tersebut juga dipasang shimenawa
93
dan gohei
94
yang bertujuan untuk mengusir kekuatan jahat dan mengundang kami.
95
Dalam bushido, katana dianggap sebagai alat untuk mempertahankan kebenaran dan mengalahkan kejahatan. Dalam keadaan
damai, samurai menggunakan katana untuk mencegahnya dari pikiran yang tidak baik, dalam keadaan perang, katana digunakan untuk
menyerang musuh dan melindungi dirinya sendiri.
Penggunaan katana oleh kaishakunin pada upacara seppuku secara jelas menunjukkan pemaknaan serupa yaitu sebagai alat untuk
menegakkan keadilan sekaligus menunjukkan keberanian. Kekuatan kami yang terdapat pada katana juga diharapkan menjadikan kematian melalui
seppuku sebagai kematian yang terberkati dan terhindar dari kekuatan
jahat.
B. 2. 3. Warna Putih
Dalam sebuah upacara seppuku ada beberapa instrumen yang berwarna putih, antara lain kimono, pasir, tirai, mojiki, dan sebagainya.
Warna putih inilah yang menyimpan makna keagamaan. Masyarakat Jepang sejak abad VII telah memiliki pandangan
tentang warna. Pada awalnya warna hanya dibedakan menjadi warna gelap
93
Tambang suci yang digantungkan padanya potongan kertas putih berbentuk zig-zag . Shimenawa biasanya digantungkan disebuah objek atau pintu masuk dari sebuah ruangan untuk
menandakan bahwa objek atau ruangan tersebut telah suci dan bersih dari kekuatan jahat sekaligus sebagai tempat bersemayamnya kami.
94
Tongkat berdiri yang digantungkan padanya potongan kertas putih berbentuk zig-zag. Pada beberapa kuil, kertasnya berwarna emas, perak, merah atau biru tua. Biasanya diletakkan
sebelum pintu ruangan tengah. Gohei menyimbolkan suatu persembahan kepada kami sekaligus melambangkan kehadiran kami diruangan tersebut.
95
Oscar Ratti and Adele Westbrook, The Secrets of the Samurai : A Survey of the Martial Arts of Japan
, Rutland ; Tuttle, 1973, p. 262.
dan warna cerah. Dari rumusan tersebut kemudian berkembanglah rumusan warna dasar bagi masyarakat Jepang yaitu yang biasa disebut
dengan istilah aka merah, kuro hitam, shiro putih dan ao biru.
96
Pada awalnya masyarakat Jepang mengartikan bahwa warna-warna gelap adalah warna kebesaran. Oleh karena itu warna ini hanya boleh
digunakan bagi mereka yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat seperti kaisar, shogun, dan samurai kelas atas.
Kedatangan Buddhisme Zen merubah pandangan tersebut. Warna- warna cerah kemudian dianggap sebagai cerminan dari kesederhanaan.
Itulah sebabnya kelas samurai kemudian mulai beralih menggunakan warna terang khususnya putih sebagai warna pakaiannya sebagai wujud
dari kesederhanaan diri. Secara tradisi pun warna putih dianggap sebagai warna yang suci
dari dewa, simbol dari kebersihan. Sejak lama di Jepang tempat yang berhubungan dengan para dewa ditaburi dengan batu kerikil putih atau
pasir putih, kuil-kuil dan taman-taman Budhisme Zen merupakan contoh yang baik untuk hal ini.
97
Selain itu shimenawa, gohei, haraisuki dan hal- hal lain yang berkaitan dengan ketuhanan, kesucian dan sakral juga
berwarna putih. Pandangan bahwa warna putih adalah simbol dari warna
dewa dan kesucian juga terlihat dari penggunaan warna putih bagi seragam
96
Sadao Hibi, The Colours of Japan, Tokyo : Kodansha Pub., 2000, p. 97.
97
Salah satu latihan dalam Buddhisme Zen adalah membuat taman batu kerikil. Bentuk dan pola taman diyakini mencerminkan kondisi pikiran dan kejiwaan orang yang membuatnya.
Lihat lampiran gambar.
pendeta Shinto.
98
Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan kimono putih bagi pelaku seppuku mencerminkan kesederhanaan dan kesucian
dalam menghadapai kematian.
B. 2. 4. Shugyo-mon Nehan-mon