Tata Cara dan Formalitas Pelaksanaan Seppuku

dengan satu kali potong. Teknik ini juga memiliki beberapa variasi yaitu vertikal, horizontal atau diagonal. Dalam melakukan teknik ini, pisau ditusukkan diperut sebelah kiri bisa dibawah atau diatas pusar lalu secara perlahan pisau ditarik ke kanan hingga merobek perut. Untuk model vertikal pisau ditusukkan dari bawah tulang dada dan kemudian ditarik kebawah hingga pusar atau melewatinya. Sedangkan untuk model diagonal, pisau ditusukkan dari bawah tulang rusuk sebelah kiri atau kanan dan ditarik secara diagonal kebawah pusar. Kedua adalah teknik Ichimonji Rigi-Rigi. Teknik ini memiliki model vertikal dan horizontal. Tekniknya pun hampir sama dengan teknik Ichimonji namun proses pemotongannya membentuk gerigi seperti mata gergaji. Ketiga teknik Jumonji yaitu teknik seppuku yang dilakukan dengan dua kali pemotongan membentuk salib. Teknik ini merupakan penggabungan antara teknik Ichimonji vertikal dan horizontal.

E. Tata Cara dan Formalitas Pelaksanaan Seppuku

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab kajian pustaka penelitian ini, upacara seppuku akan dilihat melalui rumusan antropologis yang ditawarkan oleh Koentjaraningrat 1990 yaitu aspek waktu upacara, tempat upacara, alat-alat upacara dan pemimpin upacara. Dari sejarah perkembangan seppuku dapat diketahui bahwa waktu pelaksanaan seppuku dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Pelaksanaan seppuku yang resmi : pelaksanaan seppuku dilakukan melalui rangkaian kegiatan baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan seppuku . Istilah ‟resmi‟ disini merujuk pada upacara pelaksanaan seppuku pada era-Tokugawa yang menjadikan seppuku sebagai hukuman resmi negara bagi para samurai yang dianggap melanggar aturan. Dalam hal ini, pelaksanaan seppuku menyerupai pelaksanaan eksekusi sebuah putusan pengadilan pada masa sekarang. b. Pelaksanaan seppuku yang spontan : biasanya terjadi di tengah-tengah medan pertempuran guna menghindari ditawan oleh musuh karena bagi seorang samurai lebih baik mati dari pada harus ditawan oleh musuh. Istilah seppuku spontan yang dimaksud bukan berarti bahwa seppuku dilakukan secara tiba-tiba tanpa ada persiapan sebelumnya, namun yang dimaksud sebagai seppuku spontan adalah seppuku yang dilakukan tanpa protokoler kegiatan yang dilakukan pada upacara seppuku resmi. 42 Dalam kasus pertempuran, seorang samurai yang merasa sudah dekat dengan kekalahan akan mencari sudut yang sunyi dari medan pertempuran untuk melakukan seppuku sementara seorang samurai lainnya menghadang musuh. Kasus-kasus seppuku diluar Era Tokugawa biasanya termasuk dari seppuku jenis ini, meskipun tidak semua. Pelaksanaan seppuku pada Era Tokugawa memiliki aturan-aturan protokoler yang teratur. Hal ini disebabkan karena pada saat itu seppuku dijadikan sebagai salah satu hukuman resmi. Ini terlihat dari tingkatan hukuman yang diberikan pada kelas samurai oleh pemerintah yaitu : 43 1. Hissoku : Pengasingan untuk bertobat. Hukuman ini terdiri dari tiga bagian yaitu menahan diri, bertindak kaku dan merendahkan diri. 42 Pengetahuan tentang seppuku sendiri sebenarnya sudah diajarkan kepada keturunan dari keluarga samurai ketika mereka mulai beranjak dewasa. Seorang anak yang berumur sembilan tahun akan diberikan pedang kayu dan mempelajari teknik menggunakannya dalam pertarungan termasuk untuk melakukan seppuku jika sewaktu-waktu keadaan mendesak mereka untuk melakukan itu. 43 Peraturan tersebut disusun dari model hukuman yang terdapat dibeberapa han propinsi lihat Jack Seward, Hara-Kiri, p. 18. 2. Heimon : Tahanan rumah. Ini dapat dibagi menjadi dalam dua golongan, tahanan rumah selama 50 hari dan 100 hari. 3. Chikkyo : Tahanan yang diasingkan. Ini dapat dibagi menjadi tiga jenis ; pengasingan dalam kamar, pengasingan sementara dan pengasingan sampai mati. 4. Kai-eki : Pencabutan. Pencabutan status secara permanen dari klannya. 5. Seppuku Waktu yang digunakan untuk melakukan upacara bisa kapan saja sesuai dengan perintah dari pemerintah. Sebelumnya orang yang harus melakukan seppuku harus dipastikan bahwa dia memang bersalah dan pantas untuk melakukan seppuku. Mengenai pelaksanaannya tidak ada waktu khusus bagi pelaksanaan seppuku namun pada umumnya pelaksanaan hukuman seppuku dilakukan pada malam hari Tidak ada aturan khusus yang mengatur tempat pelaksanaan seppuku, khususnya seppuku yang dilakukan secara spontan namun pada era Tokugawa pada umumnya pelaksanaan upacara seppuku dilakukan disebuah kuil atau taman disebuah rumah yang terjaga privasinya dan yang sudah ditunjuk oleh pengadilan. Jack Seward mencatat bahwa pada tahun 1647, Pengadilan Osaka telah memerintahkan seorang terdakwa melakukan seppuku di Kuil Kanzanji, pada tahun 1644 seorang samurai juga diperintahkan untuk melakukan seppuku di kuil Shimpukuji, Edo. Shogun Ietsuna bahkan melakukan seppuku di kuil Zozoji di Edo. Kuil Shinryuji di Edo pun beberapa kali digunakan sebagai tempat pelaksanaan seppuku pada era Tokugawa. Dari beberapa nama kuil diatas nampak bahwa kesemuanya itu adalah kuil Buddha. Kuil Seifukuji yang digunakan untuk pelaksanaan seppuku Taki Zenzaburo pada tahun 1868 di Kôbé pun adalah kuil Buddha. Untuk pelaksanaan seppuku yang dilakukan di kuil, kuil Shinto memang tidak pernah digunakan. Pelaku seppuku biasanya melakukan seppuku di kuil Buddha. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan Shinto yang menganggap bahwa mayat adalah sesuatu yang buruk bagi pendeta yang suci. Hal ini berbeda dengan kepercayaan Buddha yang memang menggunakan segala struktur yang berkaitan dengan kesucian untuk persiapan kematian. Dari sini, kuil-kuil Buddha menjadi tempat yang ideal bagi pelaksanaan seppuku. 44 Tempat melakukan upacara seppuku pada umumnya disesuaikan dengan status sosial pelaku seppuku itu sendiri. Untuk kalangan yang memiliki kedudukan tinggi biasanya memakai tatami matras jepang yang disusun membentuk huruf “T”. Luasnya sekitar 36 shaku persegi 1 shaku =  14 inchi dan diletakkan futon bantal kecil untuk duduk diatasnya. Namun pada permulaan abad ke-19 tempatnya diperkecil menjadi 18 shaku persegi dan berlaku untuk segala kasus. Disebelah utara tempat eksekusi terdapat gerbang utara yang disebut shugyo-mon gerbang petapa dan disebelah selatan terdapat gerbang selatan yang disebut nehan-mon gerbang nirvana. Gerbang-gerbang tersebut biasanya berbentuk seperti torii yang memiliki tinggi sembilan kaki dan lebar tujuh kaki. Pelaku 44 Ibid., p. 42. seppuku akan masuk melalui gerbang utara, sementara kaishakunin akan masuk melalui gerbang selatan Disetiap sudutnya terdapat tiang-tiang yang digunakan untuk memasang tirai. Digantungkan juga pita putih panjang yang disebut mojiki panji ketidak belas kasihan. Jika upacara dilakukan diluar ruangan maka biasanya ditaburi pasir putih disekitar tatami. Jenis pasir yang sama juga biasa digunakan pendeta Zen untuk melatih diri dengan membuat pola-pola tertentu di sebuah taman pasir. Didepan tatami diletakkan sambo baki yang biasanya digunakan untuk menghidangkan makanan diatasnya diletakkan wakizashi pedang pendek atau tanto pisau. Panjang sebuah tanto biasanya 0,95 shaku atau  11,5 inchi. Untuk mencegah pelaku seppuku menjadikannya senjata untuk melawan, biasanya gagang dari senjata tajam tersebut sudah dicabut. Dalam upacara, pelaku seppuku mengenakan kimono berwarna putih serta mengenakan hakama celana lebar yang biasa digunakan utnuk menunggang kuda. Untuk orang yang memiliki kedudukan tinggi diperkenankan untuk memakai kamishimo semacam jas bagi kalangan samurai. Upacara dimulai ketika terhukum memasuki area upacara melalui shugyo- mon yang diletakkan disebelah utara dan akan langsung duduk menghadap shogyo-mon. Pada saat yang sama seorang kaishakunin akan masuk melalui nehan-mon yang ada disebelah selatan dan langsung duduk di samping kiri belakang terhukum, kira-kira empat kaki. Menurut salah satu pendapat, adalah tabu bagi terhukum untuk melakukan seppuku dengan menghadap utara atau timur. Hal ini dilandasi kepercayaan bahwa timur adalah arah kelahiran dan menghadap utara berarti menunjukkan ketidakhormatan kepada kaisar. Jika upacara dilakukan diluar kuil maka dilarang menghadap istana, jika upacara dilakukan di dalam lingkungan istana maka dilarang untuk menghadap bangunan utama istana. Jadi pelaksanaan upacara biasanya akan mengambil arah barat atau selatan, namun jika dilakukan dalam lingkungan sebuah istana dan bangunan utama istana tersebut kebetulan berada didua arah tersebut, maka arah utara dan timur diperbolehkan. Aturan era Tokugawa tersebut berbeda dengan keyakinan sebelumnya seperti seppuku yang dilakukan oleh Toki no Juro pada masa perang Istana selatan-Istana utara. Ia melakukan seppuku dengan memotong perutnya kemudian menghadap utara. Hal ini merupakan kebiasaan dalam agama Buddha dalam meletakkan mayat dengan kepala menghadap utara. 45 Setelah dirasa siap, terhukum akan mengambil tanto yang ada diatas sambo di hadapannya dengan tangan kanan dan langsung menusukkannya ke perut sebelah kiri dan secara perlahan akan terus dirobek ke arah kanan. Jika merasa belum cukup, ia akan melanjutkannya dengan menusuk perut bagian bawahnya dan perlahan merobek ke arah atas. Jika terhukum dilihat sudah merasakan saat yang tepat, kaishakunin akan menebaskan pedangnya ke arah leher belakang si terhukum dengan satu sabetan. Seorang kaishakunin haruslah memiliki kemampuan dan teknik pedang yang cukup sehingga ia mampu tetap tenang dalam menjalankan tugasnya. Teknik yang biasanya diharapkan dari seorang kaishakunin adalah teknik daki-kubi 45 Tradisi ini berasal dari kepercayaan dalam agama Buddha yang meyakini Buddha Gautama parinibhana menghadap barat dengan kepala menghadap utara dan tangan kanannya terletak dibawah kepalanya. Dalam peletakan jenazah seorang buddhis pun hal ini dilakukan. Peletakan jenazah di butsudan altar Buddha menghadap utara disebut kita makura namun jika luas tempatnya tidak memungkinkan maka boleh juga kepalanya kearah barat yang disebut makura naoshi . Penjelasan lebih lanjut proses pemakaman agama Buddha lihat Tashiro Naotsugu, Sogi Ohaka no Shintoku Zensho , Tokyo : Ikeda Shoten, 1997, p. 40. dimana kaishakunin mampu untuk menebas leher terhukum tanpa harus memisahkan leher tersebut dari badannya, tapi menyisakan sedikit daging di leher bagian depan. Hal ini dilakukan agar lehernya tidak menggelinding dan tetap menjuntai di tubuh terhukum. Proses pemisahannya sendiri dilakukan pada waktu istirahat setelah upacara selesai. Setelah melakukan tugasnya, kaishakunin akan membungkuk memberi hormat pada para hadirin yang datang. Kemudian tirai pun ditutup. ilustrasi terlampir Jika tidak dikirim ke keluarga, kepala si terhukum akan dijahitkan kembali ke tubuhnya dan dibersihkan serta diberi wewangian. Jenazah tersebut kemudian akan dikirimkan ke kuil dimana ia terdaftar. Perlu dicatat bahwa dalam pembungkusan kepala maupun jenazah tersebut selalu menggunakan kain putih atau kimono putih. Dalam pelaksanaan upacara seppuku, seorang kenshi inspektur atau pengatur tertinggi akan berada di lokasi upacara untuk memimpin jalannya upacara. Selain itu satu atau dua orang kerai pengikut si terhukum juga diperbolehkan hadir. Selain mereka biasanya juga ada seorang pengawas resmi, dua-tiga orang samurai, beberapa penjaga, kaishakunin dan asistennya, seorang pembawa kemenyan, seorang pendeta jika dilakukan di kuil, ashiagaru samurai rendahan yang bertugas untuk membersihkan tempat pelaksanaan seppuku dan jika diperlukan, beberapa orang saksi.

Bab IV Nilai-Nilai Agama Pada Upacara

Seppuku Dari pemaparan sebelumnya diperoleh gambaran bahwa seppuku menjadi tradisi kelas samurai di Jepang. Kelas samurai sendiri dilandasi dengan semangat bushido , semangat kekesatriaan Jepang. Bushido inilah yang banyak mendapat pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari agama-agama yang berkembang di Jepang. Untuk mengetahui keterkaitan seppuku dengan agama sebaiknya dimulai dari persoalan bagaimana pandangan agama yang berkembang di Jepang terhadap kematian dan perilaku bunuh diri. Hal ini berguna untuk menentukan apakah agama menjadi faktor utama dari perilaku bunuh diri.

A. Agama di Jepang dan Bunuh Diri

Pengaruh Shinto terhadap seppuku terlihat jelas dalam Harima no Kuni Fudoki. Menurut catatan kuno ini, awalnya kebiasaan membelah perut adalah sebuah bentuk pengorbanan sekaligus permohonan kepada kami agar diberikan kesuburan tanah dan panen yang melimpah. ini erat kaitannya dengan budaya agraris masyarakat Jepang. 46 Berbeda dengan Shinto, Buddhisme dan Konfusianisme dapat dipastikan tidak pernah menyebutkan bunuh diri dengan cara seppuku dalam ajarannya. Hal ini disebabkan seppuku adalah istilah asli Jepang sehingga tidak dikenal pada budaya India dan Cina, tempat lahirnya kedua ajaran 46 Lihat bab III bag. Catatan Sejarah Seppuku.