Kewenangan dan Fungsi Mahkamah Agung RI
30 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
samping itu, berdasarkan yurisprudensi, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat memperbaiki amar dan pertimbangan putusan judex factie jika
amar dan pertimbangan judex fatie dianggap belum atau tidak tepat.
Untuk perkara-perkara pidana, ada dua macam kasasi, yaitu kasasi sebagai upaya hukum biasa dan kasasi sebagai upaya hukum luar biasa.
Kasasi sebagai upaya hukum luar biasa dilakukan dengan tata cara dan syarat-syarat berikut:
1. Hanya dilakukan demi kepentingan hukum. 2. Hanya terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang bukan putusan Mahkamah Agung yaitu putusan pengadilan tingkat pertama dan atau pengadilan tingkat banding.
3. Hanya oleh Jaksa Agung wewenang eksklusif Jaksa Agung. 4. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak
yang berkepentingan KUHAP Pasal 259 dst. Yang berkepentingan adalah terpidana. Tidak boleh merugikan maksudnya, antara lain pidana
tidak boleh lebih berat, karena itu putusan bebas atau lepas tidak mungkin diajukan kasasi demi kepentingan hukum.
21
Kewenangan Mahkamah Agung lainnya adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
22
Mahkamah Agung diberi wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus keberatan atas penetapan hasil
perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah Pilkada dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah Pilwakada yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah KPUD. Atas ketentuan Pasal 106 ayat 1 itu pula pada bulan Mei 2005 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Perma Nomor 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari
KPUD Provinsi dan KPUD KabupatenKota. Perma ini merupakan karakteristik hukum acara formeel recht yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung dalam rangka menyelenggarakan fungsi pengaturan regelende functie guna mengisi kekosongan hukum acara untuk menjabarkan
ketentuan acara yang diatur oleh undang-undang.
Pemberian kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan keberatan atas penetapan hasil perhitungan suara Pilkada dan
Pilwakada berdasarkan Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini
21
Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU Nomor 4 Tahun 2004, 99-100.
22
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah LN-RI Tahun 2004 Nomor 125 dan TLN-RI Nomor 4437. Lihat Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, 56.
31 K
EDUDUKAN
MA
D ALA M
S
IS TEM
P
ERADIL AN
N
A SIO NAL
pernah menjadi polemik dan pernah dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kelompok warga. Para pemohon
memohonkan agar Pasal 106 ayat 1 sampai dengan ayat 7 Undang- Undang Pemerintahan Daerah itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat karena dipandang bertentangan dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Mereka mengajukan argumentasi bahwa jika Pilkada
dipandang termasuk Pemilihan Umum Pemilu menurut Pasal 22E ayat 2 UUD 1945, maka yang berhak memutus perselisihan tentang hasil Pemilu
adalah Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, bukan Mahkamah Agung.
23
C. Hubungan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstistusi Sebagai
Pelaku Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
24
Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A UUD 1945, yakni mengadili pada tingkat kasasi, mengadili peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Kewenangan Mahkamah Agung lainnya diatur dalam UU Mahkamah Agung,
25
UU Perseroan Terbatas,
26
memutus pendapat DPRD yang mengusulkan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan, dan
mengadili keberatan atas penetapan hasil perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah Pilkada dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah Pilwakada
yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
27
23
Mahkamah Konstitusi RI, Berjalan-jalan di Ranah Hukum: Pikiran-pikiran Lepas Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.Buku Kesatu Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan, 2006, 223-225.
24
Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, 1.
25
Undang-Undang Mahkamah Agung adalah UU Nomor 14 Tahun 1985 yang sudah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU Nomor 3 Tahun 2009.
26
UU Perseroan Terbatas adalah UU Nomor 1 Tahun 1995. Lihat Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, vol. 1, 1157.
27
UU Pemerintahan Daerah adalah UU Nomor 32 Tahun 2004. Lihat Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, vol. 1, 134.
32 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
Sedangkan kewenangan dan tugas Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD ’45 Pasal 24C adalah 1 Menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2 Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar; 3 Memutus pembubaran partai politik; 4 Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; dan 5 Memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden danatau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
danatau Wakil Presiden. Penjabaran lebih lanjut mengenai kewenangan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU Mahkamah
Konstitusi.
28
Titik singgung kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal mengadili keberatan atas penetapan hasil
perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah Pilkada dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah Pilwakada yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah KPUD yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Pemberian kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan
keberatan atas penetapan hasil perhitungan suara Pilkada dan Pilwakada berdasarkan Pasal 106 Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini pernah
menjadi polemik dan pernah dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kelompok warga. Para pemohon memohonkan
agar Pasal 106 ayat 1 sampai dengan ayat 7 Undang-Undang Pemerintahan Daerah itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat karena dipandang bertentangan dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Mereka mendalilkan, tatkala Pilkada dipandang termasuk Pemilihan
Umum Pemilu menurut Pasal 22E ayat 2 UUD 1945, maka yang berhak memutus perselisihan tentang hasil Pemilu adalah Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, bukan Mahkamah Agung.
29
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073PUU-II2004 tanggal 22 Maret 2005 dalam perkara tersebut di atas memandang bahwa Pilkada
Langsung tidak termasuk dalam kategori Pemilihan Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945, namun adalah Pemilihan Umum secara
materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat
28
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003 LN-RI Tahun 2003 Nomor 98 dan TLN-RI Nomor 4316. Lihat Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia, vol. 1, 288.
29
Mahkamah Konstitusi RI, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, 223-225.
33 K
EDUDUKAN
MA
D ALA M
S
IS TEM
P
ERADIL AN
N
A SIO NAL
saja memastikan Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu
perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Namun
pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada Langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E
UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung, sebagaimana dimungkinkan Pasal 22A ayat
1 UUD 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Menurut H.M. Laica Marzuki, hakim konstitusi yang juga Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, sebagai seorang dissenter dalam putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa: “... ketika disepakati bahwa Pilkada Langsung adalah Pemilu menurut Pasal 22E ayat 2 UUD NRI 1945, maka
kewenangan memutus perselisihan tentang hasil Pilkada Langsung adalah Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 24C ayat 1 UUD l945, bukan
Mahkamah Agung.”
Dikatakan, frasa kalimat konstitusi yang menyebut kewenangan Mahkamah Agung adalah mencakup “wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang” sebagaimana termaktub dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945 tidak dapat dipahami sebagai kewenangan memutus perselisihan
hasil Pemilihan Umum, karena hal dimaksud tidak termasuk rechtsprekende functie yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Agung sehubungan
dengan mengadili perselisihan hasil Pemilihan Umum.
Dalam pendapatnya yang berbeda dissenting opinion itu, dikatakan bahwa kewenangan lain dari Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
Pasal 24A UUD 1945 adalah kewenangan yang diberikan atas dasar undang-undang dalam arti wet, gezets, bukan constitutionele bevoegheden
dalam hal mengadili perselisihan hasil Pemilihan Umum hanya pada Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945.
Kewenangan dimaksud diberikan oleh pembuat konstitusi, tidak dapat disimpangi dengan menyerahkan kewenangan yustisial semacamnya kepada
de wetgever.
30