasuk talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami
setelah suami diizinkan untuk menjatuhkan talak. Lain halnya talak yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah talak ba’in sughra, suami tidak boleh
melakukan rujuk. Akibat hukum dari talak yang dijatuhkan oleh pengadilan menurut Shafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, mantan istri tidak berhak
untuk mendapat nafkah idah.
Mahkamah Agung memutuskan kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah idah tidak hanya kepada istri yang dijatuhi talak oleh
suami, akan tetapi juga terhadap mantan istri yang dijatuhi talak oleh pengadilan dalam bentuk talak ba’in sughra. Dari jumlah data cerai gugat
sebanyak 146 perkara, Mahkamah Agung memberi nafkah idah kepada pihak istri sebanyak 45 perkara, setara dengan 30,84. Dasar hukum yang
dijadikan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa menurut pendapat Mahkamah Agung, amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya yang menguatkan
putusan Pengadilan Agama Nganjuk harus diperbaiki sepanjang mengenai nafkah idah dengan pertimbangan bahwa walaupun dalam
perkara ini istri yang mengajukan gugat carai, namun penggugat setelah dijatuhi talak oleh pengadilan – penj. harus menjalani masa
idah, dan salah satu tujuan menjalani masa ‘idah adalah untuk istibra’, di mana istibra’ tersebut menyangkut kepentingan suami.
Maka berdasarkan Pasal 41 huruf c UU Perkawinan dan Pasal 49 KHI, tergugat diwajibkan untuk memberikan nafkah, maskan, dan
243
Ah}mad Ghundur
, al-T{alak fi al-Shari‘ah al-Islamiyah wa al-Qanuni
Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1967, 298. Lihat pula Wahbah al-Zuhayli,
al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh
, vol. 10, 7404; dan Ibn Rushd,
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtas}id
, 470.
201 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
kiswah selama masa idah kepada penggugat yang jumlah dan nilainya akan ditetapkan dalam amar putusan.”
244
Mahkamah Agung dalam hal menetapkan kewajiban suami untuk memberi nafkah idah kepada istri yang dijatuhi talak oleh pengadilan tidak
secara eksplisit menyatakan mengambil dasar hukum dari mazhab Hanafiyah, akan tetapi didasarkan atas
qiyas dan Pasal 41 huruf c UU Perkawinan.
Qiyas yang diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara nafkah idah bagi istri yang dijatuhi talak oleh pengadilan adalah “salah satu
tujuan istri yang ditalak menjalani masa idah adalah untuk meyakinkan mantan istri tersebut sedang mengandung atau tidak dari mantan suaminya
istibra’, agar kemurnian keturunan dari suami terjaga. Dilihat dari sisi tersebut,
istibra’ merupakan kepentingan suami untuk menjaga keturunannya, sehingga suami wajib memberi nafkah selama mantan
istrinya menjalani masa idah. Dalam perkara istri diceraikan oleh pengadilan, istri pun tetap berkewajiban untuk menjalani masa idah. Oleh
karena itu, istri yang diceraikan oleh pengadilan pun berhak untuk mendapat nafkah selama masa idah.
Putusan tersebut, dilihat dari perspektif kesetaraan gender, telah mengakomodir arus pengutamaan gender. Dalam hal ini, perempuan yang
mengajukan cerai dapat memperoleh nafkah idah jika penyebab retaknya rumah tangga adalah suami. Dalam literatur fikih, jika perempuan yang
mengajukan cerai, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah idah karena istri yang mengajukan cerai dianggap
nushuz. Sangat tidak adil jika suami berperilaku negatif sehingga menimbulkan rumah tangga tidak harmonis,
istri harus diam dalam tekanan psikologis untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Jalan keluarnya istri mengajukan perceraian. Dengan
terjadinya perceraian istri kehilangan jaminan hidup dari suaminya. Oleh karena itu, sangat memenuhi rasa keadilan jika dalam keadaan seperti itu
istri mendapat jaminan hidup selama masa idah apalagi jika diberikan nafkah selama istri tersebut belum kawin lagi. Dari hasil wawancara dengan
Hakim Agung, bahwa pemberian nafkah terhadap istri yang mengajukan gugatan cerai hanya diberikan kepada istri jika mengajukan cerai dengan
alasan rumah tangga sudah tidak harmonis, di mana ketidak harmonisan tersebut diakibatkan oleh ulah suami, misalkan suami melakukan kekerasan
244
Dalam Putusan Pengadilan Agama Nganjuk Nomor 1129Pdt.G2005PA.NGJ. tanggal 3 Agustus 2006 dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 249Pdt.G2006PTA.Sby
tanggal 28 November 2006, istri tidak diberi nafkah idah. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki kedua putusan tersebut. Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor
134KAG2007 tanggal 6 Februari 2008; dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 53KAG2007 tanggal 12 Maret 2008.
202 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
dalam rumah tangga, suami selingkuh dengan perempuan lain, suami membiarkan istri tidak diberi nafkah dalam rangka memenuhi rasa
keadilan.
245
J. Mut’ah Perkara mut’ah hampir tidak ada yang berdiri sendiri, akan tetapi
senantiasa digabungkan dengan perkara cerai talak, baik diputuskan oleh Pengadilan Agama secara ex officio dalam keadaan istri tidak mengajukan
tuntutan mut’ah, atau diputus oleh pengadilan atas tuntutan istri. Tidak ditemukan putusan Mahkamah Agung yang memberikan mut’ah kepada
janda jika dalam perkara tersebut pihak istri yang berinisiatif mengajukan gugatan cerai. Dari data putusan cerai talak yang berjumlah 156, Mahkamah
Agung menetapkan kewajiban atas suami memberi mut’ah kepada istri yang ditalak sebanyak 83 53,20. Dasar hukum yang diterapkan adalah Al-
Qur’an, UU Perkawinan , KHI, dan qaul ulama.
Kewajiban suami untuk memberi mut’ah terhadap istrinya yang ditalak diatur dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 236, 240, 241 dan Q.S. Al-Ah}zab
[33] : 49. Para sahabat Nabi Muhammad berbeda pendapat mengenai hukum memberi mut’ah kepada istri yang ditalak. ‘Abd Allah ibn ‘Umar dan ‘Ali
ibn Abi T{alib berpendapat bahwa mut’ah hukumnya wajib atas suami terhadap istri yang ditalak, karena dalam ayat tersebut kalimatnya berbentuk
perintah, yakni
.
Shurayh
246
berpendapat bahwa mut’ah hukumnya nadb karena dalam ayat tersebut diembeli kata
.
menurut Abu ‘Ubayd, seandainya maksud dari ayat tersebut bermakna wajib, maka
kalimat tersebut tidak akan diembeli dengan kata
.
247
Perbedaan pendapat para sahabat tentang hukum mut’ah berlanjut kepada para mujtahid empat. Imam Malik berpendapat bahwa mut’ah
hukumnya sunnah. Sedangkan menurut Abu H{anifah mut’ah wajib dengan syarat istri yang ditalak belum disenggama dan belum diberi mahar.
Berbeda dengan Imam Malik dan Abu H{anifah, Imam Shafi‘i berpendapat bahwa mut’ah wajib diberikan kepada istri dengan syarat talak dijatuhkan
245
Hasil wawancara dengan beberapa Hakim Agung yang memutus perkara hukum perdata Islam, tanggal 27 Mei 2010.
246
Shurayh ibn al-Harith ibn Qays al-Kindi diangkat sebagai
qadi
di Kufah oleh ‘Umar ibn al-Khat}t}ab, jabatan tersebut berlangsung selama 60 tahun, kemudian di Basrah
satu tahun, dan pada masa Mu’awiyah diangkat di Damsyiq. Beliau wafat pada tahun 78 atau 80 H. Lihat Ibn Qaymaz al-Dhahabi,
Siyar A‘lam al-Nubala
, vol. 2, 1972-1973.
247
Al-Qurt}ubi,
al-Jami‘ li Ah}kam al-Qur’an
, vol. 2, 200.
203 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
oleh suami, dan istrinya belum disenggama. Pendapat yang lebih luas adalah yang dikemukakan oleh mazhab Zahiriyah. Mazhab ini berpendapat bahwa
mut’ah wajib diberikan kepada istri yang ditalak jenis apapun talaknya.
248
KHI Pasal 158 menetapkan mut’ah wajib dengan syarat: 1. Talak dijatuhkan oleh suami, 2. Istri sudah disenggama tetapi belum diberi mahar.
Ada beberapa hal yang menarik dalam perkara mut’ah yang diputus oleh Mahkamah Agung. Pertama, Mahkamah Agung tidak memberikan
mut’ah bagi perempuan yang dicerai yang perceraiannya diajukan oleh istri. Dasar pemikiran Mahkamah Agung karena perkara perceraian yang
diajukan oleh istri berakibat istri tidak berhak atas mut’ah.
249
Dalam perkara ini, Mahkamah Agung berpegang pada qaul ulama dan KHI yang
menetapkan bahwa perempuan yang berhak mendapat mut’ah adalah perempuan yang ditalak oleh suami. Sedangkan perceraian atas permohonan
istri talaknya dijatuhkan oleh Pengadilan, sehingga istri tidak berhak untuk mendapat mut’ah. Dalam hal ini, Mahkamah Agung menerapkan hukum
yang sudah ada
ijtihad tat}biqi tanpa melakukan pembaharuan. Sebagaimana dalam perkara nafkah idah di mana Mahkamah Agung
menyimpangi qaul ulama dengan menetapkan istri yang mengajukan perceraian jika dikabulkan permohonnya istri memperoleh nafkah idah.
Pembaharuan hukum seperti itu dimungkinkan secara yuridis jika mut’ah dipahami sebagai imbalan istri lantaran menderita tekanan psikologis dalam
rumah tangga.
Metode ijtihadnya dapat menerapkan metode qiyas terhadap putusan
Nabi Muhammad dalam perkara istri Qays yang diceraikan dengan keharusan mengembalikan semua benda yang diberikan suami pada saat
perkawinan. Pengembalian benda pemberian suami tersebut patut diduga sebagai imbalan terhadap suami yang kehilangan istri sedangkan suami
tidak berperilaku negatif yang menimbulkan ketidak harmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, jika istri mengajukan perceraian disebabkan rumah
tangga tidak harmonis akibat perilaku negatif suami yang menyebabkan rumah tangga tidak harmonis dapat dianalogikan terhadap perkara istri Qays
tersebut. Demikian halnya dalam hukum perikatan jika salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah akad perikatan melakukan cidera
janjiwanprestasi maka dia bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi terhadap pihak lainnya. Dalam perkara perceraian, perilaku buruk suami
248
Ibn Rushd,
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtas}id
, 473. Lihat pula Ibn H}azm,
al-Muh}alla
, 1807.
249
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 295KAG2000 tanggal 25 Oktober 2002 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 75Pdt.G1999PTA.JKT
tanggal 25 Juli 1999 dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 230Pdt.G1998PA.Jak.Sel tanggal 11 November 1998.
204 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
dalam rumah tangga yang berakibat tidak harmonisnya rumah tangga dan dilanjutkan dengan perceraian merupakan tindakan cidera janji dari pihak
suami yang seharusnya pihak suami dibebani membayar ganti rugi terhadap istri, karena dengan perceraian istri dirugikan oleh suami berupa kehilangan
jaminan hidup yang jika perkawinan bertahan dengan harmonis jaminan hidup akan dinikmati oleh istri.
Kedua, Mahkamah Agung dalam menetapkan kewajiban suami untuk memberi mut’ah tidak melihat apakah istri pada saat dijatuhi talak
berbuat nushuz atau tidak dan tidak mempertimbangkan apakah istri sudah
diberi mahar atau tidak. Dalam beberapa putusannya Mahkamah Agung mewajibkan suami memberikan mut’ah walaupun istri melakukan
perselingkuhan dengan laki-laki lain.
250
Demikian halnya Mahkamah Agung tidak mempermasalahan ketika istri yang ditalak beragama selain Islam
tetap diberi mut’ah.
251
Pendapat Mahkamah Agung tersebut tidak memenuhi rasa keadilan jika diukur dengan teori wanprestasi. Dalam hal istri berbuat
nushuz atau berbuat serong dengan laki-laki lain, istri telah melakukan wanprestasi terhadap akad perkawinan. Berdasarkan teori wanprestasi,
pihak yang harus dibebani membayar ganti rugi adalah pihak yang melakukan wanprestasi. Dalam kasus talak yang dijatuhkan suami terhadap
istri yang
nushuz danatau berbuat serong dengan laki-laki lain seharusnya istri yang dibebani pembayaran ganti rugi karena ia telah berbuat
wanprestasi. Ketiga, penentuan besaran mut’ah. Dalam Q.S. Al-Baqarah [2] :
236, yang dijadikan acuan untuk menentukan besarnya jumlah mut’ah adalah kemampuan suami dan
ma‘ruf.
252
Demikian para mazhab empat
250
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 295KAG2000 tanggal 11 Juli 2002; Nomor 436KAG2003 tanggal 15 Agustus 2004; dan Nomor 700 KAG2003 tanggal 25
November 2004.
251
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 18 KAG2000 tanggal 25 Februari 2001; Nomor 360 KAG2006 tanggal 19 Juni 2007; Nomor 473 KAG2006 tanggal 24
Mei 2007.
252
Q.S. Al-Baqarah [2] : 236:
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
205 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
tidak menentukan batas minimal maupun maksimal jumlah mut’ah.
253
Nabi Muhammad menceraikan istrinya yang bernama Umaymah binti al-Nu‘man
ibn Bashir dengan memberi mut’ah sebanyak dua uwqiyah sedangkan
H{asan ibn ‘Ali menceraikan istrinya yang bernama ‘Aishah binti Fu‘lamiyyah dengan memberi mut’ah sebanyak sepuluh ribu dirham.
254
Mahkamah Agung cenderung menetapkan mut’ah lebih mengedepankan perlindungan terhadap istri, relatif kurang mempertimbangkan kemampuan
suami sehingga menetapkan mut’ah dengan jumlah yang sangat besar.
255