62 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
Pada masa reformasi, terjadi perubahan politik terhadap penanganan konflik yang terjadi di Aceh dari pendekatan militer ke pendekatan politik.
Oleh karenanya, untuk wilayah Aceh Peradilan Agama dirubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Tinggi Syar’iyah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
meliputi bidang
ah}wal al-shakhs}iyah hukum keluarga, mu‘amalah hukum perdata, dan
jinayah hukum pidana yang didasarkan atas shariah Islam.
91
Berkembangnya perbankan syariah juga mempengaruhi kewenangan Peradilan Agama. Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional dianggap oleh pemerintah belum cukup memadai. Atas dasar itu, pada tahun 2006 diadakan perubahan UU
Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan perluasan kewenangan Peradilan Agama mencakup sengketa
ekonomi syariah.
92
Kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dipertegas lagi dengan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Pasal 55 ayat 1 UU Perbankan Syariah berbunyi “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.” Akan tetapi, UU Perbankan Syariah tersebut bersifat ambigu karena dalam Pasal 55 ayat 2 disebutkan: “Dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad.” Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya
sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas atau lembaga arbitrase lain;
danatau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
bisa membuat umat Budha tertekan secara psikis, karena menimbulkan kesan bahwa RUU PA itu juga berlaku untuk umat Budha. Untuk itu kamipun sebenarnya memerlukan
institusi sendiri, terlebih bila ada orang Budha yang melanggar hukum agama, tapi tidak melanggar hukum negara”; 5 Majlis Ulama Indonesia menyatakan bahwa RUU PA
bertujuan untuk meningkatkan hukum-hukum di sekitar Peradilan Agama yang sudah ada pada zaman penjajahan Belanda menjadi suatu hukum nasional.” Lihat Zuffran Sabrie, ed.,
Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila Jakarta: Pustaka Antara, 1990, 162- 178.
91
Lihat http:www.media.comview, diakses tanggal 7 Juni 2010.
92
Penjelasan Pasal 49 huruf i UU Peradilan Agama berbunyi: “yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi: a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syariah, c. Asuransi syariah, d. Reasuransi syariah, e. Reksadana syariah, f. Obligasi syariah dan surat
berharga syariah berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah, h. Pembiayaan syariah, i. Pegadaian syariah, j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, k. Bisnis syariah.
63 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
Pemberian opsi dalam akad untuk menyelesaikan sengketa ke Pengadilan Negeri menjadikan pasal tersebut ambigu dalam kaitannya dengan
kewenangan antar pengadilan.
93
Menurut Hasbi Hasan, berdasarkan teori kompetensi seharusnya sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan
Peradilan Agama. Jika undang-undang perbankan syariah tersebut mengacu pada teori kompetensi, maka tidak akan terjadi opsi penyelesaian antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Opsi hanya dimungkinkan antara penyelesaian secara litigasi di pengadilan atau secara non litigasi di lembaga
arbitrase.
94
3. Putusan Peradilan Agama dan Upaya Hukum Kasasi
Sesuai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, Peradilan Agama memutus perkara perkawinan,
kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah. Terhadap putusan Pengadilan Agama, pihak yang tidak puas dapat mengajukan banding
kepada Pengadilan Tinggi Agama. Jika ada pihak berperkara yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama, maka dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memeriksa putusan Pengadilan Tinggi Agama dengan bentuk putusan: 1
Mengabulkan permohonan kasasi dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama dan mengadili sendiri; 2 Menolak permohonan kasasi
putusan Pengadilan Tinggi Agama sudah tepat dan benar; 3 Menolak permohonan kasasi dengan perbaikan pertimbangan danatau amar putusan
Pengadilan Tinggi Agama; 4 Menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima; 5 Menyatakan permohonan kasasi gugur; dan 6 Permohonan
kasasi dicabut.
Mahkamah Agung dapat mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama jika: 1 Tidak berwenang
atau melampaui batas wewenang; 2 Salah menerapkan hukum; 3 Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan;
95
dan 4 Putusan Pengadilan Tinggi Agama kurang pertimbangan.
96
Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan kasasi, secara substantif mengandung dua kemungkinan; Pertama, putusan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dibatalkan, dan Kedua,
93
Lihat http:www.media.comview, diakses tanggal 7 Juni 2010.
94
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah Jakarta: Gramata, 2010, 175-429.
95
Pasal 30 UU Mahkamah Agung.
96
Pasal 50 dan 52 UU Mahkamah Agung.
64 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
putusan Pengadilan Tinggi Agama dibatalkan, sebaliknya putusan Pengadilan Agama dikuatkan. Sedangkan putusan yang menolak
permohonan kasasi mengandung dua kemungkinan; Pertama, putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dikuatkan; dan Kedua,
putusan Pengadilan Tinggi Agama dibenarkan, sebaliknya putusan Pengadilan Agama dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung yang menolak
kasasi dengan perbaikan substansinya mengandung tiga kemungkinan: Pertama, amar dan pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi Agama kurang
tepat atau tidak sempurna; Kedua, amar dan pertimbangan putusan Pengadilan Agama kurang tepat atau kurang sempurna; dan Ketiga, amar
dan pertimbangan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama kurang tepat atau kurang sempurna. Selanjutnya putusan
Mahkamah Agung yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima disebabkan empat hal: Pertama, permohonan dan atau memori
kasasi lewat waktu yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Kedua, surat kuasa tidak memenuhi syarat; Ketiga, perkara
tersebut seharusnya diajukan permohonan banding terlebih dahulu; dan Keempat, pihak pemohon kasasi tidak mempunyai legal standing untuk
mengajukan permohonan kasasi. Bentuk putusan lainnya adalah putusan pencabutan jika pihak pemohon kasasi mengajukan permohonan pencabutan
hal ini terjadi disebabkan para pihak berdamai, atau pemohon kasasi tidak berkehendak untuk melanjutkan permohonan kasasinya. Adapun putusan
yang menggugurkan permohonan kasasi jika pemohon kasasi tidak memenuhi kekurangan biaya perkara setelah dilakukan peneguran.
Perkara kasasi terhadap putusan dari lingkungan Peradilan Agama terdiri dari perkara yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan,
ekonomi syariah dan pidana syariah. Dari empat kelompok perkara tersebut yang paling banyak adalah perkara yang berkaitan dengan hukum
perkawinan, disusul dengan perkara kewarisan, ekonomi syariah, dan pidana syariah. Sebagai gambaran perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama
dari tahun 1991 sd 2007 dapat dilihat dalam tabel 3.1:
65 P
ENGAD ILA N
A
GAMA
66 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM