dengan hanya membahas bunuh diri dengan cara seppuku dan tidak membahas bunuh diri secara luas. Meskipun begitu penelitian ini tidak membatasi
pembahasannya pada masa tertentu. Semua aksi seppuku yang tercatat dijadikan sebagai objek studi. Hal ini dilakukan karena fokus studi ini adalah seppuku yang
terjadi dalam masyarakat Jepang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan faktor ajaran agama dan pandangan
keberagamaan adalah nilai, konsep dan pandangan yang sifatnya berbentuk ide serta aktivitas yang mendukung pelaksanaan seppuku, termasuk makna dari
instrumen-instrumen upacara yang digunakan. Adapun pertanyaan yang mendasari studi ini adalah adalah :
1. Nilai-nilai apa dari ajaran agama yang tercermin pada bushido, kode
etik samurai dimana tradisi seppuku diwariskan? 2.
Apa nilai-nilai dari ajaran agama yang tercermin pada saat seppuku berlangsung?
3. Apa makna keagamaan dari berbagai instrumen yang digunakan pada
saat upacara seppuku ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah : 1.
Menggambarkan hubungan antara seppuku dengan agama. 2.
Menjelaskan ajaran-ajaran agama yang tercermin dalam pelaksanaan seppuku
, dan 3.
Memahami makna-makna keagamaan dari upacara seppuku.
D. Kajian Konsep dan Teori
Salah satu teori yang sering digunakan untuk menjelaskan fenomena bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial adalah teori Emile Durkheim.
Menurutnya, bunuh diri adalah tindakan melukai diri sendiri yang berujung pada kematian dan dilakukan dengan sadar.
5
Studi ini juga menggunakan teori Durkheim ini sebagai pijakan awal dalam memahami seppuku. Dalam bukunya Suicide : A Study In Sociology,
Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga jenis yaitu : 1.
Egoistic, yaitu praktek bunuh diri yang dilakukan karena tidak memiliki ikatan kuat dengan kelompok sosialnya dikucilkan, tidak
menikah atau perceraian. Faktor agama menurut Durkheim juga menjadi indikator penting dalam tipe ini. Selain itu, indikator lain yang
menjadi latar belakang tindakan bunuh diri tipe egoistic adalah faktor keluarga dan sistem politik. Orang yang melakukan bunuh diri tipe ini
biasanya memiliki karakter yang apatis, skeptis dan malas mengejar kepuasan pribadi.
2. Altruistic, yaitu praktek bunuh diri yang dilakukan untuk menunjukkan
loyalitas, pengabdian pada kelompoknya. Jika pada tipe egoistic ego seseorang memainkan peranan yang sangat penting dalam hidup
seseorang maka tipe altruistic adalah kebalikannya. Tindakan altruism mendahulukan kepentingan orang lain daripada urusan pribadi
menempatkan ego bukan sebagai milik individu tapi ditempatkan dalam sebuah kepentingan kelompok yang lebih besar dimana individu
tersebut tinggal. Dorongan untuk berbuat kesetiaan itu dapat saja
5
Emile Durkheim, Suicide : A Study in Sociology, London : Routledge Kegan Paul, 1979, p. 44.
berasal dari agama, pendidikan, norma yang berlaku atau bahkan kesamaan nasib.
3. Anomic, bunuh diri yang dilakukan seseorang karena tidak mampu
menghadapi perubahan di masyarakat mengenai nilai dan standar hidup misalnya kehilangan pekerjaan, krisis ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Durkheim sebenarnya dilakukan di daratan Eropa sehingga dirasa perlu untuk mendudukkannya dalam konteks ke-Jepangan.
Untuk tujuan itulah penelitian ini juga bersandar pada penjelasan yang ditawarkan Robert N. Bellah dalam bukunya Religi Tokugawa : Akar-Akar budaya Jepang.
Penjelasan Bellah sangat berguna untuk memaparkan posisi agama pada kebudayaan masyarakat Jepang. Menurut Bellah agama di Jepang berfungsi
sebagai salah satu sumber nilai dasar moral dalam masyarakat yang salah satu ajarannya mendorong individu dalam masyarakat untuk setia dan mendahulukan
kepentingan masyarakatnya.
6
Secara psikologis, bunuh diri sebenarnya merupakan ekspresi dari sebuah ketertekanan stress yang sangat. Orang yang melakukan bunuh diri biasanya
mengalami masalah sehingga menimbulkan depresi yang sangat dan merasa bahwa tidak ada harapan baginya untuk keluar dari masalah itu. Mereka belum
tentu ingin bunuh diri namun menganggap bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar agar terlepas dari masalahnya.
7
Masalah itu muncul biasanya karena mengalami empat macam kehilangan dalam hidupnya.
Pertama , kehilangan sesuatu
atau seseorang yang signifikan dan sangat bernilai. Kedua, kehilangan masa lalu. Masa
6
Lihat Robert N. Bellah, Religi Tokugawa : Akar-Akar Budaya Jepang, Jakarta : Gramedia, 1992, hal. 79.
7
“Why do people kill themselves”, www.befriendersindia.com akses tanggal 17 April 2008.
lalu gelap gulita. Hidup ini tanpa arti. Kondisi demikian disebut sebagai depresi. Ketiga, kehilangan masa depan. Masa depan gelap gulita atau tanpa harapan hopeless.
Kemudian, keempat yang tidak kalah pentingnya adalah kehilangan pertolongan atau ketiadaan pertolongan helpless.
8
Penelitian yang dilakukan Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago semakin memperkuat pendapat diatas. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pelaku bunuh diri mengalami perubahan aktivitas protein kinase C yang signifikan di otaknya. Protein ini merupakan komponen
yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu.
9
Guna memahami makna keagamaan dari instrumen-instrumen upacara seppuku
studi ini juga menggunakan teori yang dikembangkan Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi. Upacara itu sendiri menurut
Koentjaraningrat merupakan salah satu aspek penting dalam suatu religi bersama emosi keagamaan, sistem keyakinan dan umat yang menganut religi tersebut.
Upacara memiliki empat aspek yang penting untuk diperhatikan oleh peneliti antropologi yaitu tempat upacara, waktu upacara, alat-alat upacara dan orang yang
memimpin upacara. Upacara, menurut Koentjraningrat, adalah rangkaian kegiatan yang terdiri
dari sejumlah unsur yang disebut dengan unsur-unsur upacara. Unsur-unsur itu antara lain bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah
didoakan, menari, menyanyi, prosesi, memainkan seni drama, berpuasa, intoksikasi dengan tujuan mencapai trance, bertapa dan bersemadi. Meskipun
8
Totok S. Wiryasaputra, “Bunuh Diri, Hopeless atau Helpless?”, artikel internet diakses
18 April 2008.
9
“Suasana hati pengaruhi keinginan bunuh diri”, Sinar Harapan Rabu, 29 Januari 2003.
begitu sering dijumpai unsur-unsur itu tidak ditemui sekaligus. Ada unsur-unsur yang tidak ditemui di sebuah upacara namun ditemui pada upacara lainnya.
10
Didalam upacaralah tercermin ajaran-ajaran agama. Hal itu biasanya disimbolkan melalui aspek-aspek dan unsur-unsur upacara tersebut. Hal ini
sejalan dengan pendapat Clifford Gertz yang mendefinisikan agama sebagai : “suatu simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan moods dan
motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum order
yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi manusia, dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan,
sehingga perasan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara sendiri unik adalah nyata ada.
11
Ini tidak terlepas dari pandangannya bahwa beberapa simbol bersumber dua hal penting dalam eksistensi manusia yaitu etos
dan pandangan hidup seorang manusia. Leslie A. White menyebutkan simbol sebagai sesuatu yang memiliki arti
atau nilai bagi mereka yang menggunakannya. Disebut sesuatu karena simbol bisa berbentuk apa saja. Simbol mungkin berbentuk objek material, warna, suara,
wewangian, gerak atau rasa.
12
Nilai dan makna yang terkandung dalam simbol inilah yang dimaksud dengan wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat. Menurutnya kebudayaan itu
10
Penjelasan tentang unsur-unsur khusus dalam rangka sistem religi yang lebih lengkap lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 1990, h. 376-380.
11
Clifford Geertz, Religion as A Cultural System, on The Interpretation of Cultures : Selected Essays
, New York : Anchor, 1973, p. 87-125. Dikutip dari Parsudi Suparlan, Kata Pengantar : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa
, Jakarta : Pustaka Jaya,1983, h.xi.
12
Leslie A. White, The Symbol, dalam Lewis A. Coser Bernard Rosenberg ed., Sociological Theory : A Book of Readings, Third Edition
, London : The Macmillan Company, 1972, p.36.
memiliki tiga wujud yaitu : Pertama, sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini
sifatnya abstrak. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini disebut sebagai sistem sosial yang
berupa pola-pola interaksi dan aktivitas manusia. Ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini tentunya sangat dipengaruhi oleh
wujud yang pertama dan yang kedua. Meskipun begitu benda-benda hasil karya manusia tersebut juga akan mempengaruhi wujud kebudayaan yang pertama dan
kedua dikemudian hari, begitu seterusnya.
13
E. Metodologi Penelitian