Peran Hakim dalam Pembentukan Hukum Islam

55 P ENGAD ILA N A GAMA ditangani oleh raja secara langsung. Pengadilan Padu menangani kasus- kasus perdata dan pidana ringan yang ditangani oleh penjabat yang ditunjuk oleh raja. Pengadilan Adat menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan sengketa masyarakat adat dan ditangani oleh kepala adat – kebanyakan terdapat di wilayah Indonesia di luar Pulau Jawa. Pengadilan Surambi, pada masa Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram, menggantikan pengadilan Pradata yang kewenangannya meliputi kasus pidana dan perdata. Kekuasaan Pengadilan Surambi dijabat oleh raja yang berkuasa, akan tetapi dalam praktiknya ditangani oleh para penghulu yang diangkat oleh raja. 72 Pada awal pemerintahan kolonial Belanda, keberadaan Pengadilan Agama 73 masih tetap dipertahankan. Bahkan keberadaannya diakui dalam Stbl. Nomor 2 Tahun 1854 tentang Indonesische Staatsregeling Konstitusi Pemerintahan Hindia Belanda, 74 sedangkan kewenangannya diatur dalam Stbl. 1882 Nomor 152 tanggal 19 Januari 1882 untuk Pengadilan Agama di Wilayah Jawa dan Madura dan dalam Stbl. Nomor 638 Tahun 1937 untuk Pengadilan Agama di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur, meliputi perkawinan, perceraian, waris dan wakaf. Sejak 1 April 1937, kewenangan Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura dipersempit sehingga hanya berwenang mengadili kasus perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi wewenang Landraad sekarang Pengadilan Negeri. 75 Setelah Indonesia merdeka, keberadaan lembaga Peradilan Agama dipertahankan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD ’45. Pada saat itu, pembinaan lembaga Peradilan Agama berada di bawah kementerian 72 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, 15-20. Lihat pula Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, 32. 73 Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, nama lembaga Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura disebut Priesterraad Raad Agama, sedangkan di wilayah Kalimantan Selatan, Tenggara dan Timur dinamakan Pengadilan Kadi. Lihat R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II Jakarta: Pradnya Paramita, 1970, 69-70. 74 Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling berbunyi: “Evenwel staan de burgerlijke rechtzaken tusschen Mohamedanen, indien hun adatrecht medebrengt, ter kennisneming van den godsdien rechter, voor zoover niet bij ordonnantie anders is bepaald” Akan tetapi perkara hukum perdata antara orang Islam itupun jikalau itu dikehendaki oleh hukum adatnya diperiksa oleh hakim agama, sekedar yang tidak ditentukan lain dengan ordonansi. Lihat Van Hoeve, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van Republiek Indonesie Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1989, 144; dan Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, 23. 75 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 68. 56 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM kehakiman. Dengan terbentuknya Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946, H.M. Rasyidi, Menteri Agama pertama, mengajukan permintaan kepada Kementerian Kehakiman yang pada saat itu dipegang oleh Suwandi agar pembinaan Peradilan Agama dilakukan oleh Kementerian Agama. Beradasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 5S.D tanggal 25 Maret 1946 Peradilan Agama diserahkan dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama. Akan tetapi, upaya penyatuan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Negeri oleh kalangan nasionalis terus berlangsung, sehingga disusunnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman. Pasal 6 ayat 1 UU Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman tersebut menegaskan bahwa dalam Negara Republik Indonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan. Berdasarkan UU tersebut, lembaga Peradilan Agama, yang sejak tahun 1882 diakui keberadaannya oleh pemerintahan Hindia Belanda, tidak diakui keberadaannya secara yuridis. UU tersebut melebur keberadaan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum. Peleburan tersebut diatur dalam Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim beragama Islam sebagai ketua dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota. 76 Meskipun demikian, Undang-Undang tersebut belum sempat berlaku disebabkan terjadinya revolusi fisik melawan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan Indonesia Merdeka. 77 Tarik menarik kaum nasionalis dan tokoh Islam mengenai lembaga Peradilan Agama berakhir dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Pasal 1 ayat 2 huruf a dan b Undang-Undang tersebut menghapuskan beberapa lembaga peradilan kecuali lembaga Peradilan Agama. Bahkan Pasal 1 ayat 4 menyatakan 76 Lihat http:legislasi.mahkamah agung .go.iddoesuu1948.pdf., diakses tanggal 31 Agustus 2010. 77 Daniel S Lev, Islamic Courts In Indonesia, terj. H. Zaini Ahmad Noeh Jakarta: Intermasa, 1980, 85. Lihat pula Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, 69; Abdul Manan, Peranan Peradilan Agama dalam Perspektif Pembahuruan Hukum Islam, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2004, 65; dan Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 19992000, 19. 57 P ENGAD ILA N A GAMA “Pelanjutan Peradilan Agama tersebut dalam ayat 2 bab a dan b akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Amanat Pasal 1 ayat 4 UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 baru terwujud pada tahun 1957 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah di Propinsi Aceh. Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa “di tempat-tempat ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum pengadilan Negeri.” 78 Peraturan Pemerintah tersebut selanjutnya dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah di Luar Jawa-Madura. Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa “di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri.” 79 Dengan terbitnya PP Nomor 45 Tahun 1957, keberadaan lembaga Peradilan Agama di seluruh wilayah Indonesia secara yuridis sudah semakin kokoh. Bahkan pada tahun 1964, Peradilan Agama tidak hanya dipayungi oleh Peraturan Pemerintah, melainkan dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peralihan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru sangat berpengaruh terhadap reformasi hukum dan lembaga kenegaraan. Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1964 dianggap tidak sesuai dengan UUD ’45 karena dalam pasal-pasal tertentu eksekutif dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan yudikatif. Oleh karenanya Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dalam Pasal 2 Undang- Undang tersebut disebutkan bahwa “Pernyataan tidak berlakunya Undang- Undang yang tercantum dalam Lampiran III Undang-Undang ini salah satunya adalah UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman – penj. ditetapkan pada saat Undang-Undang yang menggantikannya mulai berlaku.” 80 78 Lihat http:www.cicods.orguploaddatabasepp_29_1957.pdf., diakses tanggal 13 Agustus 2010. 79 Hasbullah Bakri, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia Jakarta: Djambatan, 1985, cet. III, 291. 80 Lihat http:www.legalitas.orguu 6-1969.htm, diakses tanggal 13 Agustus 2010.

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122