Agama di Jepang dan Bunuh Diri

Bab IV Nilai-Nilai Agama Pada Upacara

Seppuku Dari pemaparan sebelumnya diperoleh gambaran bahwa seppuku menjadi tradisi kelas samurai di Jepang. Kelas samurai sendiri dilandasi dengan semangat bushido , semangat kekesatriaan Jepang. Bushido inilah yang banyak mendapat pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari agama-agama yang berkembang di Jepang. Untuk mengetahui keterkaitan seppuku dengan agama sebaiknya dimulai dari persoalan bagaimana pandangan agama yang berkembang di Jepang terhadap kematian dan perilaku bunuh diri. Hal ini berguna untuk menentukan apakah agama menjadi faktor utama dari perilaku bunuh diri.

A. Agama di Jepang dan Bunuh Diri

Pengaruh Shinto terhadap seppuku terlihat jelas dalam Harima no Kuni Fudoki. Menurut catatan kuno ini, awalnya kebiasaan membelah perut adalah sebuah bentuk pengorbanan sekaligus permohonan kepada kami agar diberikan kesuburan tanah dan panen yang melimpah. ini erat kaitannya dengan budaya agraris masyarakat Jepang. 46 Berbeda dengan Shinto, Buddhisme dan Konfusianisme dapat dipastikan tidak pernah menyebutkan bunuh diri dengan cara seppuku dalam ajarannya. Hal ini disebabkan seppuku adalah istilah asli Jepang sehingga tidak dikenal pada budaya India dan Cina, tempat lahirnya kedua ajaran 46 Lihat bab III bag. Catatan Sejarah Seppuku. tersebut. Meskipun begitu, itu tidak berarti bahwa Sang Buddha dan Kong Fu Tze tidak pernah berbicara perihal bunuh diri dalam ajarannya. Bunuh diri dalam agama Buddha merupakan persoalan antara doktrin otonomi dan kebebasan manusia 47 versus doktrin ahimsa 48 dan hukum karma 49 . Dalam Buddhisme kematian diartikan sebagai titik dalam hidup dimana kesadaran ajal cuticitta muncul dalam diri seseorang. Dari sisi jasmaniah kematian kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup jîvitindriya. Kematian pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab, yaitu pertama karena habisnya usia âyukkhaya, kedua karena habisnya usia akibat perbuatan penyebab kelahiran serta perbuatan pendukung kammakkhaya , ketiga karena habisnya usia serta akibat perbuatan ubhayakkhaya , keempat karena terputus oleh kecelakaan, bencana atau malapetaka upacchedaka. Empat sebab kematian ini dapat diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena tertiup angin. 50 Dari pembagian ini maka kematian yang disebabkan seppuku dapat kita masukkan kedalam jenis kematian yang ketiga yaitu kematian yang disebabkan habisnya usia serta akibat perbuatan ubhayakkhaya. Dalam Buddhisme, bunuh diri pada dasarnya adalah bentuk kekerasan dan sikap tidak menghargai terhadap diri sendiri. Tindakan ini diyakini 47 Buddhisme meyakini bahwa manusia berhak melakukan apapun yang dikehendakinya. 48 Ahimsa = tanpa kekerasan 49 Ajaran Buddha yang mengajarkan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan akan kembali kepada kita. 50 Tiga yang pertama termasuk kematian yang tepat pada waktunya kâla-marana sedangkan yang terakhir belum pada waktu semestinya akâla-marana. Lihat Jan Sañjîvaputta, Menguak Misteri Kematian , Bangkok : LPD Publisher, 1999, h. II.5. sebagai karma buruk dan dapat mengakibatkan seseorang akan terlahir kembali ke alam yang lebih rendah, namun beberapa kali Sang Buddha justru menunjukkan sikap bahwa suatu tindakan bunuh diri bisa saja diterima sebagai tindakan yang mengantarkan pada pencerahan atau bahkan sebagai konsekuensi pencerahan itu sendiri. 51 Hal ini tentu saja menimbulkan ambivalensi ketika kita membahas bunuh diri dalam Buddhisme. Penolakan terhadap bunuh diri ditunjukkan Dalai Lama XIV 52 menurutnya banyak orang melakukan bunuh diri karena beranggapan bahwa hidup ini adalah penderitaan sehingga dengan mengakhiri hidup, maka penderitaan akan hilang dengan sendirinya. Padahal selama kesadaran masih ada, manusia akan lahir kembali dan mendapatkan tubuh yang baru kembali. Menurut Dalai Lama XIV inilah penyebab penderitaan itu sendiri. Dan untuk keluar dari penderitaan manusia harus menyingkirkan ketamakan, kebencian dan khayalan dalam hidupnya. Selaras dengan Dalai Lama XIV, Venerable K. Sri Dhammananda juga berpendapat bahwa seorang yang melakukan tindakan bunuh diri memiliki pikiran yang tidak tenang dan suci. Orang seperti ini tidak dapat menempatkan pikirannya secara benar dan orang yang mati dalam keadaan semacam ini hanya akan mengalami kelahiran kembali. 53 51 Dalam Buddhisme kehidupan dianggap sebagai salah satu bentuk penderitaan manusia. Oleh sebab itu manusia dalam hidupnya haruslah berusaha untuk mendapatkan pencerahan dan meraih nirvana. Jika tidak maka manusia akan mengalami kelahiran kembali yang berarti mengalami penderitaan kembali, begitu terus menerus. 52 Dalai Lama adalah sebutan bagi pemimpin spiritual Buddha Tantrayana di Tibet. Kepemimpinannya juga diyakini memiliki dimensi politik sehingga kerap kali menjadi wakil dan simbol penduduk Tibet. 53 “Thingking About Suicide ?”, www.thedailyenlightenment.com akses tanggal 26 Oktober 2007. Bhikkhu Professor Dhammavihari menganggap bunuh diri adalah sebuah penyimpangan makna terhadap Pali Canon. 54 Bagi mereka yang mendukung, setidaknya terdapat tiga kasus bunuh diri yang mendapat ‟legalitas‟ langsung dari Sang Buddha dan tercatat pada Pali Canon 55 . Pertama kasus Godhika murid Sang Buddha yang pernah mencapai ‟kebebasan pikiran‟ namun hanya sementara. Godhika telah mencapai kondisi ini sebanyak tujuh kali namun setiap ia berhasil meraih kondisi tersebut selalu saja ia gagal meraih ‟kebebasan pikiran‟ yang total dan sempurna yang tidak kembali lagi ke kondisi ‟pikiran yang melekat‟ sehingga ia berpikir bagaimana caranya agar ia dapat mengakhiri hidupnya dalam keadaan ‟kebebasan pikiran‟. Godhika khawatir ia mati dalam keadaan tidak mengalami ‟kebebasan pikiran‟ sehingga ia harus mengalami kelahiran kembali. 56 Oleh sebab itulah Godhika berpikir bagaimana caranya agar ia menemui ajal pada saat mencapai kondisi ‟kebebasan pikiran‟ dan cara yang ditempuhnya adalah dengan cara bunuh diri. Mara sang Iblis mengetahui kondisi pikiran Godhika dan ia segera menemui Sang Buddha dan mengatakan kepadanya bahwa salah satu 54 Bikkhu Professor Dhammavihari, Suicide and Buddhism – Post-canonical Deflections, paper on Global Conference on Buddhism : in the Face of the Third Millennium Singapore, 2000 55 Pali Canon, di Indonesia dikenal sebagai Tipitaka lit = tiga keranjang, adalah kumpulan kitab-kitab standar dalam tradisi Theravada yang memuat ajaran Sang Buddha yang disampaikan kepada para pengikutnya. Pali Canon dibagi menjadi tiga bagian besar antara lain Vinaya Pitaka yang berisi aturan-aturan kepada para Bikkhu dan Bikkhuni, Sutta Pitaka, berisi diskusi antara Sang Buddha dengan murid-muridnya dan Abhidamma Pitaka yang berisi filsafat, metafisika dan psikologi. 56 Salah satu poin penting dari ajaran delapan jalan mulia Sang Buddha adalah meditasi yang benar yang bertujuan untuk membebaskan pikiran dari segala kemelekatan ketergantungan. Jika seseorang telah mampu melepaskan dirinya dari segala kemelekatan maka ia dapat memadamkan segala keinginannya tanha. Seorang yang dapat memadamkan keinginannya berarti orang itu telah mencapai nirvana dan terhindar dari proses kelahiran kembali. Orang yang mampu untuk mencapai nirvana pada saat hidup disebut sebagai arahat. pengikutnya, Godhika hendak membunuh dirinya sendiri seraya menyarankan kepada Sang Buddha untuk mengirim seseorang untuk mencegah Godhika melakukan itu. Mendengar perkataan Mara sang iblis, Sang Buddha justru berkata : ”adalah sebuah kebijaksanaan melakukan hal tersebut, tidak jatuh kembali pada kehidupan, Godhika telah mencabut segala permohonannya, ia telah padam” 57 Dari kasus ini jelas sekali terlihat Sang Buddha tidak mempermasalahkan tindakan Godhika melakukan bunuh diri bahkan ia membiarkannya. 58 Kedua kasus Vakkali, seorang murid Sang Buddha yang mengalami sakit keras dan menanggung penderitaan yang luar biasa hingga ia tidak mampu untuk bangkit dari pembaringan. Dalam sakitnya Vakkali di jenguk oleh Sang Buddha yang kemudian mengajarkannya bahwa segala sesuatu yang bersifat melekat adalah tidak kekal dan penuh dengan ketidaknyamanan. Hanya dengan melepas semua kemelekatan itulah seseorang dapat meraih kenyamanan dan kekekalan. Setelah mendapatkan pelajaran itulah Vakkali mulai dapat mengatasi rasa sakitnya. Ia melepas segala kemelekatan dari rasa sakit dan segala perasaan, pikiran, dan persepsi yang dirasakan sebelumnya. Keluhan terhadap tubuhnya yang sakit justru dianggap sebagai bagian dari kemelekatan terhadap hidup itu sendiri. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan hidup 57 Terjemahan bebas dari “The wise do this sort of thing, do not fall back to live, Godhika has uprooted all craving, he is extinguished.”. Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, div. Sagatha, 4.3.3.13. 58 Meskipun jelas dikatakan bunuh diri, Sutta Pitaka tidak menyebutkan dengan cara apa Goddhika melakukan bunuh diri seorang Buddhis yang berusaha dalam hidupnya untuk tidak dilahirkan kembali. Menyadari hal ini, Vakkali kemudian meminta kepada pembantunya untuk memindahkannya ke tempat yang lebih pantas bagi seorang bikkhu untuk menghabiskan hidupnya. Malamnya Sang Buddha dikunjungi dua dewa yang memprediksikan bahwa Vakkali akan mencapai nirvana. Esoknya Sang Buddha mengirimkan seorang bikkhu kepada Vakkali untuk menyampaikan berita ini dan Vakkali berterima kasih untuk itu. Setelah bikkhu pembawa pesan kembali, Vakkali mengambil pisau dan kemudian memotong urat lehernya sendiri. Mengomentari kematian Vakkali, Sang Buddha berkata di hadapan banyak bikkhu bahwa Vakkali telah mencapai nirvana. 59 Kasus diatas jelas menunjukkan bahwa tindakan Vakkali yang melakukan bunuh diri didasari pertimbangannya bahwa kemelekatan terhadap rasa sakit sekalipun akan menyebabkannya mengalami kelahiran kembali. Untuk memotong siklus kelahiran itu maka Vakkali memilih membunuh dirinya sendiri dan tindakan tersebut dibenarkan oleh Sang Buddha. Kasus ketiga adalah kasus Channa salah seorang murid Sang Buddha. 60 Channa mengidap sakit yang membuatnya sangat menderita. Suatu waktu ia dijenguk oleh Sariputta dan Mahacunda, murid Sang Buddha yang lain. Dalam pembicaraan mereka, setelah menjelaskan rasa sakitnya, terungkap bahwa Channa sangat menderita atas sakitnya dan berniat untuk 59 Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, div. III Khandaka, 21.2.4.5. :1-40. 60 Kisah Channa dapat dijumpai pada Majjhima Nikaya bab. Channovada Sutta dan Sutta Pitaka bab. Samyutta Pitaka. bunuh diri. 61 Mendengar itu Sariputta mencegah keinginan Channa dan menegaskan bahwa ia ingin agar Channa tetap hidup dan bersedia merawatnya hingga sembuh, namun Chnna menolaknya dan menegaskan kepada Sariputta bahwa ia tidak membutuhkan bantuannya ia akan tetap menggunakan pisaunya dan keluar dari roda kehidupan dan tidak diahirkan kembali. 62 Tidak lama setelah Sariputta dan Mahacunda pulang, Channa benar-benar melaksanakan niatnya. 63 Hal ini lantas dilaporkan Sariputta kepada Sang Buddha. Mendengar laporan tersebut Sang Buddha justru berkata : ”..Sariputta, bukankah bikkhu Channa telah mengungkapkan ketidakbelaskasihannya kepada dirinya sendiri kepadamu?... Bikkhu Channa telah mengambil hidupnya tanpa belas kasihan, biarkan seperti itu.” 64 Ketiga kasus diatas menjadi landasan theologis bagi umat Buddhis untuk menerima bunuh diri. 65 Namun seperti yang telah disinggung diatas, ada juga pihak yang berpendapat lain. Mereka yang menolak beranggapan bahwa para pelaku bunuh diri yang disebutkan diatas semuanya adalah para 61 Sutta yang dianggap menunjukkan keinginan bunuh diri Channa berbunyi I shall use the knife, friend Sariputta, I have no desire to live. Majjhima nikaya, Channovada Sutta, 5.2 : 144. 62 Sariputta, I will use the knife and not be reborn-- remember I said this., Majjhima Nikaya, Channovada Sutta, 5.2 : 144. 63 Lihat Damien Keown, seorang peneliti dari University of London menulis perihal kasus ini. Namun ia menolak jika bunuh diri dianggap benar dalam Budhhisme. Menurutnya Sang Buddha memang membiarkan bunuh diri bukan mengizinkannya apalagi menganjurkannya. Lihat Damien keown, Buddhism Suicide : The Case of Channa, Journal Buddhit Ettichs vol. 3 1996, http:jbe.gold.ac.uk, akses tanggal 9 Maret 2008. 64 “..Sàriputta, didnt the monk Channa declare his blamelessness to you?... The monk Channa took his life without a blame. Bear it like that.”, Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya 34.9.4 : 24-25. 65 Beberapa kisah Sang Buddha juga kerap menjadi alasan diterimanya perilaku bunuh diri. Seperti cerita Sang Buddha yang pada kehidupan lalunya pernah memberikan tubuhnya sebagai makanan bagi seekor singa lapar. Pengorbanan yang berujung pada kematian juga dianggap sebagai bunuh diri. Lihat Marilyn J. Harran, Suicide Buddhism and Confucianism in The Encyclopedia of Religion, ed. in chief Mircea Eliade New York: Macmillan, vol. 14 p.129 bikkhu dan murid Sang Buddha yang telah mengalami pencerahan sehingga perilaku bunuh diri boleh saja dilakukan para Bikkhu yang mengalami pencerahan namun tidak boleh bagi mereka yang belum mencapai pencerahan apalagi umat awam. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa bunuh diri masih menjadi perdebatan bagi pengikut Buddha. Tidak sedikit yang berpendapat bunuh diri dilarang dilakukan oleh siapapun namun ada juga yang berpendapat bahwa bunuh diri boleh dilakukan namun hanya oleh mereka yang telah mencapai tingkatan arahat. Harran menunjukkan pandangan semacam ini. 66 Meskipun begitu, Harran menolak mengatakan bahwa seppuku didorong oleh kesadaran agama seperti tiga kisah diatas. Baginya, seppuku lebih dilandaskan nilai-nilai patriotisme ketimbang agama meskipun tetap ada elemen-elemen agama di dalamnya. Seperti di Pali Canon, kita juga dapat menemukan perihal bunuh diri dalam Lun Yu atau The Analects. Namun tidak sebanyak seperti yang ditemukan dalam Pali Canon, Kong Fu Tse hanya satu kali menyebut bunuh diri dalam Lun Yu. Disebutkan bahwa Tzu Kung bertanya : ”Apakah Kuan Chung tidak bersifat budiaman ketika dia bukan saja tidak tewas bersama raja muda Chiu, tapi malah membantu pangeran Huan yang menyuruh orang membunuh sang raja muda?” Kong Hu Cu menjawab : ”Ketika Kuan Chung membantu Pangeran Huan, para raja berhasil diakurkan dan semua yang ada di bumi dipersatukan. 66 Harran menyebutkan Buddhism in its various forms affirms that, while suicide as self- sacrifice may be appropriate for the person who is an arhat, one who has attained enlightenment, it is still very much the exception to the rule dalam Ibid., p.129. Sampai sekarang, rakyat memetik keuntungan dari keberhasilan. Jika bukan karena Kuan Chung, rambut kita akan tergerai dan jubah kita terlipat ke kiri. Memang Kuan Chung tidak seperti rata-rata lelaki atau perempuan yang melakukan bunuh diri dan tewas tanpa diketahi di selokan, untuk tetap setia. 67 Dari potongan ayat diatas dapat diketahui bahwa banyak perilaku bunuh diri di Cina, setidaknya pada masa Kong Hu Cu hidup, dilakukan karena alasan kesetiaan. Kesetiaan inilah yang memiliki nilai penting dalam ajaran Konfusianisme. Kesetiaan menjadi sebuah tuntutan dalam tradisi keluarga yang diajarkan Kong Hu Cu. Kesetian kepada keluarga akan mewujudkan pengabdian kepada keluarga. Pengabdian kepada keluarga dan sifat menyayangi sesama, menurut Yu Tzu, murid Kong Hu Cu, adalah akar dari sifat budiman. 68 Lebih lanjut Tzeng Tzu, murid Kong Hu Cu yang lain, mengatakan bahwa : ”setiap hari aku memeriksa diriku mengenai tiga hal : apakah aku setia atau tidak kepada mereka yang kuwakili; apakah aku dapat dipercaya atau tidak sewaktu berurusan dengan teman; apakah aku mengamalkan atau tidak hal-hal yang sudah kupelajari”. 69 Ajaran mengenai kesetiaan ini erat hubungannya dengan pola hubungan sosial yang terdapat dalam Konfusianisme. Menurut Kong Hu Cu ada lima jenis pola hubungan sosial yang orang-orangnya harus bersikap sebagai mana mestinya. Jika hubungan ini berjalan dengan baik, maka akan 67 Lun Yu bab 14 : 18 68 Salah satu tujuan eetika Konfusianisme adalah membentuk pribadi berbudi luhur. Lihat Lun Yu bab 1:2. 69 Lun Yu bab 1:4. tercipta keharmonisan dan terbentuklah sebuah negara yang baik pula. 70 Ajaran kesetiaan inilah yang dipelajari dan dipraktekkan kelas samurai Jepang yang kemudian dikenal sebagai bushido. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa seppuku dipengaruhi secara langsung oleh Shinto. Sementara Buddhisme dan Konfusianisme berperan sebagai pendukung praktek perilaku tersebut. Buddhisme berperan dalam merubah pandangan terhadap kematian yang awalnya dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan rendah menjadi sebuah sarana untuk menunjukkan kualitas diri yang berani dan mampu mengendalikan emosi. Dan Konfusianisme yang mengajarkan kesetiaan berperan sebagai alasan utama dilakukannya seppuku. Peranan ketiga agama tersebut lebih lanjut dapat kita temukan dalam upacara seppuku yang tercermin dalam konsep, ide serta aktivitas dan instrumen-instrumen upacara yang digunakan.

B. Makna Konsep dan Aktivitas Serta Instrumen yang Mendukung