HadanahPemeliharaan Anak Dinamika putusan mahkamah agung republik Indonesia dalam bidang perdata Islam
174 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
2. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat 1 dan
2 kedua orang tua wajib memelihara anak kandung mereka. Jika terjadi perceraian anak yang di bawah usia 12 tahun, ibu lebih diutamakan untuk
memelihara anak sesuai Pasal 105 KHI.”
187
Putusan Mahkamah Agung yang menyerahkan pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun kepada ibu menerapkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta hukum Islam baik yang terkandung dalam Hadis Nabi Muhammad maupun yang terkandung dalam fikih mazhab
empat. Demikian pula dilihat dari sisi mas}lah}ah, yakni kepentingan anak di
mana anak di bawah usia 12 tahun pada umumnya masih membutuhkan perawatan dari ibu. Hal ini merupakan implementasi filosofi pemeliharaan
anak harus didasarkan atas kepentingan kehidupan anak.
Kedua, putusan pemeliharaan anak yang diserahkan kepada ayah. Putusan ini pada umumnya anak berusia di bawah 12 tahun, sebagian kecil
anak berusia di atas 12 tahun. Ada tiga alasan yang dijadikan dasar menetapkan pemeliharaan anak kepada ayah: 1. ibu memeluk agama selain
Islam, 2. ibu berkelakuan buruk, 3. ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain, dan 4. ibu si anak sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak,
karena anak tidak dipelihara oleh ibunya melainkan dipelihara oleh nenek dari pihak ibu.
Putusan Mahkamah Agung yang memberikan pemeliharaan anak kepada ayah karena alasan ibu memeluk agama selain Islam adalah sebagai
berikut: 1. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi sebagai berikut; “bahwa penggugat sebagai ibu kandung dari anak tersebut sejak tahun
2000 telah memeluk agama Hindu, oleh karena itu gugatan penggugat untuk memelihata anak tersebut harus ditolak karena tidak memenuhi
syarat yang diatur dalam
nas} shar‘i dalam kitab Kifayat al-Akhyar Jilid II hal. 94 yang terjemahannya sebagai berikut, “syarat-syarat orang yang
akan melaksanakan tugas hadanah adalah berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, memiliki tempat tinggal yang tetap,
dan tidak bersuami.”
188
187
Lihat Putusan MA No. 191KAG1995 tanggal 15 Desember 1995 jo. Putusan PTA Semarang No. 25Pdt.G1993 tanggal 31 Desember 1993.
188
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 374KAG2003 tanggal 21 Juni 2006 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 109Pdt.G2002PTA.MTR tanggal
13 Nopember 2002 dan Putusan Pengadilan Agama Denpasar Nomor 5Pdt.G2002PA.DPS. tangggal 31 Juli 2002.
175 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
2. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama yang berbunyi sebagai berikut; “bahwa ayah dan ibu si anak
dapat diberi wewenang untuk memelihara anak jika memenuhi syarat baligh, berakal sehat, mempunyai kemampuan dan waktu untuk
memelihara anak, berkelakuan baik, beragama Islam. Dalam hal ini tergugat sebagai ibu yang saat ini memelihara anak kedua yang berusia 3
tahun beragama Kristen sehingga ia tidak memenuhi syarat untuk diberi wewenang memelihara anak. Di samping itu, walaupun dalam Pasal 105
KHI tidak mensyaratkan untuk memelihara anak harus beragama Islam, akan tetapi dalam Pasal 40 huruf e dan Pasal 44 KHI disebutkan bahwa
perkawinan harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang beragama Islam. Oleh karenanya Pasal 105 harus dipahami ibu yang
beragama Islam. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 105 KHI dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 10KAG1988, kedua anak
tersebut pemeliharaannya harus diserahkan kepada penggugat sebagai ayahnya.”
189
3. Mahkamah Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi sebagai berikut,
“bahwa penggugat sebagai ayah empat orang anak semuanya berusia kurang dari 12 tahun. Keempat orang anak tersebut pada saat ini
dipelihara oleh kakek dan nenek dari pihak ibu kandung mereka yang beragama Katolik dan Budha setelah ibu si anak meninggal dunia.
Seluruh keluarga dari pihak ibu kandung beragama selain Islam. Pada saat ini anak pertama dan anak kedua dimasukkan di sekolah Kristen.
Bahwa Q.S. Al-Ma’idah [5] : 51 melarang orang muslim mengangkat orang yang tidak beragama Islam menjadi wali. Oleh karena itu,
berdasarkan Q.S. Al-Ma’idah [5] : 51 tersebut yang berwenang memelihara keempat orang anak tersebut adalah penggugat sebagai ayah
kandungnya.” Pertimbangan Pengadilan Agama tersebut ditambah oleh Pengadilan Tinggi Agama sebagai berikut, “bahwa ibu kandung keempat
anak tersebut telah meninggal dunia, maka dengan demikian hak hadanah pemeliharaan anak dan tanggung jawab terhadap keempat anak tersebut
adalah ayah kandungnya sesuai Pasal 41 huruf b UU Perkawinan jis. Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf a, c dan e KHI.”
190
189
Lihat Putusan MA No. 180KAG2004 tanggal 22 Desember 2005 jis. Putusan PTA Bandung No. 108Pdt.G2003PTA.Bdg. tanggal 15 Februari 2004 dan Putusan
Pengadilan Agama Cibinong No. 1173Pdt.G2002PA.Cbn tanggal 3 April 2003.
190
Lihat Putusan MA No. 275KAG2004 tanggal 29 Juni 2005 jis. Putusan PTA Bandung No. 212Pdt.G2003 tanggal 31 Desember 2003 dan Putusan PA Tangerang No.
460Pdt.G2002 tanggal 15 September 2003.
176 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
4. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi, “bahwa penggugat sebagai
ayah kandung menuntut agar anak berusia balita diserahkan oleh tergugat ibu kandung anak kepada penggugat ayah kandung anak tersebut karena
tergugat bergama Kristen. Bahwa berdasarkan Pasal 156 huruf a KHI dan Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ah}mad dan Abu Dawud
yang intinya bahwa ibu kandung lebih berhak untuk memelihara anak balita sepanjang ibu kandung si anak belum menikah lagi serta Hadis
Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i yang intinya Nabi Muhammad memutus sengketa anak antara ayah yang
beragama Islam dan ibu yang beragama selain Islam tidak didasarkan atas agama tetapi didasarkan atas pilihan anak. Oleh kerena itu,
berdasarkan pertimbangan tersebut gugatan penggugat ayah kandung tergugat untuk memelihara anak tersebut harus ditolak.” Mahkamah
Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut, “bahwa Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama salah menerapkan Pasal 156 huruf
a dan dua Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ah}mad tersebut pemeliharaan anak harus diutamakan.
Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa untuk kepentingan pemeliharaan anak dan pendidikan anak penggugat dan tergugat sudah
sepantasnya anak tersebut dipelihara oleh penggugat.”
191
Mahkamah Agung memberikan hak pemeliharaan anak kepada ayah karena ibu berkelakuan buruk. Mahkamah Agung membenarkan
pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi sebagai berikut:
“Penggugat ibu kandung empat orang anak menuntut pemeliharaan anak tersebut yang selama ini dipelihara oleh tergugat ayah kandung
dari empat anak tersebut. Bahwa penggugat mempunyai perilaku buruk karena sering berselingkuh dengan laki-laki lain di depan
anak-anak. Dan setelah penggugat bercerai dari tergugat telah hidup bersama dengan laki-laki selingkuhannya setidaknya perkawinan
sirri. Sedangkan laki-laki selingkuhannya sering mabuk-mabuk maka jika keempat anak tersebut diserahkan kepada penggugat akan
berpengaruh kepada kepribadian anak. Sebaliknya tergugat sangat perhatian terhadap pendidikan agama maupun pendidikan
pengetahuan lainnya demi kepentingan anak masa depan. Sehingga
191
Lihat Putusan MA No. 302KAG1995 tanggal 26 Maret 1997 jis. Putusan PTA Bandung No. 34Pdt.G1995PTA.Bdg. tanggal 11 April 1995 dan Putusan PA Bekasi No.
99Pdt.G1994PA.Bks. tanggal 11 Oktober 1944.
177 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
berdasarkan pertimbangan tersebut gugatan penggugat untuk memelihara anak tersebut harus ditolak sesuai Pasal 41 huruf a UU
Perkawinan dan Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Bayhaqi dan H{akim serta qaul ulama yang tercantum dalam kitab
Qalyubi wa Umayrah juz III hal. 91 yang intinya ibu lebih berhak memelihara anak selama ia belum kawin dengan laki-laki lain.”
192
Mahkamah Agung memberikan pemeliharaan anak kepada ayah karena ibu sudah kawin lagi dengan laki-laki lain. Dalam hal ini Mahkamah
Agung membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa pemohon sebagai ibu kandung menuntut pemeliharaan anak yang berusia 7 tahun yang selama ini dipelihara oleh termohon ayah
kandung si anak. Bahwa pemohon sudah kawin lagi dengan laki-laki lain setelah bercerai dengan termohon. Di samping itu termohon
selalu membuka kesempatan kepada pemohon untuk menjenguk anak setiap saat. Bahwa dalam hukum Islam yang tercantum dalam
Kitab
Kifayat al-Akhyar juz II hal. 93 yang intinya menyatakan “Istri lebih berhak untuk memelihara anak selama belum kawin lagi
dengan laki-laki lain.” Demikian halnya dalil shar’i yang tercantum dalam kitab
Mizan al-Shaybani Juz II hal. 140 yang intinya menyatakan “semua ulama sepakat bahwa hak hadanah pada ibu
selama ia belum kawin lagi dengan laki-laki lain.”
193
Mahkamah Agung memberikan pemeliharaan anak kepada ayah karena ibu lalai dalam memelihara anak. Dalam hal ini Mahkamah Agung
membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa penggugat sebagai ibu kandung memohon untuk ditetapkan sebagai orang yang berhak untuk memelihara anak yang berusia 6
tahun yang selama ini dipelihara oleh penggugat akan tetapi belum ada penetapan pemeliharaan dari pengadilan. Bahwa berdasarkan
keterangan saksi, anak selama ini tidak dipelihara oleh penggugat melainkan diserahkan kepada ibu penggugat nenek si anak. Atas
dasar itu tergugat sebagai ayah kandung lebih berhak untuk
192
Lihat Putusan MA No. 456KAG2002 tanggal 26 Januari 2004 jis. Putusan PTA Jakarta No. 96Pdt.G2001PTA.JK tanggal 20 November 2001 dan Putusan PA
Jakata Selatan No. 1167Pdt.G2000PA.JS tanggal 12 April 2001.
193
Lihat Putusan MA No. 200KAG2004 jis. Putusan PTA Surabaya No. 232Pdt.G2003PTA.Sby tanggal 29 Desember 2003 dan Putusan PA Tulung Agung No.
754Pdt.G2003PA.TA tanggal 30 September 2003.
178 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
memelihara anak tersebut dari pada penggugat karena penggugat selama ini lalai dalam memelihara anak bahkan diserahkan kepada
neneknya.”
194
Penyerahan pengasuhan kepada ayah dengan pertimbangan karena ibu dari anak beragama selain Islam menggambarkan Mahkamah Agung
dalam menerapkan hukum memilih pendapat mazhab Shafi’iyah dan Hanafiyah. Mazhab Malikiyah dan Hanabilah tidak mensyaratkan orang
yang akan memelihara anak harus beragama Islam.
195
Demikian halnya Nabi Muhammad ketika memutus sengketa anak antara ibunya yang
beragama selain Islam dengan ayahnya yang beragama Islam tidak didasarkan atas pertimbangan agama. Nabi Muhammad memutus sengketa
anak yang salah satu orang tuanya beragama selain Islam didasarkan atas pilihan si anak untuk menentukan sikap apakah akan tinggal dengan ibunya
atau ayahnya.
196
KHI tidak menetapkan secara eksplisit tentang syarat orang tua dapat diberi tanggung jawab hadanah. Akan tetapi dalam Pasal 156
huruf c KHI mengatakan bahwa “apabila pemegang hadanah ternyata tidak menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak… maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak pula.” Dalam Pasal 109
KHI yang menyangkut perwalian anak berbunyi “Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian… atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan
orang yang berada di bawah perwaliannya.” Dilihat dari sudut pandang lainnya, Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan asas keadilan dan asas
kesetaraan di depan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Declaration of Human Right Article 7 bahwa setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan
sama di depan hukum.
197
Asas ini sangat dipertahankan oleh Nabi
194
Lihat Putusan MA No. 306KAG2002 tanggal 26 April 2006 jis. Putusan PTA Bandung No. 236Pdt.G2001PTA.Bdg tanggal 31 Januari 2002 dan Putusan PA Bandung
No. 602Pdt.G2001PA.Bdg. tanggal 8 Oktober 2001.
195
‘Abd al-Rah}man al-Jaziri,
al-Fiqh} ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah
, vol. 4, 568- 600.
196
Lihat Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud
, 520; al-Nasa’i,
Sunan al-Nasa’i
, 542; Imam H{akim,
al-Mustadrak ‘ala al-S{ah}ih}ayn
, 564; Ibn Majah,
Sunan Ibn Majah
, 329.
Dalam
Sunan al-Nasa’i
dan
Sunan Ibn Majah
, anak yang diperebutkan pemeliharaannya adalah anak laki-laki, sedangkan dalam
al-Mustadrak ‘ala al-S{ah}ih}ayn
dan
Sunan Abu Dawud
, anak tersebut anak perempuan.
197
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 1718.
179 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
Muhammad, dalam hal ayah dan ibu berbeda agama Nabi Muhammad lebih mengutamakan kepentingan anak bukan mengutamakan agama orang tua.
Putusan Mahkamah Agung yang memberikan hak pemeliharaan anak usia di bawah 12 tahun kepada ayah dengan pertimbangan ibu
kandung si anak berkelakuan buruk menerapkan Pasal 41 huruf a UU Perkawinan di mana yang diutamakan dalam pemeliharaan anak adalah
kepentingan anak, bukan didasarkan semata-mata usia anak yang menentukan siapa yang lebih layak untuk melakukan pemeliharaan anak di
antara ayah dan ibu. Hal ini sesuai dengan asas hukum Islam, UU Kesejahteraan Anak, UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia.
Kepentingan anak bukan semata terpenuhinya kebutuhan jasmani, akan tetapi tidak kalah penting adalah kebutuhan rohani yang baik, oleh
kerenannya orang tua yang berperilaku buruk demi kemaslahatan anak tidak layak untuk diberi kewenangan memelihara anak karena akan menghambat
kebutuhan perkembangan rohani si anak ke arah yang lebih baik secara moral dan spiritual.
Pertimbangan Mahkamah Agung menyerahkan anak kepada ayah disebabkan ibu sudah kawin lagi dengan laki-laki lain secara formal sesuai
dengan teks Hadis Nabi Muhammad dan pendapat mazhab Shafi’iyah dan Hanafiyah, akan tetapi pertimbangan tersebut sangat sumir karena kurang
memperhatikan aspek lain. Asas hukum Islam maupun peraturan perundangan-undangan yang berlaku menetapkan kepentingan terbaik untuk
kehidupan rohani, jasmani, dan sosial si anak harus diutamakan. Dalam perkara tersebut, seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan
sejauhmana kepentingan rohani, jasmani, dan sosial si anak terpenuhi selama dipelihara oleh ayahnya, bukan hanya semata-mata atas
pertimbangan ibunya sudah kawin lagi dengan laki-laki lain. Hadis Nabi Muhammad yang dikutip oleh Pengadilan Agama dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung harus dibaca berdasarkan konteks peran perempuan dalam rumah tangga pada saat Hadis tersebut diucapkan oleh Nabi
Muhammad. Kehidupan rumah tangga saat itu menempatkan istri dalam rumah tangga sebagai subordinat suami di mana istri harus taat kepada
suami, bahkan sampai ibadah sunnahpun jika tanpa izin suami tidak boleh. Di samping itu, ada hadis riwayat lain di mana Nabi Muhammad
menyerahkan anak perempuan Hamzah kepada bibinya yang saat itu terikat perkawinan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad sendiri ketika
mengawini Ummu Salamah yang membawa anak dari mantan suaminya hidup bersama Nabi Muhammad. Hadis Nabi Muhammad tersebut
180 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
dipegangi oleh beberapa ulama diantanya Ibn H{azm.
198
Oleh karena itu, Hadis yang dijadikan dasar hukum oleh Mahkamah Agung tersebut harus
dipahami bahwa pada saat itu perempuan yang sudah kawin lagi dengan laki-laki lain kemungkinan dapat menelantarkan pemeliharaan anak dari
suami pertama karena ia terikat dengan kewajiban terhadap suami barunya.
Pertimbangan Mahkamah Agung memberikan kewenangan pemeliharaan anak kepada ayah dengan alasan ibu lalai memelihara anak
karena anak tersebut diserahkan pemeliharaannya kepada nenek dari pihak ibu juga kurang mempertimbangkan faktor-faktor lain. Seharusnya
Mahkamah Agung mempertimbangkan bagaimana kehidupan anak tersebut selama dipelihara oleh nenek dari pihak ibunya. Anak tersebut sejak
perceraian ibunya dan ayahnya ikut dengan ibunya dan neneknya selama dua tahun dan anak pada saat diputus oleh Pengadilan Agama sudah berusia
enam tahun. Jika selama anak tersebut dipelihara neneknya terpenuhi kebutuhan kehidupan rohani, jasmani, dan sosialnya serta lingkungannya
sangat mendukung terhadap perkembangan anak ke arah yang lebih baik, hal ini tidak menjadi halangan pemeliharaan anak tersebut diberikan kepada
ibunya dan dipelihara bersama neneknya, karena asas pemeliharaan anak adalah melindungi kepentingan anak yang sebaik-baiknya.
Ketiga, putusan Mahkamah Agung memberikan hak pemeliharaan anak kepada kakek dan nenek dari pihak ayah, alasan yang dijadikan dasar
pertimbangan bahwa anak tersebut sejak suami penggugat meninggal dunia diserahkan oleh penggugat kepada nenek dan kakek.
199
Kasus posisinya pada tanggal 25 Januari 2003 suami penggugat meninggal dunia. Setelah
itu, kakek dan nenek pihak suami penggugat menginginkan anak penggugat yang saat itu baru berusia 2 tahun 9 bulan agar dipelihara oleh kakek dan
nenek dari pihak suami penggugat. Atas dasar hasil musyawarah keluarga penggugat dan nenek, anak diserahkan kepada nenek dan kakek dari pihak
suami penggugat. Setelah anak berada pada nenek dan kakeknya setiap kali penggugat berkunjung menemui anak pihak kakek dan nenek menghalang-
halangi penggugat untuk bertemu dengan anaknya. Atas dasar itu penggugat pada tanggal 26 Februari 2003 satu bulan setelah kematian suami
penggugat mengajukan gugatan terhadap kakek dan nenek pihak suami penggugat melalui Pengadilan Agama Bantaeng agar pemeliharaan anak
tersebut diserahkan kepada penggugat sebagai ibunya. Pengadilan Agama Bantaeng dalam putusannya Nomor 17Pdt.G2003PA.BTG. tanggal 18
Juni 2003 menetapkan anak dipelihara oleh penggugat ibu kandung anak,
198
Lihat Muh}ammad al-S{an‘ani,
Subul al-Salam Sharh} Bulugh al-Maram
Jeddah: H{aramayn, t.th., vol. 3, 430; dan Ibn H}azm,
al-Muh}alla
, 1857.
199
Putusan Mahkamah Agung Nomor 94 KAG2004 tanggal 8 Maret 2006.
181 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
dan kakek serta nenek pihak suami penggugat diperintahkan untuk menyerahkan anak tersebut kepada penggugat ibu kandung anak. Dasar
pertimbangan Pengadilan Agama Bantaeng adalah Pasal 105 huruf a KHI, Pasal 41 huruf a dan b UU Perkawinan, dan qaul ulama yang dikutip dari
kitab
I’anat al-T{alibin juz 4 hal. 3 yang berbunyi:
200
“Pihak yang paling berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak adalah ibu, selama ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain.”
Putusan Pengadilan Agama Bantaeng tersebut dinyatakan tepat dan benar oleh Pengadilan Tinggi Agama Makassar dengan putusannya Nomor
99Pdt.G2003PTA.MKS. tanggal 1 Desember 2003. Akan tetapi, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Makassar dan Pengadilan Agama Bantaeng dan menolak gugatan penggugat yang berarti anak tetap dipelihara oleh kakek dan neneknya dengan
pertimbangan bahwa anak tersebut sejak ayahnya meninggal dunia deserahkan kepada kakek dan neneknya.
Mahkamah Agung tidak menyebutkan hukum yang diterapkan dalam putusan tersebut. Mahkamah Agung hanya memberikan alasan bahwa
“anak tersebut sejak ayahnya meninggal dunia diserahkan oleh penggugat kepada kakek dan neneknya.” Dasar pertimbangan tersebut mengandung
dua kemungkinan: Pertama melindungi kepentingan kakek dan nenek; Kedua, melindungi kepentingan anak. Jika yang dimaksud oleh Mahkamah
Agung adalah kepentingan kakek dan nenek, maka pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menyimpang dari asas hukum yang berlaku,
baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi hukum Islam – karena hukum positif maupun hukum Islam menetapkan asas pemeliharaan anak untuk
melindungi kepentingan anak.
201
Jika pertimbangan Mahkamah Agung menyerahkan pemeliharaan anak kepada kakek dan nenek untuk
kepentingan anak, maka ada beberapa persoalan yang perlu dikaji. Pertama, anak baru berusia 2 tahun 9 bulan, secara psikologis, masih membutuhkan
pemeliharaan dan kasih sayang dari ibunya. Kedua, secara yuridis maupun hukum Islam, anak yang berusia 12 tahun pemeliharaannya merupakan hak
sekaligus kewajiban ibu, kecuali ibunya dalam keadaan tidak memungkinkan untuk melakukan pemeliharaan anak baik disebabkan
200
Teks tersebut sebetulnya bukan teks dari kitab
I‘anat al-T{alibin
, akan tetapi teks dari kitab Fath} al-Mu‘in bi Sharh} Qurrat al-‘Ayn yang disusun oleh Zayn al-Din al-
Malabari. Teks tersebut tercantum dalam kitab
I‘anat al-T{alibin
, juz 4, 101.
201
‘Abd al-Rah}man al-Jaziri,
al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah
, vol. 4, 597. Lihat pula Pasal 41 huruf a dan Pasal 45 UU Perkawinan; Pasal 56 UU.No.391999 tentang
Hak Asasi Manusia; Pasal 9 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
182 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
B
IDA NG
P
ERD ATA
I
SL AM
ketidak mampuan fisik ataupun ketidak layakan moral.
202
Dalam perkara ini, berdasarkan keterangan saksi dari penggugat maupun saksi dari tergugat
tidak terbukti bahwa penggugat sebagai ibu kandung memiliki cacat tubuh atau mengidap penyakit yang tidak memungkinkan ia untuk memelihara
anak, dan pula tidak terbukti bahwa ia berperilaku buruk dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan sebelum suaminya meninggal dunia penggugat yang
memelihara anak tersebut secara baik. Ketiga, anak tersebut tinggal bersama kakek dan neneknya baru satu bulan sehingga dapat dipastikan hubungan
psikologis anak tersebut dengan kakek dan neneknya belum begitu mendalam. Keempat, dalam perkara ini pihak tergugat kakek dan nenek
menghalang-halangi penggugat ibu kandung anak untuk bertemu dengan anaknya. Sikap tergugat kakek dan nenek tersebut telah melanggar Pasal
59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, di mana anak tidak boleh dipisahkan dari orang tuanya, bahkan jika pun karena
alasan hukum si anak harus dipisahkan dari orang tua, hak anak untuk bertemu dengan orang tuanya dijamin undang-undang.
203
Dilihat dari empat aspek tersebut, pertimbangan Mahkamah Agung menetapkan pemeliharaan
anak kepada nenek dan kakeknya dengan pertimbangan bahwa anak selama ini sudah hidup bersama nenek dan kakeknya kurang tepat, karena
menghilangkan hak dasar anak untuk dipelihara dan bertemu dengan ibunya yang dijamin oleh undang-undang maupun hukum Islam.
Keempat, putusan Mahkamah Agung menetapkan hak Pemeliharaan anak kepada saudara perempuan dari almarhum ayah si anak bibi si anak
dengan pertimbangan: Pertama, putusan Pengadilan Agama Makassar dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar salah menerapkan Pasal 105 KHI,
karena tidak dihubungkan dengan Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Kedua, dalam menetapkan
pemeliharaan anak harus didasarkan atas kepentingan anak; Ketiga, penggugat sudah menelantarkan anak sejak usia 1,5 bulan; Keempat, anak
tersebut selama 7 tahun dipelihara oleh nenek dan bibinya; Kelima, mengalihkan pemeliharaan anak dari tergugat bibinya kepada penggugat
sebagai ibunya dapat menimbulkan beban psikologis terhadap anak.
202
Lihat Pasal 47 ayat 2, Pasal 49 ayat 1 UU Perkawinan; Pasal 56 ayat 1 UU
No. 391999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 105 ayat 1 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Lihat Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam
dan Peraturan Pelaksanaannya di Negara Hukum Indonesia, 339; dan Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, vol. 2, 1918. Lihat pula
‘Abd al-Rah}man al-Jaziri,
al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah
, vol. 4, 594-595.
203
Lihat Harun Alrasid, ed. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia, vol. 2, 1918.
183 D
INAM IKA
P
UTU SAN
MA
DALAM
P
ERKARA
H
UKUM
P
ERKAWI NA N
Perkara ini berawal dari seorang ibu mengajukan gugatan pemeliharaan anak yang dikuasai oleh bibi si anak dari pihak ayah suami
penggugat. Anak tersebut sejak usia 1,5 bulan dipelihara oleh neneknya, setelah neneknya meninggal dunia dilanjutkan oleh bibinya. Pengadilan
Agama Makassar dalam putusannya Nomor 519Pdt.G2006PA.MKS. tanggal 25 januari 2007 mengabulkan gugatan penggugat dan menetapkan
anak diserahkan pemeliharaannya kepada ibu didasarkan pada Pasal 105 huruf a KHI, di mana anak yang berusia kurang dari 12 tahun
pemeliharaannya diserahkan kepada ibu. Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Makassar dalam putusannya Nomor
40Pdt.G2007PTA.MKS. tanggal 25 Juni 2007 menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar karena sudah tepat dan benar. Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi dengan putusannya Nomor 458KAG2007 tanggal 12 Maret 2008 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar dan putusan Pengadilan Agama Makassar, selanjutnya mengadili sendiri dengan menolak gugatan penggugat. Sehingga dengan ditolaknya
gugatan penggugat berarti anak tetap di bawah pemeliharaan bibinya.
Perkara ini hampir sama dengan perkara ketiga di mana Mahkamah Agung menyerahkan pemeliharaan anak yang belum mumayiz bukan
kepada orang tuanya dalam perkara ini kepada bibi dan neneknya. Perbedaan dengan perkara ketiga, dalam perkara ini anak sudah sejak usia
1,5 bulan sampai usia tujuh tahun saat gugatan diajukan oleh penggugat diasuh oleh neneknya dan anak tersebut sekaligus bergaul dengan bibinya
yang satu rumah dengan neneknya. Sehingga dapat dipastikan anak tersebut sudah mempunyai hubungan psikologis yang sangat mendalam dengan
nenek dan bibinya. Setelah neneknya meninggal dunia, anak tersebut tetap tinggal dipelihara oleh bibinya. Anak tersebut dirawat oleh bibinya dan
disekolahkan di lembaga pendidikan yang baik. Sehingga dalam perkara ini, argumentasi hukum Mahkamah Agung yang menyatakan demi kepentingan
anak pemeliharaannya harus dilanjutkan oleh bibinya merupakan suatu pertimbangan yang didasarkan atas
mas}lah}ah.