Ahli Waris Anak Angkat
275 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
K
E WAR ISAN
Agama secara ex officio menetapkan 14 bagian dari harta warisan untuk kedua anak angkat tersebut.”
109
3. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi,
“bahwa dalam persidangan terbukti almarhum X meninggalkan ahli waris dua orang saudara kandung perempuan A dan B, seorang istri Y
dan seorang anak angkat C. Bahwa di samping itu almarhum X meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh Y dan C. Oleh karena
itu, berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ [4] : 7, 33 dan Hadis Nabi Muhammad:
110
“Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.”
Pasal 180, 182, 209 ayat 2 KHI ditetapkan ahli waris almarhum X adalah A dan B saudara kandung perempuan, Y seorang istri, dan C
anak angkat dengan bagian masing-masing sebagai berikut: A dan B saudara kandung perempuan mendapat 23 bagian; Y istri mendapat
¼ bagian; C anak angkat mendapat 13 bagian; jumlah seluruhnya 812 + 312 + 412 = 1512 diaul menjadi 1515 sehingga bagian masing
masing setara A dan B mendapat 815; Y mendapat 315 dan C mendapat 415.”
111
4. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa dalam
persidangan terbukti almarhumah Y meninggalkan ahliwaris tiga orang saudara perempuan sekandung A, B, C, delapan keponakan laki-laki dan
empat perempuan D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8, dua orang saudara perempuan seayah E, F, tiga orang keponakan laki-laki dan seorang
perempuan dari saudara laki-laki seayah G1, G2, G3, G4, dan satu orang anak angkat H, serta dua orang cucu dari anak angkat H1, H2. Bahwa di
109
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 102KAG2006 tanggal 25 April 2006 jis. Putusan PTA Bandar Lampung Nomor 02Pdt.G2005 tanggal 3 Mei 2005 dan Putusan
Pengadilan Agama Gunung Sigih Nomor 31Pdt.G2004 tanggal 8 Desember 2004.
110
Al-Tirmidhi,
Sunan al-Tirmidhi
, 477.
111
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 211KAG2006 tanggal 30 Nopember 2006 jis. Putusan Pengadilan Tingggi Agama Surabaya Nomor 268Pdt.G2005PTA.SBY
tanggal 27 Desember 2005 dan Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 223Pdt.g2005PA.Sda tanggal 8 September 2005.
276 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
samping itu almarhumah Y meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh H, H1, H2. Oleh karena itu, berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ [4] : 176
Pasal 182, 185 KHI ditetapkan ahli waris almarhumah Y adalah A, B, C saudara perempuan sekandung, D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8
empat keponakan laki-laki dan empat perempuan dari saudara perempuan sekandung, E, F dua orang saudara perempuan seayah,
G1, G2, G3, G4 tiga orang keponakan laki-laki dan seorang perempuan dari saudara laki-laki seayah. Bahwa hibah seluruh harta kekayaan Y
kepada H1 dan H2 bertentangan dengan Pasal 210 ayat 2 KHI, oleh karena itu harus dibatalkan dan hanya berlaku 13 dari harta Y. Bahwa
oleh karena almarhumah Y belum memberikan wasiat kepada H anak angkat maka ditetapkan bagian anak angkat dari wasiat wajibah sebesar
18 dari harta warisan setelah dikurangi hibah 13. Bahwa bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut: A, B, C saudara perempuan
sekandung masing-masing mendapat 18 bagian, D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8 empat keponakan laki-laki dan empat perempuan dari
saudara perempuan sekandung mendapat 18 bagian dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, E, F dua orang saudara
perempuan seayah masing-masing mendapat 18 bagian, G1, G2, G3, G4 tiga orang keponakan laki-laki dan seorang perempuan dari saudara
laki-laki seayah mendapat 18 bagian dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagaian perempuan.”
112
5. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa terbukti dalam persidangan almarhum X
dan almarhumah Y meninggalkan ahli waris A dan anak angkat B dan C. Menimbang bahwa B dan C diangkat oleh almarhum Y dan X dengan
cara memutuskan hubungan kekeluargaan dengan orang tua mereka. Maka berdasarkan Q.S. Al-Ah}zab [33] : 4 dan 5:
--
112
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 243KAG2005 tanggal 26 April 2006 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 165Pdt.G2004PTA.Bdg. tangal 1
Februari 2004 dan Putusan Pengadilan Agama Sumedang Nomor 933Pdt.G2003PA.Smd. tanggal 29 Juli 2004.
277 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
K
E WAR ISAN
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah
mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” serta Pasal 39 ayat 2 UU Perlindungan anak yang berbunyi:
“pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya,” maka gugatan B dan C untuk mendapat bagian wasiat wajibah dari harta warisan almarhum X dan Y harus ditolak.”
113
6. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang berbunyi, “bahwa dalam persidangan terbukti almarhum X
meninggalkan ahli waris istri ketiga A, dua orang saudara sekandung B dan C, saudara seayah D, anak angkat E, anak dari istri kedua lahir
sebelum nikah F. Di samping itu almarhum X meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh E. Bahwa berdasarkan Pasal 179, 186 KHI
ditetapkan ahli waris almarhum X adalah istri ketiga A, dua orang saudara sekandung B dan C, saudara seayah D dan anak di luar
perkawina tidak termasuk ahli waris. Bahwa oleh karena almarhum X tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkat berdasarkan Pasal 209
ayat 2 KHI maka pengadilan secara ex officio menetapkan anak angkat
113
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 38KAG2004 tanggal 14 September 2005 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pontianak Nomor
05Pdt.G2003PTA.Pontianak. tanggal 22 Oktober 2004.
278 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
mendapat 13 bagian dari harta warisan. Bahwa mengenai bagian masing-masing ahli waris ditetapkan sebagai berikut: A istri ketiga
mendapat 14 dari harta warisan setelah dikurangi bagian anak angkat, B dan C saudara sekandung mendapat 24 dari harta warisan setelah
dikurangi wasiat wajibah, D saudara seayah mendapat seperempat dari harta warisan setelah dikurangi wasiat wajibah.”
114
Beberapa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut mengandung beberapa kaidah hukum sebagai berikut:
1. Kaidah hukum pertama, “anak yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat, hidup dalam lingkungan keluarga pewaris dan ia mengabdi
merawat pewaris, walaupun tidak ada putusan Pengadilan Negeri mengenai pengangkatan anak tersebut, mendapat wasiat wajibah
sebanyak 13 dari harta warisan” – pertimbangan hukum nomor 1. Kaidah hukum ini tidak didasarkan atas Pasal 209 ayat 2, melainkan
didasarkan atas rasa keadilan di mana anak tersebut hidup di lingkungan keluarga almarhum X dan selama X masih hidup anak tersebut melayani
X sebagaimana layaknya seorang anak, dan didasarkan pula atas Q.S. Al-Nisa’ [4] : 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” karena anak tersebut keponakan anak saudara kandung dari almarhum
X. Kaidah hukum tersebut sejalan dengan Q.S. Al-Baqarah [2] : 180:
114
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 370KAG2000 tanggal 14 Juni 2006 jo. Putusan Pengadilan Agama Jombang Nomor 500Pdt.G1998PA.Jb. tanggal 20
November 1999; dalam kasus lain anak dari perkawinan tidak tercatat dan tidak ada izin sebagai istri kedua dari Pengadilan Agama tidak dapat mewaris dari ayah biologisnya;
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 120KAG2005 tanggal 8 Maret 2006 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 68Pdt.G2004PTA.Mdn tanggal 30 November 2004 dan
Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 110Pdt.G2004PA.Mdn tanggal 22 Juli 2004.
279 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
K
E WAR ISAN
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menganjurkan untuk berwasiat kepada kaum kerabat yang tidak berhak mewaris karena ada ahli waris yang lebih dekat. Kaidah hukum
tersebut dianut pula oleh mazhab empat, akan tetapi tidak berbentuk kewajiban hanya merupakan sunnah.
115
Kaidah hukum tersebut merupakan pengembangan dari Pasal 209 KHI di mana menurut pasal
tersebut wasiat wajibah hanya untuk anak angkat atau bapak yang mengangkat anak. Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan bahwa
kaidah hukum tersebut merupakan analogi qiyas terhadap Pasal 209
KHI, akan tetapi dalam pertimbangannya sangat jelas ‘illat anak tersebut
diberi wasiat wajibah karena anak tersebut hidup dalam lingkungan keluarga almarhum dan diperlakukan seperti anak angkat serta anak
tersebut berbakti kapada almarhum layaknya seperti anak angkat.
2. Kaidah hukum kedua, “jika pewaris tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkat pengadilan secara ex officio menetapkan wasiat wajibah
untuk anak angkat” – pertimbangan hukum nomor 1. Kaidah hukum ini bergeser dari fikih mazhab empat, karena dalam fikih mazhab empat
wasiat tidak wajib melainkan sunnah. Kaidah hukum tersebut bukan merupakan kaidah hukum baru, akan tetapi menerapkan Pasal 209 ayat
2 KHI dengan cara ijtihad
intiqa’i. Kaidah ini memenuhi rasa keadilan masyarakat karena pada umumnya di berbagai daerah di Indonesia anak
angkat mendapat warisan dari orang tua angkatnya, bahkan untuk menghindari sengketa di belakang hari, tidak jarang anak angkat diberi
hibah lebih dahulu sewaktu orang tua angkat masih hidup.
3. Kaidah hukum ketiga, “bagian ahli waris anak angkat tidak mutlak harus 13 bagian dari harta warisan, akan tetapi mempertimbangkan
banyaknya harta warisan dan banyaknya ahli waris” – pertimbangan
115
Lihat Abd al-H{amid al-Sharwani,
Hashiyah ‘ala Tuh}fat al-Muh}taj bi Sharh} al- Minhaj
, vol. 7, 21; dan Ibn Qudamah al-Maqdisi,
al-Mughni
, vol. 8, 119.
280 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
hukum nomor 2, 3, dan 4. Kaidah ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad:
116
“Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.”
Hadis ini membatasi maksimal wasiat 13 bahkan lebih menganjurkan untuk tidak menterlantarkan ahli waris menjadi peminta-minta.
Demikian halnya Pasal 209 ayat 2 KHI menyatakan bahwa wasiat wajibah maksimal 13, secara contrario berarti boleh kurang dari 13.
Kaidah tersebut menerapkan kaidah yang sudah ada dalam hukum fikih dan KHI, yakni ijtihad
intiqa’i. 4. Kaidah keempat, “hibah orang tua angkat kepada anak angkatnya atas
seluruh harta kekayaan orang tua angkat tidak mengikat dan yang berlaku maksimal 13 dari harta orang tua angkat” – pertimbangan
hukum nomor 4. Kaidah hukum ini menerapkan kaidah hukum yang terkandung dalam Hadis Nabi Muhammad:
117
“Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.”
kaidah hukum yang terdapat dalam fikih mazhab empat dan Pasal 209 ayat 2 KHI dalam rangka memenuhi rasa keadilan antara anak angkat
dan ahli waris.
5.
Kaidah kelima, “pengangkatan anak yang memutuskan hubungan keluarga dengan orang tua angkatnya tidak mengakibatkan hak wasiat
wajibah” – pertimbangan hukum nomor 5. Q.S. Al-Ah}zab [33] : 4 dan 5:
116
Al-Tirmidhi,
Sunan al-Tirmidhi
, 477.
117
Al-Tirmidhi,
Sunan al-Tirmidhi
, 477.
281 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
K
E WAR ISAN
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah mereka anak-anak angkat
itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” Menurut al-Qurt}ubi, ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa
Zayd ibn H{arith yang dinasabkan oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad sebagai anak Nabi Muhammad. Hal tersebut dilarang oleh
Allah, karena pemeliharaan anak tidak boleh menasabkan anak kepada bapak angkatnya, sehingga memutuskan hubungan keluarga dengan
orang tuanya.
118
Hadis Nabi Muhamad pun melarang memutuskan nasab
118
Lihat al-Qurt}ubi,
al-Jami‘ al-Ah}kam al-Qur’an
, vol. 14, 188; dan Muh}ammad ‘Ali al-S{abuni,
Tafsir Ayat al-Qur’an
Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1977, 263.
282 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
anak dengan orang tuanya.
119
Demikian halnya Pasal 39 ayat 2 UU Perlindungan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.” Mahkamah Agung dalam hal
pengangkatan anak tetap berpegang pada kaidah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadis, fikih mazhab empat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kaidah inipun responsif terhadap isu HAM di mana seorang anak harus mengetahui orang tuanya, berhak untuk tidak
dipisahkan dari orang tuanya.
120
Cara penerapan hukum ini merupakan bentuk ijtihad
tat}biqi.