1. 2. Puisi kematian dan Manifesto

Elemen-elemen diatas jelas dibutuhkan dalam praktek seppuku. Elemen pengendalian emosi, ketulusan dan pengendalian diri dalam keadaan apapun mendorong seorang samurai tetap mampu melewati rangkaian tahapan upacara hingga waktu pelaksanaan seppuku dan pikiran yang selalu dekat dengan kematian membuat seorang samurai semakin menyadari bahwa seppuku adalah takdir dan tugasnya.

B. 1. 2. Puisi kematian dan Manifesto

Salah satu kebiasaan pelaku seppuku baik yang spontan maupun yang resmi adalah membuat suatu pernyataan berbentuk pusi. Membuat puisi memang telah menjadi kebiasaan dari golongan terpelajar saat itu. Kebiasaan ini tersebar mulai dari Cina, Korea hingga Jepang. Catatan tertua tentang puisi kematian ini adalah puisi dari Pangeran Otsu yang dieksekusi pada tahun 686 M. Di Jepang, para samurai yang banyak mempelajari etika Konfusian dan mempraktekkan asketisme Zen menggunakan puisi sebagai tanda keterpelajarannya dan mengasah kepekaannya. Selain para samurai, pendeta Zen juga banyak yang membuat puisi yang menunjukkan kepekaannya terhadap sesuatu. Mereka yang membuat puisi kematian biasanya telah membuat sebuah puisi yang belum selesai semasa hidupnya dan baru akan disempurnakan ketika mereka meresa telah dekat dengan kematian, sehingga latar belakang pendidikan sangat mempengaruhi isi puisinya. Dalam upacara seppuku resmi, membuat puisi menjadi salah satu rangkaian dari tahapan yang dilalui seorang terhukum. Biasanya puisi tersebut dibuat disela waktu antara pengumuman kepastian bahwa ia akan dihukum dengan cara seppuku dengan upacara seppuku itu sendiri. Minamoto no Yorimasa 1106-1180, seorang ksatria klan Minamoto yang berperang dengan klan Taira di pertempuran Uji pada Perang Gempei. Ia bersama pasukannya dan sejumlah pendeta-ksatria mencoba untuk mempertahankan Kuil Byodo-in dari serbuan pasukan Taira. Merasa waktu kekalahannya telah dekat dan menolak untuk ditangkap musuh, ia melakukan seppuku. Pengikutnya memenggal kepalanya dan kemudian membuang kepala tersebut ke sungai untuk menghindari dimanfaatkan pasukan Taira sebagai tanda kemenangan. Sebelum melakukan seppuku ia sempat menggubah sebuah pusi yang berbunyi : 78 うもれ木 花咲く とも りし . み る て 悲し り る Like a fossil tree From which we gather no flowers Sad has been my life Fated no fruit to produce ”Seperti bangkai pohonYang tidak akan kita dapatkan darinya bungaKesedihan telah menjadi bagian dari hidupkuDitakdirkan untuk tidak menghasilkan buah”. Sementara anaknya menghalau musuh, Yorimasa melakukan seppuku . Tindakannya membuat puisi sebelum melakukan seppuku diikuti oleh banyak samurai dikemudian hari. 78 Telah menjadi kebiasaan seorang samurai kelas atas untuk membawa kipas dalam pertempuran. Rangka kipas ini terbuat dari besi dan dapat dijadikan senjata untuk melawan musuh, selain itu sering juga digunakan untuk menulis puisi menjelang seppuku. Lihat Stephen Turnbull, Samurai : The World of the Warior, p. 73. Selain itu ada juga puisi kematian Sen no Rikyu. Rikyu 1522- 1591 adalah seorang pendeta Zen yang memiliki pengaruh besar dalam tradisi upacara minum teh ala Jepang. Ia mempelajari pengetahuannya tersebut di kuil Nanshuji di Sakai sementara pengetahuan Zen-nya diperoleh dari kuil Daitokuji. Welcome to thee, O sword of eternity Through Buddha And through Daruma alike Thou hast cleft thy way 79 “Selamat datang kepadamuOh pedang keabadianSampai seperti Buddha dan sampai seperti DarumaKau telah membelah jalanmu sendiri” Pada puisi kematiannya, nampak bahwa Rikyu memandang bahwa kematiannya bukanlah sesuatu yang buruk. Ia bahkan mengatakan bahwa kematiannya akan menjadikannya seperti Buddha dan dengan seppuku lah ia bisa sampai kesana. Puisi lainnya dibuat oleh Shibata Katsuie 1522-1583. Katsuie adalah seorang komandan militer selama periode Sengoku yang berpihak pada Oda Nobunaga. Pada pertempuran Shizugatake ia kalah melawan pasukan Toyotomi Hideyoshi dan mundur ke benteng Kitanosho. Dengan pasukan yang sudah hancur tidak ada pilihan lain bagi Shibata selain menyerah. Karena tertangkap musuh adalah sebah aib, Shibata memilih 79 ”Sen no Rikyu”, http:en.wikipedia.orgwikiSen_no_RikyÅ«, akses tanggal 9 Maret 2008. untuk melakukan seppuku dan membakar bentengnya. Sebelum melakukan itu semua ia membuat sebuah puisi yang berbunyi : 80 夏 夜 夢路儚 後 名を 雲井 あ よ 山不如 Fleeting dream paths, in the autumn night O bird of the mountain, carry my name beyond the clouds Mimpi cepat berlaluDi malam musim gugurO burung gunungMembawa nama ku di luar awan. Hojo Ujimasa 1538-1590, kepala klan Hojo keempat juga membuat puisi kematiannya 81 雨雲 ほ る月も 胸 霧も らひ り 秋 夕風 我 身今 消ゆとやい 思ふ 空より来 り 空 帰れ 吹 とふく 風 恨み 花 春 紅葉も残る 秋あら Autumn wind of eve Blow away the clouds that mass Oer the moons pure light. And the mists that cloud our mind Do thou sweep away as well. Now we disappear Well, what must we think of it? From the sky we came Now we may go back again Thats at least one point of view Malam sebelum angina musim gugur Terbangkan awan yang berkumpul Di atas cahaya terang bulan Dan mengaburkan awan pikiran kita Apakah engkau menghembuskan juga. Kini kita menghilang Lalu, apa yang harus kita pikirkan 80 Puisi ini dikutip dari ”Shibata Katsuie”, http:en.wikipedia.orgwikiShibata_Katsuie, akses 9 Maret 2008. 81 “Hojo Ujimasa”, http:en.wikipedia.orgwikiHC58DjC58D_Ujimasa, akses tanggal 9 Maret 2008. Dari langit kita datang Kini kita boleh kembali lagi Itu adalah satu persepsi Yukio Mishima 1925-1970 ketika melakukan seppuku juga membuat puisi 82 A small night storm blows Saying „falling is the essence of a flower‟ Preceding those who hesitate Suatu angin topan kecil bertiup di malam hari Perkataan „jatuh menjadi inti sari bunga Dari mereka yang dulu meragukan Jika kita perhatikan, puisi-puisi diatas tidak menyebutkan kematian secara tegas. Pada masa-masa awalnya, kebiasaan membuat puisi kematian menggunakan kata-kata yang tegas dalam mengungkapkan kematian. Namun kebiasaan ini berubah dengan menggunakan metafora-metafora yang menyebutkan kematian secara tidak langsung. Ungkapan yang biasa ditemukan pada puisi-puisi kematian tersebut misalnya musim gugur, matahari terbenam, gugurnya bunga sakura dan mengingatkan bahwa kehidupan itu sementara. Perubahan tersebut dipengaruhi latihan-latihan Zen yang salah satu tujuannya adalah memperhalus perasaan untuk mencapai ketenangan. Selain dengan puisi-puisi, pelaku seppuku juga sering mengutarakan perasannya secara langsung dengan orang-orang disekitarnya. Dari pernyataan-pernyataan tersebut kita dapat mengetahui 82 “The poetry of death ; Posts Tagged „Yukio Mishima‟”, www. sensitivitytothings.com akses tanggal 9 Maret 2008. alasan mereka melakukan seppuku atau juga pandangan mereka terhadap kematian. Seperti yang ditunjukkan Korechika Anami, Menteri Perang Jepang pada PD II. Anami menolak untuk menyerah kepada Amerika dan pihak sekutu. Ia bahkan menganjurkan kepada Kaisar Hirohito untuk melakukan perang besar-besaran di daratan Jepang. Sikapnya yang menolak menyerah ini ternyata menimbulkan korban yang besar di pihak Jepang, apalagi setelah peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Anami akhirnya menuruti permintaan Kaisar untuk menyerah. Sehari setelah menandatangani perjanjian kalah perang terhadap sekutu, Anami melakukan seppuku. Atas sikapnya ini ia mengatakan kepada adik iparnya bahwa ”sebagai seorang prajurit Jepang, aku harus mematuhi Kaisarku”. Dalam catatan yang ditinggalkannya sebelum melakukan seppuku tertulis ”Aku, dengan kematianku, memohon maaf kepada Kaisar atas kejahatan ku yang besar” 83 Nogi Meresuke 1849-1912, Jenderal pasukan kekaisaran Jepang yang juga guru dari Kaisar Meiji melakukan seppuku bersama istrinya. Didahului dengan mandi bersama mereka mengganti pakaiannya dengan kimono putih dan minum sake dari cangkir yang juga sama. Pertama-tama istrinya melakukan seppuku sementara Meresuke membantu dengan menusukkan belatinya ke leher istrinya. Setelah selesai barulah ia merobek perutnya sendiri. Dalam suratnya ia menjelaskan bahwa ia melakukan 83 “Korechika Anami”, http:en.wikipedia.orgwikiKorechika_Anami, akses tanggal 9 Maret 2008. semua ini sebagai bentuk penebusan dosa atas aibnya di Kyushu dan kesalahnnya di Port Arthur. 84 Pernyataan-pernyataan keduanya, juga pernyataan Yukio Mishima dan Taki Zenzaburo yang telah disebutkan diatas kembali menegaskan bahwa motivasi dan latar belakang dilakukannya seppuku adalah untuk menunjukkan kesetiaan dan kesadaran bahwa kematian adalah bagian dari tugas. Seperti yang disebutkan Fairbairn bahwa seppuku dilakukan seorang samurai bukan untuk mengakhiri hidupnya, tapi untuk memenuhi tugasnya. 85

B. 2. Saat