Ahli Waris Anak Angkat

275 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN Agama secara ex officio menetapkan 14 bagian dari harta warisan untuk kedua anak angkat tersebut.” 109 3. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa dalam persidangan terbukti almarhum X meninggalkan ahli waris dua orang saudara kandung perempuan A dan B, seorang istri Y dan seorang anak angkat C. Bahwa di samping itu almarhum X meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh Y dan C. Oleh karena itu, berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ [4] : 7, 33 dan Hadis Nabi Muhammad: 110 “Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.” Pasal 180, 182, 209 ayat 2 KHI ditetapkan ahli waris almarhum X adalah A dan B saudara kandung perempuan, Y seorang istri, dan C anak angkat dengan bagian masing-masing sebagai berikut: A dan B saudara kandung perempuan mendapat 23 bagian; Y istri mendapat ¼ bagian; C anak angkat mendapat 13 bagian; jumlah seluruhnya 812 + 312 + 412 = 1512 diaul menjadi 1515 sehingga bagian masing masing setara A dan B mendapat 815; Y mendapat 315 dan C mendapat 415.” 111 4. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan Pengadilan Agama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa dalam persidangan terbukti almarhumah Y meninggalkan ahliwaris tiga orang saudara perempuan sekandung A, B, C, delapan keponakan laki-laki dan empat perempuan D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8, dua orang saudara perempuan seayah E, F, tiga orang keponakan laki-laki dan seorang perempuan dari saudara laki-laki seayah G1, G2, G3, G4, dan satu orang anak angkat H, serta dua orang cucu dari anak angkat H1, H2. Bahwa di 109 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 102KAG2006 tanggal 25 April 2006 jis. Putusan PTA Bandar Lampung Nomor 02Pdt.G2005 tanggal 3 Mei 2005 dan Putusan Pengadilan Agama Gunung Sigih Nomor 31Pdt.G2004 tanggal 8 Desember 2004. 110 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi , 477. 111 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 211KAG2006 tanggal 30 Nopember 2006 jis. Putusan Pengadilan Tingggi Agama Surabaya Nomor 268Pdt.G2005PTA.SBY tanggal 27 Desember 2005 dan Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 223Pdt.g2005PA.Sda tanggal 8 September 2005. 276 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM samping itu almarhumah Y meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh H, H1, H2. Oleh karena itu, berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ [4] : 176 Pasal 182, 185 KHI ditetapkan ahli waris almarhumah Y adalah A, B, C saudara perempuan sekandung, D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8 empat keponakan laki-laki dan empat perempuan dari saudara perempuan sekandung, E, F dua orang saudara perempuan seayah, G1, G2, G3, G4 tiga orang keponakan laki-laki dan seorang perempuan dari saudara laki-laki seayah. Bahwa hibah seluruh harta kekayaan Y kepada H1 dan H2 bertentangan dengan Pasal 210 ayat 2 KHI, oleh karena itu harus dibatalkan dan hanya berlaku 13 dari harta Y. Bahwa oleh karena almarhumah Y belum memberikan wasiat kepada H anak angkat maka ditetapkan bagian anak angkat dari wasiat wajibah sebesar 18 dari harta warisan setelah dikurangi hibah 13. Bahwa bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut: A, B, C saudara perempuan sekandung masing-masing mendapat 18 bagian, D1, D2, D3, D4, D5, D6, D7, D8 empat keponakan laki-laki dan empat perempuan dari saudara perempuan sekandung mendapat 18 bagian dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, E, F dua orang saudara perempuan seayah masing-masing mendapat 18 bagian, G1, G2, G3, G4 tiga orang keponakan laki-laki dan seorang perempuan dari saudara laki-laki seayah mendapat 18 bagian dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagaian perempuan.” 112 5. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa terbukti dalam persidangan almarhum X dan almarhumah Y meninggalkan ahli waris A dan anak angkat B dan C. Menimbang bahwa B dan C diangkat oleh almarhum Y dan X dengan cara memutuskan hubungan kekeluargaan dengan orang tua mereka. Maka berdasarkan Q.S. Al-Ah}zab [33] : 4 dan 5: --                                    112 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 243KAG2005 tanggal 26 April 2006 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 165Pdt.G2004PTA.Bdg. tangal 1 Februari 2004 dan Putusan Pengadilan Agama Sumedang Nomor 933Pdt.G2003PA.Smd. tanggal 29 Juli 2004. 277 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN                               “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” serta Pasal 39 ayat 2 UU Perlindungan anak yang berbunyi: “pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya,” maka gugatan B dan C untuk mendapat bagian wasiat wajibah dari harta warisan almarhum X dan Y harus ditolak.” 113 6. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang berbunyi, “bahwa dalam persidangan terbukti almarhum X meninggalkan ahli waris istri ketiga A, dua orang saudara sekandung B dan C, saudara seayah D, anak angkat E, anak dari istri kedua lahir sebelum nikah F. Di samping itu almarhum X meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh E. Bahwa berdasarkan Pasal 179, 186 KHI ditetapkan ahli waris almarhum X adalah istri ketiga A, dua orang saudara sekandung B dan C, saudara seayah D dan anak di luar perkawina tidak termasuk ahli waris. Bahwa oleh karena almarhum X tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkat berdasarkan Pasal 209 ayat 2 KHI maka pengadilan secara ex officio menetapkan anak angkat 113 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 38KAG2004 tanggal 14 September 2005 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Pontianak Nomor 05Pdt.G2003PTA.Pontianak. tanggal 22 Oktober 2004. 278 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM mendapat 13 bagian dari harta warisan. Bahwa mengenai bagian masing-masing ahli waris ditetapkan sebagai berikut: A istri ketiga mendapat 14 dari harta warisan setelah dikurangi bagian anak angkat, B dan C saudara sekandung mendapat 24 dari harta warisan setelah dikurangi wasiat wajibah, D saudara seayah mendapat seperempat dari harta warisan setelah dikurangi wasiat wajibah.” 114 Beberapa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut mengandung beberapa kaidah hukum sebagai berikut: 1. Kaidah hukum pertama, “anak yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat, hidup dalam lingkungan keluarga pewaris dan ia mengabdi merawat pewaris, walaupun tidak ada putusan Pengadilan Negeri mengenai pengangkatan anak tersebut, mendapat wasiat wajibah sebanyak 13 dari harta warisan” – pertimbangan hukum nomor 1. Kaidah hukum ini tidak didasarkan atas Pasal 209 ayat 2, melainkan didasarkan atas rasa keadilan di mana anak tersebut hidup di lingkungan keluarga almarhum X dan selama X masih hidup anak tersebut melayani X sebagaimana layaknya seorang anak, dan didasarkan pula atas Q.S. Al-Nisa’ [4] : 8:               “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” karena anak tersebut keponakan anak saudara kandung dari almarhum X. Kaidah hukum tersebut sejalan dengan Q.S. Al-Baqarah [2] : 180: 114 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 370KAG2000 tanggal 14 Juni 2006 jo. Putusan Pengadilan Agama Jombang Nomor 500Pdt.G1998PA.Jb. tanggal 20 November 1999; dalam kasus lain anak dari perkawinan tidak tercatat dan tidak ada izin sebagai istri kedua dari Pengadilan Agama tidak dapat mewaris dari ayah biologisnya; Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 120KAG2005 tanggal 8 Maret 2006 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 68Pdt.G2004PTA.Mdn tanggal 30 November 2004 dan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 110Pdt.G2004PA.Mdn tanggal 22 Juli 2004. 279 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN                   “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Ayat ini menganjurkan untuk berwasiat kepada kaum kerabat yang tidak berhak mewaris karena ada ahli waris yang lebih dekat. Kaidah hukum tersebut dianut pula oleh mazhab empat, akan tetapi tidak berbentuk kewajiban hanya merupakan sunnah. 115 Kaidah hukum tersebut merupakan pengembangan dari Pasal 209 KHI di mana menurut pasal tersebut wasiat wajibah hanya untuk anak angkat atau bapak yang mengangkat anak. Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kaidah hukum tersebut merupakan analogi qiyas terhadap Pasal 209 KHI, akan tetapi dalam pertimbangannya sangat jelas ‘illat anak tersebut diberi wasiat wajibah karena anak tersebut hidup dalam lingkungan keluarga almarhum dan diperlakukan seperti anak angkat serta anak tersebut berbakti kapada almarhum layaknya seperti anak angkat. 2. Kaidah hukum kedua, “jika pewaris tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkat pengadilan secara ex officio menetapkan wasiat wajibah untuk anak angkat” – pertimbangan hukum nomor 1. Kaidah hukum ini bergeser dari fikih mazhab empat, karena dalam fikih mazhab empat wasiat tidak wajib melainkan sunnah. Kaidah hukum tersebut bukan merupakan kaidah hukum baru, akan tetapi menerapkan Pasal 209 ayat 2 KHI dengan cara ijtihad intiqa’i. Kaidah ini memenuhi rasa keadilan masyarakat karena pada umumnya di berbagai daerah di Indonesia anak angkat mendapat warisan dari orang tua angkatnya, bahkan untuk menghindari sengketa di belakang hari, tidak jarang anak angkat diberi hibah lebih dahulu sewaktu orang tua angkat masih hidup. 3. Kaidah hukum ketiga, “bagian ahli waris anak angkat tidak mutlak harus 13 bagian dari harta warisan, akan tetapi mempertimbangkan banyaknya harta warisan dan banyaknya ahli waris” – pertimbangan 115 Lihat Abd al-H{amid al-Sharwani, Hashiyah ‘ala Tuh}fat al-Muh}taj bi Sharh} al- Minhaj , vol. 7, 21; dan Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni , vol. 8, 119. 280 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM hukum nomor 2, 3, dan 4. Kaidah ini sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad: 116 “Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.” Hadis ini membatasi maksimal wasiat 13 bahkan lebih menganjurkan untuk tidak menterlantarkan ahli waris menjadi peminta-minta. Demikian halnya Pasal 209 ayat 2 KHI menyatakan bahwa wasiat wajibah maksimal 13, secara contrario berarti boleh kurang dari 13. Kaidah tersebut menerapkan kaidah yang sudah ada dalam hukum fikih dan KHI, yakni ijtihad intiqa’i. 4. Kaidah keempat, “hibah orang tua angkat kepada anak angkatnya atas seluruh harta kekayaan orang tua angkat tidak mengikat dan yang berlaku maksimal 13 dari harta orang tua angkat” – pertimbangan hukum nomor 4. Kaidah hukum ini menerapkan kaidah hukum yang terkandung dalam Hadis Nabi Muhammad: 117 “Cukup sepertiga, karena sepertiga itu sudah cukup banyak, jika kamu meninggalkan ahli waris kamu dalam keadaan kecukupan, maka akan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kekurangan, sehingga meminta-minta kepada orang lain.” kaidah hukum yang terdapat dalam fikih mazhab empat dan Pasal 209 ayat 2 KHI dalam rangka memenuhi rasa keadilan antara anak angkat dan ahli waris. 5. Kaidah kelima, “pengangkatan anak yang memutuskan hubungan keluarga dengan orang tua angkatnya tidak mengakibatkan hak wasiat wajibah” – pertimbangan hukum nomor 5. Q.S. Al-Ah}zab [33] : 4 dan 5: 116 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi , 477. 117 Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi , 477. 281 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN                                                                  “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Menurut al-Qurt}ubi, ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa Zayd ibn H{arith yang dinasabkan oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad sebagai anak Nabi Muhammad. Hal tersebut dilarang oleh Allah, karena pemeliharaan anak tidak boleh menasabkan anak kepada bapak angkatnya, sehingga memutuskan hubungan keluarga dengan orang tuanya. 118 Hadis Nabi Muhamad pun melarang memutuskan nasab 118 Lihat al-Qurt}ubi, al-Jami‘ al-Ah}kam al-Qur’an , vol. 14, 188; dan Muh}ammad ‘Ali al-S{abuni, Tafsir Ayat al-Qur’an Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1977, 263. 282 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM anak dengan orang tuanya. 119 Demikian halnya Pasal 39 ayat 2 UU Perlindungan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.” Mahkamah Agung dalam hal pengangkatan anak tetap berpegang pada kaidah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadis, fikih mazhab empat dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Kaidah inipun responsif terhadap isu HAM di mana seorang anak harus mengetahui orang tuanya, berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya. 120 Cara penerapan hukum ini merupakan bentuk ijtihad tat}biqi.

G. Ahli Waris Beda Agama

Perkara ahli waris beda agama jumlahnya sangat kecil. Berdasarkan sampel yang ada hanya ditemukan dua perkara. Untuk mengetahui pendapat Mahkamah Agung mengenai ahli waris beda agama dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung di bawah ini: Mahkamah Agung memperbaiki amar putusan Pengadilan Agama, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama, tanpa memberikan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum Pengadilan Agama berbunyi, “Bahwa almarhum X meninggalkan ahli waris seorang istri Y, seorang ayah A, tiga orang saudara B, C, D. Ayah dan tiga orang saudara almarhum memeluk agama selain Islam. Di samping itu almarhum X meninggalkan harta warisan yang dikuasai oleh A, B, C, D dan oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 171 huruf a, Pasal 180 KHI ditetapkan ahli waris almarhum X adalah Y. Bahwa berdasarkan Pasal 180 KHI bagian Y sebagai istri mendapat 14 bagian. Menimbang bahwa berdasarkan keadilan dan kepatutan serta berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ [4] : 8: 119 “Orang yang menasabkan diri kepada yang bukan bapaknya, padahal ia tahu itu bukan bapaknya, termasuk orang kufur. Dan orang yang mengaku bahwa ia bagian dari suatu kaum, padahal ia tidak memiliki nasab leluhurnya pada kaum itu, maka ia akan masuk neraka.” Lihat al-Bukhari, S{ah}ih} al-Bukhari , 898; dan Muslim, S{ah}ih} Muslim , 58. 120 Lihat Pasal 56 dan 59 UU No. 39 Tahun 1999 tentang UU Hak Asasi Manusia. Dalam Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, 1918-1919. 283 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN               -- “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” A ayah almarhum X harus mendapat wasiat wajibah. Bahwa jumlah wasiat wajibah tidak boleh melebihi bagian ahli waris. Oleh karena ahli waris Y hanya berhak 14 dari harta warisan maka A sebagai ayah ditetapkan bagian wasiat wajibahnya sebesar 14 bagian. Menimbang bahwa oleh karena harta warisan masih tersisa 24 bagian, maka berdasarkan Pasal 193 KHI sisa harta warisan tesebut di- radd kepada ahli waris dhawi al-furud}, yaitu Y sebagai istri. Bahwa tiga orang saudara beragama selain Islam maka mereka tidak berhak mendapat warisan. 121 Para fuqaha menetapkan perbedaan agama pewaris dengan ahli waris sebagai faktor penghalang untuk mewaris. 122 Ketentuan ini tidak diatur dalam Al-Qur’an, melainkan dalam Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah ibn Zayd. Bunyi Hadis-nya ada dua redaksi: 123 “Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang beragama selain Islam dan sebaliknya orang yang beragama selain Islam tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim.” 121 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 59KAG2001 tanggal 8 Mei 2002 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 07Pdt.G2000PTA.JK tanggal 21 Juni 2000 dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor 54?Pdt.G1999PA.JU tanggal 13 Oktober 1999. 122 Lihat Jalal al-Din Muh}ammad ibn Ah}mad al-Mah}alli, Sharh} al-Mah}alli ‘ala Minhaj al-T{alibin , vol. 3, 148; Ibn H{azm, al-Muh}alla , 1497; Ibn Rushd, Bidayat al- Mujtahid wa Nihayat al-Muqtas}id , 688; Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh} al-Islami wa Adillatuh , vol. 10, 7718-7719; dan Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni , vol. 8, 494-496. 123 Lihat Muslim, S{ah}ih} Muslim , 777; al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi , 475; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah , 464; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud , 677; Ibn H{ibban, S{ah}ih} Ibn H{ibban , 1033; Imam H{akim, al-Mustadrak ‘ala S{ah}ih}ayn , 1523; Abu Muh}ammad ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rah}man ibn al-Fad}al ibn Bahram al-Darimi, Sunan al-Darimi Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2000, 961. 284 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM B IDA NG P ERD ATA I SL AM 124 “Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang beragama selain Islam” – tanpa kalimat sebaliknya. Dilihat dari segi sanad rangkaian orang yang meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada generasi berikutnya sampai kepada yang membukukan Hadis, Hadis tersebut berstatus s}ah}ih} memenuhi standar untuk dijadikan sumber hukum, akan tetapi dari segi matan substansinya, Hadis tersebut diragukan kesahihannya. Pertama, karena matan Hadis tersebut, khususnya bentuk yang kedua, menurut satu riwayat dalam S{ah}ih} al-Bukhari dan Sunan Ibn Majah adalah pendapat ‘Umar ibn al-Khat}t}ab bukan pendapat Nabi Muhammad. 125 Kedua, daya mengikat Hadis tersebut diragukan karena Mu‘adh ibn Jabal pernah memutus kasus harta warisan dari pewaris Yahudi harta warisan diberikan kepada ahli waris yang muslim. Keputusan Mu‘adh ibn Jabal tersebut diikuti oleh Yah}ya ibn Ya‘mar. 126 Berbeda dengan Mu‘adz ibn Jabal, ‘Umar ibn al-Khat}t}ab berpegang teguh pada prinsip di mana orang muslim tidak boleh mewaris harta warisan dari pewaris kafir, beliau dalam kapasitas sebagai qadi pernah menolak tuntutan seorang muslim terhadap harta warisan pewaris yang kafir dan harta warisan diberikan kepada ahli waris yang kafir. 127 KHI Pasal 171 huruf b dan c mengatur tentang syarat pewaris dan ahli waris harus beragama Islam. Dengan demikian, beda agama dalam KHI merupakan penghalang bagi seseorang untuk mewaris. Dalam hal wasiat, Pasal 171 huruf f KHI menyebutkan: “wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.” Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang yang bergama Islam, sehingga orang yang tidak beragama Islam sah menerima wasiat dari seorang yang beragama Islam. Akan tetapi pasal-pasal lainnya tentang wasiat tidak pula terdapat pasal yang mengatur kewajiban seorang untuk berwasiat kepada keturunannya atau kerabat yang mempunyai hubungan darah yang tidak beragama Islam. Mahkamah Agung dalam putusannya menetapkan anak pewaris yang tidak beragama Islam dapat diberi wasiat wajibah wasiat yang ditetapkan oleh pengadilan maksimal 13 bagian dari harta warisan, 124 Lihat al-Bukhari, S{ah}ih} al-Bukhari , 1588; dan Imam Malik, al-Muwat}t}a , 328. 125 Lihat al-Bukhari, S{ah}ih} al-Bukhari , 438; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah , 464. 126 Lihat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud , 677 dan 678; dan Imam H{akim, al- Mustadrak ‘ala S{ah}ih}ayn , 1523. 127 Imam Malik, al-Muwat}t}a , 328. 285 D INAM IKA P UTU SAN MA DALAM P ERKARA H UKUM K E WAR ISAN sebagaimana wasiat wajibah untuk anak angkat dari ayah angkatnya pada saat ayah angkat tidak memberikan wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar kedudukan Hadis tentang beda agama sebagai penghalang untuk mewaris dilihat dari segi dilalah maupun riwayahnya bersifat z}anni, dan teori usul fikih bahwa Hadis tidak dapat diberlakukan secara umum akan tetapi merupakan hukum yang mengikat kasus tertentu: “Penetapan hukum didasarkan pada kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz.” Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama selain Islam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, fikih mazhab empat dan KHI. Putusan ini merupakan putusan yang responsif terhadap isu HAM. Ijtihad yang digunakan adalah ijtihad intiqa’i di mana Mahkamah Agung menerapkan hukum yang telah ada bahwa wasiat dapat diberikan kepada orang yang beragama selain Islam. Uraian Bab V di atas menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, putusan Mahkamah Agung dalam bidang kewarisan sejak tahun 1991 sd 2007 berisi 20 kaidah hukum, yaitu: WR.1. Bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. WR.2. Suami mendapat 14 jika mewaris bersama anak. WR.3. Istri mendapat 18 jika mewaris bersama anak. WR.4. Ibu mendapat 16 jika mewaris bersama anak. WR.5. Anak laki-laki mendapat asabah. WR.6. Anak perempuan menghijab saudara. WR.7. Ahli waris anak, istrisuami, ayah dan ibu tidak saling menghijab. WR.8. Ayah mendapat 16 bagian jika mewaris bersama anak, jika mewaris tidak bersama anak ayah mendapat asabah. WR.9. Ayah menghijab saudara. WR.10. Keturunan dari anak perempuan mewaris sebagai ahli waris pengganti bersama anak laki-laki dan atau anak perempuan. WR.11. Cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat bagian sama dengan anak perempuan. WR.12. Saudara seayah kedudukannya sama dengan saudara sekandung. WR.13. Perempuan keturunan saudara laki-laki dan perempuan serta laki- laki keturunan saudara perempuan dapat mewaris bersama ahli waris dhawi al-furud} dan asabah.

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122